Monday, January 16, 2012

SYARIAT; Untuk Siapa?

Ahmad Shams Madyan*

Terlepas dari beragam level penafsiran tentang apa yang dimaksud dengan Syari'at, setiap orang Islam memang mengaku tunduk pada "Syari'at", namun untuk orang yang bukan Muslim, apakah mereka juga harus turut ditundukkan? Beberapa kalangan berargumen bahwa penerapan 'Syari’at Islam' itu eksklusif, terbatas hanya untuk umat Islam saja, namun banyak yang memahami bahwa mendakwahkan Islam kepada umat non-Muslim itu juga merupakan bagian dari syariat yang eksklusif itu sendiri. Lalu bagaimana?

Tantangan kita memang cukup berat untuk meletakkan 'Islam' dalam konteks pluralitas agama. Manakah yang didahulukan, klaim-klaim kebenaran sendiri, ataukah kerendahan hati untuk menerima 'yang lain' sebagai orang-orang yang juga berhak memilki klaim kebenaran yang berbeda? Di dalam al-Quran, derivasi kata syariat disebut terdapat dalam surat al-Maidah (5) : 48. Terjemahan ayat tersebut berbunyi:

Dan Kami telah turunkan al-Quran kepadamu dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan ebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskan lah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu Kami berikan SYIR'AH (aturan) dan MINHAJ (jalan yang terang) sendiri-sendiri. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Ny satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kami terhaddap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah lah kalian semuanya dikembalikan, lalu diberitahukan-nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan

Ayat ini sangat relevan untuk dibaca dan dipahami dalam rangka mendudukkan Islam ditengah kerumunan agama-agama lain; meletakkan 'Syari’at Islam' ditengah Syari’at (aturan-aturan) yang lain.

***

Untuk membaca ayat diatas, Setidaknya ada dua model penafsiran yang bisa kita golongkan. Penafsiran pertama bersifat inklusif; yang terbuka atas eksistensi agama dan syariat lain. Model interpretasi kedua bersifat eksklusif; yang berarti tertutup dan tetap menafsirkan ayat ini sebagai justifikasi klaim Islam sebagai agama dan Syari’at yang paling dan maha benar. Penafsiran inklusif diusulkan oleh para penafsir seperti Rasyid Ridla, al-Tabataba'i, Farid Esack dan juga beberapa penafsir kontemporer lainnya. Sedangkan penafsiran model kedua dapat kita jumpai dalam gaya penafsiran tradisional (klasik), sebut saja misalnya karya al-Thabarydan al- Razi.

[1] penafsiran Inklusif

Sebelum mengutip penafsiran Ridla dan al-Tabataba'i, Saya ingin mencatatkan bahwa potongan ayat "... Untuk tiap-tiap umat diantara kamu Kami berikan SYIR'AH (aturan) dan MINHAJ (jalan yang terang) sendiri-sendiri" itu sangat mirip dengan makna ayat al-Quran lain yang mengatakan "Bagi tiap-tiap umat telah kami tetapkan MANSAK (jalan/aturan/syariat) tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syariat) ini dan serulah kepada (agama) Tuhan mu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus’ (Q.22: 67). Dalam pandangan saya, kedua ayat ini memang sangat identik dan keduanya bisa dipadu untuk bersama-sama dibaca sebagai respon Al-Qur'an terhadap keragaman agama.


Dua ayat identik ini menyebutkan bahwa fungsi Al-Qur'an sebagai kitab suci adalah untuk mempertegas kembali kebenaran kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, sekaligus mengukuhkan Muhammad sebagai salah satu Rasul dari gugusan para nabi dan rasul Allah. Beberapa nama nabi-nabi itu disebutkan secara khusus dalam Quran, sementara sebagian nama nabi yang lain tidak disebutkan (Q. 40:78). Dalam hal ini, al-Qur'an menyatakan bahwa Muhammad adalah penunjuk dan pengarah yang memiliki agama (Dien) yang sama dengan yang diwahyukan kepada Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa [Yesus] (Q.42: 13, 16:36 dan 35:24)

Kembali ke teks al-Maidah yang menggunakan kata SYIR'AH dan MINHAJ tadi, Sebagian besar Mufassir mengatakan bahwa kata SYIR'AH adalah bentuk lain dari istilah 'SYARI'AH', keduanya memiliki arti yang sama, karena keduanya berkaitan dengan kata MINHAJ, yang secara harafiah berarti ' jalan yang jelas'. Dalam tafsirnya, Ridla misalnya mengurai panjang makna etimologis kata 'Syir'ah' dan 'Syari'ah' yang keduanya berarti "jalan air/ sumber air atau lajur sungai..".

Dalam tafsir Ridla, telah dipaparkan juga diskusi yang cukup panjang tentang perbedaan antara istilah Dien (agama / keyakinan) dan 'Syari'ah'. Bahkan, komentar dari Ridla dan juga al-Thabathaba'i tentang ayat ini telah membuat jelas bahwa "Syari'ah adalah aturan tertentu bagi komunitas tertentu" sementara "Dien adalah sebuat pola atau pattern yang lebih universal, sebuah jalan ilahi yang lebih umum bagi seluruh umat manusia". Jadi menurut dua orang mufassir ini, konsekwensinya adalah bahwa Syari'ah bisa menerima pencabutan dan ralat (nasakh), sementara Dien (agama) dalam arti luas tidak bisa dihapus atau di gantikan (al-Tabataba'i, 1973, 5: 350). Lebih jelas lagi, Ridla dalam tafsirnya juga membandingkan berbagai 'Syari'at' yang dapat membatalkan satu sama lain. Berbeda dengan 'Dien' (agama) yang akan selamanya akan tetap satu (Ridla, 1980, 5:351).

Hemat saya, baik Ridla dan al-Thabathaba'i telah menyarankan bahwa "Islam" sebagai agama institusional yang telah dianut oleh banyak orang saat ini adalah bentuk reifikasi (bukan makna yang utuh) dari istilah Dien (agama/keyakinan). Seorang pemikir Muslim dan mufassir asal Afrika Selatan, Farid Esack, juga turut menegaskan tentang terjadinya reifikasi makna dari kata 'Islam' ini sebagai bentukan Syari'ah yang bisa diubah dan dibatalkan, seperti agama-agama yang terlembaga lainnya. Namun menurutnya, memang akan hanya ada satu satu 'Dien' (agama / keyakinan) dengan makna yang tidak direifikasi, yaitu yang dimiliki oleh semua agama dan lebih bersifat eternal dan universal (Esack, 1997:167).

Untuk argumen ini juga, Ridla mengatakan bahwa “Allah telah memetakan jalur dan cara beragama yang berbeda-beda, tergantung pada kapasitas manusia yang berbeda pula...” Pemahaman seperti ini lah yang kemudian menjadi sangat sinkron ketika dalam ayat yang sama juga disabdakan bahwa "Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja)... (Q. 5:351)"

***


[2] interpretasi Eksklusif (vs) Inklusif Interpretasi teks
Tidak mengherankan, .....


[the full version of this article should be requested via my email CONTACT - Madyan]

No comments: