Saturday, October 6, 2012

AIDS, Moralitas dan Realitas Kehidupan


By: Odi Shalahuddin

Katrin Bandel, Penyakit Metafora dan Moral Panic

“Berhasil tidaknya usaha menghadapi sebuah penyakit tidak hanya dipengaruhi oleh persoalan-persoalan yang secara langsung berkaitan dengan dunia kedokteran. Faktor yang tidak kalah penting adalah persepsi masyarakat tentang penyakit tersebut. Tidak jarang sebuah penyakit dikaitkan dengan imaje atau stereotype tertentu yang belum sesuai dengan kenyataan, namun beredar secara luas di masyarakat.,” demikian disampaikan oleh DR Katrin Bandel, Direktur ANJANI, saat mempresentasikan temuan-temuan sementara dalam penelitian yang dilakukan bersama A Anzieb, yang telah berlangsung selama enam bulan.

Mengacu kepada pemikiran Susan Sontag bahwa penyakit-penyakit tertentu berfungsi sebagai metafor, dalam pengertian wacana seputar penyakit bukan sekedar pembahasan seputar hal medis namun disertai pemaknaan kultural, Katrin menyatakan bahwa dalam Hal mensikapi HIV & AIDS, sejak ditemukan pada tahun 1981, cenderung dikaitkan dengan persoalan moralitas.

“HIV & AIDS dikatakan sebagai virus yang menular antara lain lewat hubungan seks, HIV secara langsung dihubungkan dengan perzinahan, pelacuran dan praktek seks yang menyimpang,” jelas Katrin.

Presentasi temuan sementara hasil penelitian disampaikan dalam sarasehan tentang AIDS, Moralitas dan Realitas Kehidupan, diselenggarakan oleh   ANJANI, Pusat Studi Perempuan, Media dan Seni Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, bertempat di Pendopo LKIS.

Acara yang berlangsung pada tanggal 14 April 2012, menghadirkan pula Direktur Eksekutif INTERNA, Indonesian Interfaith Network on HIV & AIDS, Jakarta, Ahmad Shams Madyan dan Koordinator Eksekutif Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN), Odi Shalahuddin.

“Jadi, ketika seseorang menyatakan “si A kena AIDS” tidak jarang diucapkan bukan untuk memberikan informasi, melainkan membawa pesan metaforis: “Si A Kena AIDS” sama dengan “Si A tidak bermoral”

Konsep lain yang digunakan oleh Katrin mengacu kepada konsep Moral Panic yang diperkenalkan oleh Sosiolog Inggris, Stanley Cohen. “Ciri khas moral panic adalah bahwa sering terjadi streotipisasi dan penghakiman moral terhadap kelompok masyarakat tertentu, serta informasi yang melenceng dari faktanya, atau dilebih-lebihkan,”

Situasi di Indonesia, menurut Katrin ada persoalan bahwa media massa sering mengkaitkan HIV & AIDS dengan kelompok masyarakat tertentu terutama Pekerja Seks, kriminal dan Pengguna narkotika dengan suntikan. Retorika angka dengan memunculkan angka-angka orang yang terinfeksi HIV atau ODHA, sering disikapi berlebihan, dan membuat perbandingan-perbandingan dengan wilayah lain untuk menunjukkan stigmatisasi, bukan melihat sbagai persoalan bersama. Kampanye mengenai HIV & AIDS juga masih terbatas pada ruang-ruang tertentu, belum memaksimalkan ruang-ruang publik.

“Semoga wacana seputar HIV & AIDS dapat dikoreksi agar penolakan emosional serta stigmatisasi yang menjadi penghalang penanggulangan HIV & AIDS dapat semakin ditinggalkan,” harap Katrin mengakhiri presentasinya.



Ahmad Shams MadyanAgama, Saatnya Bicara Lebih Dari Sekedar Moral

Kandidat Doktor yang tengah menyusun disertasinya mengenai HIV & AIDS dalam hubungannya dengan agama, yang sudah menulis dan menerbitkan buku berjudul AIDS dalam Islam (Mizan, 2009), menyoroti sikap lembaga-lembaga keagamaan yang lebih menyoroti Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) sebagai sosok yang tengah mendapatkan hukuman dari Tuhan.

“Salah satu Fatwa MUI bagi ODHA adalah agar mereka segera bertaubat dari perbuatan dosa. Kumpulan khotbah Jum’at yang diterbitkan PP MUhammadiyah yang berjudul Menghindari AIDS juga banyak menarasikan adzab (siksa) Tuhan. Respon NU tak jauh beda. Kompilasi hasil Muktamar Nasional (MUNAS) dan Bahtsul Masa’il yang terus menerus dicetak ulang dan didistribusikan ke masyarakat awam bahkan menganalogikan ODHA sama dengan orang yang berpenyakit Lepra,” demikian dicontohkan oleh Madyan.

Madyan mengakui bahwa di satu sisi peran agama dengan pendekatan moralnya telah turut berperan dalam menghambat penyebaran HIV hingga saat ini. Namun tanpa disadari, dakwah-dakwah moral kaitannya dengan AIDS seringkali justru mengajari masyarakat untuk memiliki penghakiman-penghakiman tertentu terhadap ODHA.

“Pertanyaan-pertanyaan teologis yang harus dijawab adalah: bagaimana dengan orang-orang bermoral dan tak berdosa yang terinfeksi HIV? Apakah relevansi mereka dengan penyakit ini? Bagaimana agama harus menjelaskan secara moral bahwa 90% wanita yang terinfeksi HIV adalah wanita “baik-baik” yang tidak pernah berzinah, bahkan tidak berhubungan seks kecuali dengan suami-suami mereka yang sah? Bagaimana juga agama harus menjelaskan AIDS sebagai hukuman Tuhan atas 199 kasus bayi di Indonesia yang terlahir dalam keadaan positif HIV? Apakah urusan teologis menjadi beres, ketika agama hanya menjawab permasalahan wanita dan bayi-bayi tak berdosa ini dengan dakwah anti zina, anti maksuat atau bahkan dengan menyerukan taubat sekalipun?” berbagai pertanyaan kritis dilontarkan oleh Madyan.

Madyan mengingatkan bahwa peran agama untuk menghilangkan stigmatisasi terhadap ODHA sangat dibutuhkan. “Dalam pembicaraan AIDS dan agama, pesan-pesan moral memang akan tetap menjadi prioritas dan keniscayaan, namun agamawan perlu menyadari dan mulai memikirkan bahwa dakwah saja tidak akan mampu menjawab AIDS dengan segala isu kemanusiaannya. Agama akan terkesan lebih bijak jika disamping dakwah moral, juga mendakwahkan misi-misi kemanusiaan, kritik social dan pandangan-pandangan tentang keadilanserta keberpihakan yang penuh empati terhadap orang-orang yang termaginalkan. Jika mampu demikian, maka slogan agama sebagai pembawa rahmat dan keteduhan bagi semesta akan benar-benar bisa dirasakan,” harap Madyan.

Anak-anak juga Terancam

`Pada Januari 2006, UNAID bekerjasama dengan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Dengan demikian penyakit ini merupakan salah satu wabah yang paling mematikan dalam sejarah. Pada tahun 2005, AIDS diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta jiwa dan lebih dari 570,000 jiwa diantaranya adalah anak-anak.


Odi Shalahuddin, 

Terkait dengan masalah anak-anak, Odi Shalahuddin yang banyak menggeluti masalah hak-hak anak, dan menaruh perhatian pada prostitusi anak menyatakan bahwa beberapa penelitian yang dilakukannya seperti di Semarang (2007), lima kota di Jawa Tengah (2009) dan empat propinsi di Indoeesia (2010) mengenai situasi anak-anak yang dilacurkan, diperoleh informasi mengenai adanya perubahan pola dan modus praktik prostitusi.

“Hal yang berkembang sekarang adalah anak atau orang yang tidak memiliki hubungan dengan mucikari ataupun perantara, tapi langsung berhubungan dengan konsumen melalui komunikasi langsung. Ini dimungkinkan ketika fasilitas komunikasi bukan menjadi barang mahal lagi, seperti HP dan kemudahan akses internet ke berbagai jejaring sosial,” katanya.

Menurutnya, jumlah orang-orang yang terlibat menjadi sulit untuk dideteksi. Sedangkan jumlahnya berdasarkan pengamatan dan hasil penelitian yang dilakukan, semakin terus meningkat. “Semoga saja kelak kita tidak dikejutkan secara tiba-tiba dengan kemunculan  jumlah yang besar dari orang-orang yang terinfeksi HIV & AIDS” harapnya.

Mengenai kampanye tentang HIV & AIDS harus terus dilakukan, jangan sampai berhenti. Hal ini mengingat orang-orang mudah dilupakan dengan hadirnya berbagai peristiwa yang silih berganti tentang berbagai persoalan di berbagai media. “Jadi memang, harus terus menerus dilakukan dan berhadapan dengan berbagai informasi lainnya yang juga berusaha merebut perhatian kita semua,”



Beberapa Pengalaman Lapangan

Presentasi yang disampaikan, menjadi pijakan bagi diskusi yang berlangsung hangat, walau sayang harus dibatasi oleh waktu. Beberapa peserta menyampaikan pengalaman-pengalamannya yang sangat menarik dan bisa dipetik pelajaran darinya.

Kaswanto dari KPA kota Yogyakarta, misalnya mengakui bahwa sosialisasi masalah HIV dan AIDS masih kurang dilakukan, dan perlu dilakukan oleh berbagai komponen. Ia menyatakan, tercatat 485 orang yang sudah terpapar HIV di kota Yogyakarta, dimana 60% adalah laki-laki. “Tapi yang kurang menjadi perhatian dari masyarakat ketika dilakukan test di salah satu tempat prostitusi yang menjangkau 285 PSK, hanya ada tiga orang yang terpapar HIV. Kalau yang terinfeksi IMS, memang jumlahnya banyak. Nah, justru yang terpapar HIV lebih banyak dari kalangan professional atau pekerja.

Informasi menarik lainnya diungkapkan oleh Karti, dari Koalisi Perempuan Indonesia yang juga aktif melakukan sosialisasi tentang IMS dan HIV AIDS di berbagai Balai Perempuan. “Pada satu desa, ada seorang Ibu Rumah Tangga yang sangat shock mengetahui dirinya terinfeksi, sedang ia sendiri hanya berhubungan dengan suami. Ibu ini merasa sangat berdosa sekali, walau kemungkinan yang terjadi ia tertulari oleh suaminya sendiri,” kata Karti.

Kita semua tentu berharap penyebaran HIV & AIDS dapat diminimalisir sekecil mungkin. Namun menarik untuk turut melontarkan pertanyaan, sebagaimana yang tertulis pada banner acara:

Seringkali orang menyebut AIDS sebagai penyakit mereka-mereka yang tidak bermoral. Tapi benarkah demikian? Karena kurangnya bermoralkah orang terinfeksi? Ataukah ada realitas-realitas lain yang menjadi penyebabnya?

Yogyakarta, 15 April 2012
Sumber: http://odishalahuddin.wordpress.com/2012/04/15/aids-moralitas-dan-realitas-kehidupan/

Tuesday, August 7, 2012

(16) "Seharusnya TUHAN yang mempertanyakan, bukan anda..."

Begini...,


Tadi, salah seorang teman baik bertanya kepada saya tentang "Apa sebenarnya motif saya meng-upload tulisan-tulisan di Facebook dan Blog"? 
lebih jauh dia bertanya apakah saya "ikhlas" membuat semua tulisan itu, ataukah saya sebenarnya inginkan komen atau like berisi pujian dan penghargaan, karena saya telah menunjukkan kehebatan melalui tulisan-tulisan yang banyak?


Hmmmm... GELEDEK Duorr! Saya kemarin sempat terdiam sesaat dan sedikit merasa tersentak dengan pertanyaan teman saya yang sedemikian vulgar. Tadinya, karena kesopanan tingkat tinggi yang terkandung dalam pertanyaan teman saya itu. Saya ingin menjawab demikian "Tentang keikhlasan saya, seharusnya TUHAN yang mempertanyakannya, Bukan anda..."Namun jawaban begitu tak jadi saya utarakan. Tiba-tiba saya ingin tersenyum dan berkata kepada teman saya itu 

"Mas, semua juga tahu saya bukan Mario Teguh yang berprofesi sebagai motivator. Saya bukan dia yang mendapatkan bayaran, pengakuan serta penghargaan karena motivasi-motivasinya yang SUPER. Saya hanya menulis status-status FB yang "sok bijak" itu juga refleksi-refleksi seperti ini bukan agar orang lain membayar atau menghargai saya. Sebenarnya, saya melakukan itu karena justru saya ingin "membayar" dan menghargai diri saya sendiri.... 

Sambil terus tersenyum saya kemarin sempat berbisik... 


"Begini lho mas, sebenarnya kalau kita hebat, kita tak perlu menunjukkan kehebatan kita  kepada orang lain. Karena jika "orang lain" itu adalah pengagum yang menyukai kita, sungguh kita tak perlu repot-repot lagi tunjukkan kalau kita hebat, mereka memang dari awal sudah kagum dan suka. 


dan jika "orang lain" itu adalah musuh atau teman yang memang tak menyukai kita, pertanyaan saya "buat apa juga kita repot-repot menunjukkan kehebatan? Bukankah mereka tak menyukai kita bahkan tak sudi melihat kita ada? Nah, jika demikian, mengapa kita harus menjadi sapi dungu; mengira mereka berminat meluangkan waktunya untuk membaca, apalagi menghargai karya-karya kita; tulisan-tulisan kita? 
Teman saya itu kemudian diam. Harapan saya, dia termasuk orang-orang yang menyukai saya sehingga ia pun membaca catatan ini. Jika bukan, juga tak apa-apa. Toh. sebentar lagi lebaran.. Loh? apa hubungannya? :)
Jadi teman, tafakkur Ramadhan hari ini alurnya mundur. Ini sebenarnya adalah respon dari GELEDEK yang kemarin. 


Memang, tiada yang bisa mengalahkan ketulusan seseorang kecuali saat orang itu terganggu dengan ketulusannya sendiri. Dan memang, dalam petualangan spiritual mencari diri, kita harus terus waspada dengan jebakan demi jebakan yang licin menggelincirkan. Seperti 'KERENDAHAN HATI' ... ia licik... karena saat kita merasa telah memilikinya, saat itu pula kita kehilangannya.           

Hmmm...sudahlah, kepanjangan.... Yang pasti, di pagi buta tadi, setelah santap sahur bersama istri, saya masih terngiang-ngiang tentang pertanyaan teman saya ini. Tapi kemudian hawa segar masuk sambil mengingatkan saya tentang pepatah Arab yang berbunyi "Ridhonnas.. Ghoyatun Laa Tudrok". bahwa kita tidak bisa menginginkan semua orang untuk menyukai kita.. Jadi ya, enjoy aja... biar kafilah saya tetap melaju walau seribu anjing menggonggong saling bersahutan....biar bising jakarta mulai datang mengganggu, asalkan saya dan istri saling berpelukan....    


(Tafakkur Ramadhan hari ke 16) 




Sunday, August 5, 2012

(15) Pilih "NGAMBEK" atau "MARAH"?

Konon biasa, dalam hubungan suami istri atau persahabatan, jika ada percikan-percikan kecil. Satu ulah menyinggung relung; Satu kata sakiti hati. Pertengkaran-pertengkaran itu butuh waktu Tiga detik, Tiga jam, Tiga hari, Tiga Minggu, Tiga Bulan.... Tiga Tahun. Wah, stop, itu adalah waktu maksimal. Jika melampaui itu, maka yang saya sebut sebagai percikan-percikan kecil itu barangkali adalah kebakaran besar; berarti masalahnya adalah sangat serius. kekasih dinyatakan putus, sahabat dikatakan tamat. Hubungan suami istri? hmmm mungkin sudah masuk dalam kategori perceraian bersyarat "talak ta'liq"; dimana suami sudah tak memenuhi kewajibannya untuk menafkahi, atau istri yang telah berpaling dan melepas hati. Apapun itu namanya..... pertengkaran itu bisa dan biasa terjadi.

Tapi Alhamdulillah, saya dan istri telah sepakat untuk tidak membenarkan ungkapan kebanyakan orang bahwa "pertengkaran adalah bumbu rumah tangga". Orang tua kami, juga mungkin kebanyakan orang tua teman-teman kami selalu berpesan tentang satu hal, bahwa dalam berumahtangga "selalulah rukun... Jangan bertengkar"... hmmm itu pesan yang lumrah dan wajar dari dan untuk siapa saja. Tapi ada sedikit tambahan dari ayah saya waktu itu. Beliau berkata "Jadikan rumahmu sorga... di rumah itu untuk hidup rukun. Jadi kalau mau bertengkar usahakan di luar rumah..." Hmmm yang itu mungkin sedikit spesial. Entahlah, doa kami semoga masing-masing dari kami selalu diberikan hati yang lapang untuk tak mengawali pertengkaran. masing-masing kami berdoa dan berusaha untuk tak saling menyakiti dan saling mengerti...Jika yang satu menjadi api, yang lainnya menjadi air (Well, semoga airnya cukup heheheh)

Sudah hampir empat bulan bahtera rumah tangga kami menyisir lautan. Beberapa kali memang api tersulut. Ucapan Istri yang menyinggung suami atau perilaku suami yang menyakiti istri... Ya, itu bukan sesuatu yang benar-benar bermasalah, tapi begitulah memang adanya fitrah saat dua jiwa yang disatukan. Terkadang hanya karena yang satu menyukai merah, yang lain menyukai hijau. atau yang satu inginkan bentuk kotak, sedang yang lain inginkan bentuk yang bulat, yang disebut konflik bisa terjadi. Duh, itu biasa....

Dan petang tadi, di sela-sela gurauan kami, terjadi suatu hal pada lubuk saya dan saya menjadi "DIAM" beberapa saat. Istri saya langsung menangkap sinyal itu dan bertanya "Mas, ngambek?"

NGAMBEK! Ya, istilah itu penuh intrik dan bias gender. Di satu sisi saya tak menyukainya karena ada kesan bahwa perilaku "ngambek" itu adalah perilaku yang feminin dan manja. dalam konstruksi masyarakat kita, istilah "ngambek" itu memiliki makna simbolis sebagai sikap yang kurang dewasa dan kurang ksatria....satu lagi, istilah itu terdengar alay.... tapi itu tak menepis keheranan saya bahwa sebagian orang lebih suka jika emosi itu diluapkan begitu saja. Marah sekalian....! jangan ngambek! Huft, Entah mana yang benar...?

Saya tiba-tiba tergoda untuk merenungkan istilah "ngambek" ini tadi.... dan, benar saja, saya menemukan satu pelajaran lagi di bulan suci. bahwa ternyata "Ngambek sesaat" itu tak selalu identik dengan kesan alay dan manja. Saya merasakan sendiri bahwa terkadang "Ngambek" itu ternyata jauh lebih baik daripada "Marah". karena sebenarnya, Ngambek adalah emosi yang tertahan, amarah yang tak dikeluarkan. "Itu baik atau buruk? pertanyaan saya"

yang jelas ada firman Tuhan  yang memuji orang-orang yang bisa meredam amarah nya dengan istilah "al-kaadzimin al-ghoidh" , yaitu, orang-orang yang mampu meredam amarahnya. Menurut saya, sebutan itu juga bisa diartikan dengan "Ngambek yang positif', karena saat diam dalam posisi ngambek itu, yang sebenarnya terjadi adalah kita memberi waktu yang cukup untuk berfikir lebih sehat tentang amarah dan emosi kita sendiri.

Saya membayangkan, bahwa andaikan saat emosi saya tersulut tadi tiba-tiba amarah saya membuncah keluar begitu saja, pasti saya akan menjelma dalam wujud yang buruk rupa dan saya pasti akan menyesalinya saat ini. Namun, dengan ngambek sesaat tadi, saya ternyata memiliki waktu yang cukup untuk melihat banyak perspektif tentang perasaan saya sendiri.
Pada fase ngambek sesaat tadi, saya melihat bahwa apa yang dilakukan atau dikatakan istri saya tadi bukanlah kesalahan. Berbeda dengan penilaian saya pada saat emosi saya membuncah di awal-awal. Saya, dengan ngambek sesaat itu menjadi leluasa berpikir sampai saya mendapatkan waktu yang cukup untuk mengandaikan diri saya yang berada di posisi istri. Saat itulah saya merasa bahwa sekonyong-konyong istri saya hanya melakukan hal yang wajar-wajar saja. Dia, sama sekali tidak memiliki niat menyakiti apalagi menyinggung perasaan suaminya. Waduh....ngambek sesaat itu, sungguh luar biasa bagi saya.

Tiga menit berlalu dan saya merasa lega. Istilah "Ngambek" yang mula-mula tak saya sukai itu tiba-tiba menjadi positif dan serasa membantu saya bertumbuh lebih bijaksana. Saya berfikir bahwa meredam amarah itu bukan menyimpan dendam. Meredam amarah atau 'ngambek" itu sebenarnya adalah memberikan waktu yang cukup bagi diri sendiri untuk menimbang kembali kemarahan. Dan disinilah saya berujar, "maha suci firman Tuhan yang memuji mereka yang mencoba menahan amarahnya...."

Sama, Rasulullah saw dulu pernah berwasiat "Jangan marah"...ketika ditanya tentang wasiat apa lagi wahai Rasul? beliau menjawab lagi "Jangan marah".. ketika di tanya lagi, tetap saja wasiatnya, "jangan marah"! Tiga kali.

Karena, amarah itu seperti percikan api... jika kita dukung percikan itu dengan meniupnya, maka percikan itu akan membesar dan ia tak lagi menjadi percikan, ia bisa benar-benar menjadi api yang menjilat-jilat lantas menghanguskan segala yang baik....

Kita ini manusia yang hidup, tentu saja emosi dan perasaan kita juga hidup...jadi wajar jika emosi itu sewaktu-waktu tersulut. Namun ketahui, bahwa yang memercik biarlah memercik...tak perlu ia menjadi berkobar. Jangan mudah marah, karena kemarahan hanya menunjukkan kelemahan dan keburukan kita. Tak ada yang lain!

hari ini mengajarkan pada saya, bahwa jika emosi tersulut, ngambek lah sementara, karena itu menurut saya sangat positif. Tak perlu merasa buruk dengan istilah itu... Gunakan masa ngambek itu untuk melihat apa yang belum terlihat, karena Tuhan selalu membantu hamba-hambanya yang ingin menjadi manusia yang lebih baik dan lebih sabar.

Ramdahan ini sudah mengajari saya dengan beberapa hal tentang pengendalian diri. Dan satu kata ini, "NGAMBEK", juga patut saya abadikan sebagai refleksi di bulan suci ini. bagaimanapun, satu kata ini telah mengajari satu jurus penting; yaitu tentang bagaimana saya mengelola emosi.       


(Madyan; Tafakkur Ramadhan hari ke 15)

(13) Satu Hari Merasakan PAHIT

Seharian ini terasa lemah dan lelah... mungkin fikiran juga sedang alami gulana berlapis-lapis. Bagaimanapun, saya harus menikmati semua momentum kehidupan dengan rasa syukur. Saya tahu bahwa saya sedang diuji. Namun, siapa yang tidak? semua mahluk yang bernafas sedang mengerjakan ujiannya sendiri-sendiri. Jadi saya tidak boleh merasa hebat dan spesial. Ya, betapapun rasa yang mendera, saya akan berusaha untuk tetap bersyukur dan memuji keagungan-Nya. Saya tahu, bahwa saya perlu bersyukur bukan hanya karena saya mendapat nikmat-nikmat besar. Saya bersyukur karena Tuhan memang telah anugerahkan banyak hal sampai saat ini. Saya memuji Tuhan bukan karena ia telah menghadiahi saya sesuatu, namun saya ingin memuji-Nya karena Ia memang layak mendapatkannya.

Gundah gulana dan perasaan berat atas kehidupan itu sejatinya adalah kelalaian saya saja sehingga merasa nikmat-nikmat itu "kecil" bahkan tak terlihat. Padahal sebenarnya apa yang luput dari perasaan saya itu adalah nikmat-nikmat yang sejatinya "besar". Sebut saja "rasa aman" atau kondisi tubuh yang "sehat" ... bukankah itu nikmat besar yang sering luput tak terlihat?

Seorang alim pernah berkata, jika kita berterimakasih pada Tuhan hanya karena kita telah diberi anugerah, maka derajat kita sebenarnya tak jauh beda dengan ANJING yang mengibas-ngibaskan ekornya sesaat ia telah diberi makanan oleh Tuan nya.

Oh Tidak, tentu saja saya tak boleh rela jika disejajarkan dengan anjing.

Adapun perasaan-perasaan gundah yang saya rasa hari ini, sebenarnya itu semua tak lain hanyalah konsekswensi dari nafas yang masih berhembus. Karena Jika tak ingin letih, tak ingin payah, tak ingin lelah, tak ingin gundah....Ya, mati saja! Lepaskan saja nafas dan habisi saja nyawa. Ups, bukan maksud saya menyuruh bunuh diri tapi memang dalam al-Quran disebutkan bahwa kita terlahir dengan resiko untuk menjadi "susah". Allah berfirman "dan (memang) KAMI ciptakan manusia itu dalam KABAD: susah payah; kesulitan demi kesulitan" (QS. al-balad: 4). Jadi simple saja, kita memang harus terima kenyataan untuk sesekali merasa sedih dan susah menghadapi hiruk pikuk masalah dunia dan kehidupan.

Ada lagi satu ayat yang bagus untuk kita baca dan renungkan tentang kesedihan dan ujian Tuhan atas kehidupan. Ujian kesedihan ini sudah pasti datang. Firman tuhan itu menyebutkan bahwa akan ada 5 kategori besar untuk ujian kesedihan yang akan menerpa kehidupan ini. Ia berfirman

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.[2:155]

1. Ujian dengan perasaan takut dan kekhawatiran. Khawatir apa saja; kekhawatiran tentang masa depan dan hal-hal yang mungkin tidak akan pernah terjadi. Ketakutan akan bayangan masa lalu dan ancaman-ancaman kehidupan dan kematian... Pokoknya segala jenis ketakutan dan kekhawatiran yang menghilangkan rasa aman dan nyaman. Rasulullah saw pernah ditanya tentang nikmat Tuhan itu apa? Rasul saw menjawab bahwa nikmat Tuhan itu adalah "al-Amaan" (Security, Peacefullness). Teman, berapakah dari kita yang pernah mensyukuri "rasa aman" ini? Kita bangun tidur dengan tanpa kekhawatiran atas jiwa kita sendiri, atas jiwa anak istri kita, keluarga kita, harta kita, karir kita...dan seterusnya.. Betapa banyak yang merasakan "aman" ini, namun sedikit yang mensyukuri dengan mengenali bahwa rasa itu sebenarnya adalah nikmat Tuhan yang sungguh besar.      

2. Ujian dengan kelaparan. Ini adalah ujian yang berat. Jika seseorang diuji dengan ketidakmampuan untuk mememnuhi kebutuhan pangannya. Maka itu adalah salah satu bentuk dari cobaan yang nyata. Faktanya, orang yang kelaparan bisa berbuat apa saja. Ada sedikit beda antara "kelaparan" dan "rasa lapar". ujian kelaparan itu ketika seseorang benar-benar tak mampu mendapatkan makanan, sedangkan ujian dengan ujian rasa lapar itu bisa jadi seseorang hanya menunda jam makannya. PUASA adalah sebentuk ujian ini; hanya diuji dengan lapar sementara, namun rasa aman tak sampai hilang, karena ia tahu bisa makan, hanya ia menunggu waktu. kemungkinan besar, salah satu hikmah dari puasa adalah agar kita juga memiliki kepedulian dan bisa bisa mengecap rasa atas derita lapar yang dirasakan orang lain.   

3. Ujian dengan berkurangnya harta. Ini adalah sebentuk krisis. Harta mungkin tidak habis, namun bisa saja tabungan berkurang, harta hilang, dicuri, mengalami kebangkrutan, kerugian dan lain sebagainya. Harta adalah salah satu faktor yang menunjang rasa aman seseorang. Saat harta itu berkurang, maka berkurang pula rasa aman nya, kepercayaan dirinya. Saat seseorang merasa miskin dan melihat orang kaya, ia pun diuji dengan rasa syukur dan kepercayaan atas dirinya. Sebaliknya, saat orang yang kaya melihat orang lain yang lebih miskin, ia diuji dengan kesombongan dan kerendahan hatinya. lagi-lagi Ia pun masih tetap di uji; dengan kewajiban untuk mengurangi hartanya melalui zakat dan sedekah.  

4. Ujian dengan berkurangnya nyawa. Ini adalah bentuk ujian yang tak kalah berat. Ujian ini datang saat kita kehilangan orang-orang yang kita sayangi. Kematian, perceraian, putus cinta, patah hati. Ini juga berarti ujian saat kita dikhianati oleh sahabat yang sangat kita percaya, teman kerja ataupun kekasih hati. Saat orang tua didurhakai anaknya, atau saat anak tidak dicintai sebagaimana mestinya oleh orang tuanya... Saudara kandung yang saling berkelahi dan seterusnya. Istri yang merasakan bahwa suaminya telah berpaling, atau suami yang mendapati istrinya sedang mencurangi cintanya. Ya, semua ini adalah bentuk dari berkurang nya jiwa; berkurangnya integritas nyawa seseorang.

5. Ujian dengan berkurangnya buah-buahan: Jika ujian kelaparan tadi adalah ujian tentang pemenuhan atas kebutuhan yang primer. Sebenarnya ujian atas berkurangnya buah adalah metafor atas hilang atau berkurangnya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebuuhan yang sekunder atau tertier. Banyak sekali orang yang tidak ada masalah dengan pemenuhan atas kebutuhan, namun ia diuji dengan pemenuhan atas sifat rakus dan keinginan-keinginan nya sendiri. Bukankah banyak dari kita yang menjadi gundah karena memiliki keinginan-keinginan sekunder tapi kita tak mampu mendapatkannya?.  

Well, entahlah teman...apa yang anda masing-masing alami? Mungkin anda ingin meresapinya bersama saya...

(Madyan: tafakkur Ramadhan hari ke 13)

(14) Satu hari Merasakan MANIS

Saya memiliki teman dekat bernama Yudita Barbara Kalota dari negara Polandia. Dia sangat cerdas dan selalu bersemangat untuk saya temani belajar tentang Islam dan tradisi-tradisi masyarakat Jawa sehari-hari. Banyak yang berkesan tentang teman saya itu, tapi salah satu ungkapan yang pernah membuat saya sangat terpesona adalah saat kami dulu berbincang tentang makna kebahagiaan. Katanya, "kebahagiaan itu hanya momen-momen sesaat saja". Artinya, kebahagiaan itu bukan kondisi mental yang konstan. Ia hanya ada di beberapa waktu, lalu pergi, lalu datang lagi dan pergi lagi...

Entahlah saya selalu ingat ekspresi nya saat ia mengatakan "happiness is only moments"
karena tiap kali saya ingat itu, saya selalu menjadi tertegun atas singkat dan padatnya definisi kebahagiaan versi Yudita ini. dan memang saya rasakan benar. Bahwa selama ini kita cenderung alpa memahami kebahagiaan itu, sebagai satu masa panjang yang diidam-idamkan. ironisnya, kita selalu membayangkan "kebahagiaan abadi". bukan hanya di sorga, d dunia pun kita selalu dihantui dengan 'happy endings' yang terbanyang sebagai satu fase akhir yang isinya hanya bahagia tanpa kesedihan. "Happily ever after" bagi saya, itu Non Sense!

Gara-gara teringat perbincangan dengan Yudita itu, hari ini saya jadi bertanya-tanya pada diri saya sendiri; jika kebahagiaan itu momen-momen saja, lalu sebenarnya kapan saya betul-betul merasa bahagia dalam hidup ini?

Jika saya sebut, bahagia itu ada saat saya mampu menyelesaikan tugas-tugas akhir saya di saat-saat paling kritis :), saat saya melihat orang-orang yang saya ajak bicara faham atau  saat saya melihat murid-murid atau mahasiswa saya puas dengan apa yang saya ajarkan; saat saya melihat ekspresi senang dan bahgia dari orang-orang yang saya cintai, saat saya bergurau hebat dengan istri sampai tertawa berguling-guling; saat saya melihat ibu saya berbunga-bunga menerima hadiah-hadiah kecil dari saya; saat saya melihat ibu saya menggunakan barang-barang yang saya belikan untuknya. Ya, Saya sangat menyukai cara ibu saya mengekspresikan penghargaan dan rasa terimakasih. Saya juga sangat bahagia saat bisa memberi ayah atau ibu saya beberapa lembar uang ratusan. Terkadang, bukan karena mereka butuhkan, bagaimanapun cara mereka berterimakasih selalu membuat saya menitikkan air mata bahagia. Well, banyak...sebenarnya ada satu kebahagiaan yang terjadi di suatu malam. Sayangnya, momen yang membuat saya meleleh bahagia itu tak terlukiskan, sehingga tak ada kata yang bisa mewakili rasa itu, untuk saya ceritakan.

Tapi sudahlah, memang begitu... bahagia dan kesedihan itu seperti pergantian malam dan siang; datang silih berganti, dan akan terus begitu selama kita masih bernafas dan menyaksikan mentari menyelinap di setiap celah. Ya benar, sebagaimana kebahagiaan itu momen saja, kesedihan pun begitu juga: hanya momen-momen yang tak akan berlangsung lama, apalagi abadi. Jadi, memang tiada pesta yang tak usai sebagaimana tiada badai yang tak berhenti.

saat saya menulis judul "satu hari mengecap manis" hari ini. Mungkin, manis itu juga tak pernah bertahan satu hari penuh... Di tengah-tengah, selalu ada interupsi-interupsi. dan nyatanya, saya tetap tidak apa-apa. Hanya saja, kadang sulit untuk menahan letupan bahagia saat kenikmatan-kenikmatan itu datang bertubi-tubi. saat itu, kita terlalu bangga dan bahagia...Sayang, saat nikmat dan bahagia-bahagia itu meredup, kita pun sulit menahan rasa sedih, hingga sering kita menjadi orang sangat berputus asa dan tidak bersyukur

Maha benar firman Tuhan

Dan jika kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat kebahagiaan) dari kami, kemudian nikmat itu kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterimakasih. (QS: HuD: 9) dan jika Kami rasakan kepadanya kebahagian sesudah bencana yang meimpanya, niscaya dia akan berkata: "Telah hilang bencana-bencana itu daripadaku" sesungguhnya ia sangat gembira lagi bangga (QS: HuD10)


(Madyan: Tafakkur Ramadhan hari ke 14)

Thursday, August 2, 2012

(12) Nabi Saja Suka Menghakimi


Suatu hari saya membaca surat al-Kahfi (QS.18: 61-82). Ada sebuah cerita menarik tentang perjalanan Musa dan Khidir as. konon dikisahkan bahwa suatu hari Musa merasa bahwa dia lah manusia paling mengerti segala hal karena Ia adalah seorang Rasul. namun Allah ingin memberinya pelajaran bahwa diatas langit masih ada langit dan Musa tak seharusnya memiliki kebanggan diri seperti itu. Ia pun diperintah gusti Allah untuk belajar kepada seorang bijak bernama Khidir. walhasil Musa pun menemui Khidir di tepi lautan dan menyatakan niatnya untuk belajar kepadanya.

Khidir menjawab; "kamu tidak akan kuat belajar dari ku". Namun Musa bersikeras, akhirnya Khidir pun mengiyakan dengan satu syarat, bahwa Musa dilarang bertanya atau berinterupsi atas apapun yang diperbuat khidir, kecuali Khidir sendiri lah yang akan menjelaskan segala sesuatunya. Musa pun setuju dan mereka pun berlayar..

di tengah pelayaran, tiba-tiba khidir melobangi perahu yang mereka naiki. Musa menjadi gerah dan bertanya kepada Khidir "kenapa kau lobangi perahu ini, nanti penumpangnya kan bisa tenggelam? ku kira kamu telah berbuat kesalahan". Khidir tersenyum saja sambil mengingatkan 'Lho bukannya kamu sudah berjanji untuk tidak akan bertanya apapun kepadaku tentang hal-hal yang kuperbuat? aku kan sudah bilang kamu gak akan bisa tahan belajar dariku? Musa pun meredam penasaran dan gelisah karena tidak menemukan jawaban. tapi Ia harus meminta maaf. Musa berujar 'Ok lah saya ndak akan bertanya lagi, tadi saya benar-benar lupa tentang kesepakatan kita...lain kali saya tidak akan bertanya'
setelah mereka mendarat. mereka berdua berjalan menuju sebuah desa. disana Khidir melihat seorang anak kecil dan tiba-tiba saja khidir membunuh nya. Musa pun geram dan bersuara keras "Khidir...kenapa kau bunuh anak kecil tak berdosa itu? kamu telah berbuat satu kemungkaran besar..Musa kecewa...Ia berfikir akan belajar dari seorang yang baik budi pekertinya dan disabdakan bahwa ilmunya lebih tinggi. namun kok orang ini membunuh? Khidir pun tersenyum lagi dan berkata "kamu ingat janjimu kan untuk tidak bertanya? berkali-kali aku bilang bahwa kamu tidak akan kuat belajar dari aku, tapi kamunya ngeyel?' Musa pun geram dan hanya bisa meredam penasaran dengan hati tak menentu..."sudahlah kamu ndak usah belajar dari aku, kamu tidak bisa pegang komitmen untuk tidak menyanggah, bertanya atau berinterupsi tentang semua yang aku perbuat" kata Khidir.
Ingin sekali Musa menghentikan perguruannya, namun ini adalah perintah Tuhan untuk belajar dari seorang Khidir. akhirnya Ia pun meminta untuk diberi kesempatan satu kali lagi. Khidir sebenarnya sudah tak percaya bahwa Musa bisa menahan kesabaran untuk tidak cerewet, namun Khidir akhirnya merasa iba setelah Musa memohon agar diberi satu kesempatan lagi untuk yang terakhir kalinya. ini bererti bahwa Jika Musa bertanya lagi maka Musa harus pergi dari Khidir dan tidak meneruskan perguruan nya lagi...

Hingga di suatu waktu, Khidir dan Musa memasuki sebuah desa. mereka berdua lapar dan hendak meminta makan kepada penduduk desa itu, tapi sial karena ternyata penduduk desa itu tidak seramah yang mereka kira. Mereka sangat pelit dan menolak memberi jamuan makan...lantas disana khidir melihat sebuah bangunan dengan dinding yang sudah roboh. tiba-tiba Khidir pun memperbaiki dinding itu dan Musa pun bertanya 'kenapa sih kok repot-repot perbaiki dinding ini?, kalau kita mau kita bisa minta upah untuk ini khan dari mereka?' Khidir pun tersenyum lagi dan berkata 'nah kamu akhirnya bertanya juga...sudah kubilang bahwa kamu tidak akan sanggup berguru padaku. dan kamu barusaja mengakhiri janji mu untuk tidak bertanya apapun. nampaknya, kita memang sudah tidak bisa berjalan bersama lagi..."
walaupun demikian, sebelum berpisah akan aku jelaskan hal-hal yang engkau tanyakan padaku selama ini:

tentang perahu yang ku lobangi, perahu itu sebenarnya adalah milik seorang nelayan miskin, aku melobanginya untuk membuatnya tampak cacat karena sebenarnya di pelabuhan ada seorang bajak laut yang merampas perahu-perahu yang layak pakai. aku membuatnya tampak rusak agar si bajak laut tidak merampas perahu itu. adapun tentang anak kecil yang kubunuh, itu juga kulakukan karena wahyu Allah. kedua orang tua anak itu adalah orang yang beriman, Allah menyuruhku membunuhnya karena jika dibiarkan hidup anak itu akan jadi anak durhaka dan menjadikan kedua orang tuanya kafir. Allah menyuruhku membunuhnya karena IA ingin menggantikan anak itu dengan anak yang lain, yang lebih suci dan lebih bisa berbakti pada orang tuanya kelak.

Adapun tentang dinding ini, sebenarnya adalah milik suami istri yang salih. mereka telah mati dan meninggalkan dua orang anak yatim. Di bawah dinding ini tertanam harta warisan untuk dua anak yatim itu. Allah menyuruhku membangun dinding ini lagi agar harta yang tertanam aman dan kelak dua anak yatim itu bisa megambil hartanya ketika mereka sudah tumbuh besar`...

Ketahuilah Musa bahwa Semua itu tidak aku lakukan atas dorongan dan kehendak pribadiku..Khidir menegaskan
sudahlah, sampai sini saja pertemuan kita. aku sudah sampaikan bahwa engkau tidak akan sanggup belajar dari aku....dan Musa pun pergi dengan sedikit rasa kecewa.

selesai membaca ayat ayat ini aku berfikir bahwa "ternyata Nabi pun suka menghakimi", seperti Musa. jadi, menjadi beragama dan menghakimi itu mungkin tak perlu dipersalahkan. Menghakimi adalah hal yang lumrah (manusiawi) apalagi jika seseorang merasa ada landasan-landasan tertentu norma agama misalnya...namun aku belajar satu hal bahwa ternyata, orang tidak akan belajar apapun jika hanya bisa menghakimi seperti Musa yang gagal belajar lebih dari sosok Khidir

kedua, bahwa kalaupun kita suka menghakimi kita selayaknya paham bahwa segala perbuatan itu tidak bisa dihakimi dari satu sisi saja...moralitas itu tidak lahir dari ruang kosong. ternyata ada hal-hal "dosa" yang dilakukan bukan karena kehendak pribadi dan bukan pilihan (choice) namun itu telah disabdakan...
mungkin... benar kata Ashis Nandy, seorang pemikirl asal Pakistan bahwa tidak ada Malaikat yang benar2 putih dan tak ada Setan yang benar2 Hitam'

(Madyan: Tafakkur Ramadhan hari ke 12)

Tuesday, July 31, 2012

(11) Si Bimbo dan Pertanyaannya


Salah seorang teman saya, Muslim, laki-laki, tadi bertemu dan bilang bahwa dirinya sedang "udzur" tidak berpuasa. Hmmm, tengah hari tadi saya lihat dia menyeruput es Degan sambil sayup-sayup melantunkan lagu Bimbo yang liriknya berbunyi "Ada anak bertanya pada bapaknya, buat apa berlapar-lapar puasa?". Wah, Saya jadi terusik untuk ikut ngakak, dan... kami pun berbincang-bincang. 

Saya suka dengan pertanyaan Bimbo dalam lirik itu, walau saya tak begitu tertarik dengan jawabannya. Saya fikir, baik saya maupun masing-masing anda yang berpuasa seharusnya punya jawaban sendiri tentang untuk apa kita berlapar-lapar puasa? Ya ini adalah sebentuk komunikasi sakral berupa ibadah yang sangat private dan intim antara hamba dengan Tuhannya. Jadi jawabannya anda dan Tuhan sendiri yang tahu. Untuk apa anda puasa? 

Secara umum, Tuhan memang kemukakan alasan pensyariatan puasa dalam al-Quran, yaitu "Agar kalian bertakwa".... namun, penjabaran dan refleksi anda sendiri bagaimana tentang takwa itu? Saya sebut puasa ini urusan kita yang prifat, karena Tuhan juga pernah bersabda dalam Kalimat kudus (Hadits Qudsy) Nya "Asshoumu Lii wa ana ajzii bihi" (Puasa itu adalah ibadah khusus buat-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya). Loh, apakah ibadah lain bukan untuk Dia? Tentu saja semua ibadah hanya untuk-Nya. Akan tetapi, sabda kudus tadi ingin menegaskan bahwa ganjaran dari ibadah-ibadah lain itu sudah fix pahalanya; harga dari Tuhan sudah tertera; setiap amal seakan sudah ada label atauprice tag-nya. Misalkan, satu ibadah bernilai 10 kebaikan, 27 kebaikan dan seterusnya. 

Berbeda dengan puasa. Ibadah yang ini tak ditempeli harga pasti. PUASA adalah satu-satunya Ibadah dimana Tuhan memilih untuk mentraksasikannya secara tradisional; ada semacam "tawar menawar", sebentuk audisi; ada evaluasi dari nya yang sangat pribadi; dan Dia sendiri memang yang akan memberi kita harga (pahala) yang paling pantas untuk puasa kita. 

Ingatkah sahabat tentang tulisan saya tentang "Jual beli ibadah di pasar Kaget?" Ya, biasanya Tuhan belanja ala swalayan modern. Berbeda untuk ibadah puasa ini, DIA lebih memilih pola dagang di pasar kaget, dimana harga belum ditentukan sebelumnya. Jadi, ini memang benar-benar kompetisi. lalu dengan puasa ini kita nanti dapat apa?

Kalau semua yang kita lakukan ini hanya agar nanti di akhirat kita memiliki kenangan bahwa kita pernah kehausan dan kelaparan... Wah, saya benar-benar sepakat dengan teman saya, yang menyeruput Es Degan di siang bolong tadi. Teman, mungkin ada baiknya kita berdiskusi dengan Tuhan, seberapa mahal kwalitas puasa kita yang harus Ia bayar... ah, tapi hati-hati ini... karena menurut saya, Ibadah puasa ini bukan hanya tentang peluang bisnis yang basah dan itung-itungan..  


( Tafakkur Ramadhan hari 11)

Monday, July 30, 2012

(10) S E T A N Penabuh Drum-Ban


Saya bingung mau saya beri judul apa refleksi hari ini, yang jelas ini tentang Setan. Ya pada bulan Ramadhan tahun lalu saya juga bicarakan SETAN. Waktu itu refleksi saya berjudul "Puasa: Antara Setan dan Saya". Menarik, karena jika bukan di Bulan Ramadhan, saya (mungkin) tak pernah ingat jika SETAN itu ada, kecuali saat saya sedang mengaji, karena Setan memang sering sekali disebut didalam kitab suci, bahkan berulang-ulang. Tapi hingga hari ini, masih sama seperti tahun lalu, saya pribadi lebih sering memilih untuk menganggap Setan itu bukan sesuatu yang di luar saya. Setan adalah sisi-sisi kelam dari pribadi diri saya sendiri.

Tentang kebiasaan saya menulis tentang Setan di bulan Ramadhan ini, saya justru menjadi bertanya; Apakah Ramadhan ini betul-betul "bulan tanpa setan" atau justru ini adalah "bulan ada Setan"?

Kali ini saya teringat satu cerita tentang SETAN. Dikisahkan, bahwa suatu hari Setan membangunkan seseorang yang sangat saleh untuk bertahajjud dan berdzikir malam. Orang saleh itu pun bangun. Setelah shalat dan berdzikir panjang, ia pun bertanya "Mengapa engkau bangunkan aku untuk sembahyang? bukankah kamu adalah SETAN. Tugasmu adalah untuk menghalangi ku beribadah?" Sambil tertawa Setan menjawab, Iya benar, aku bangunkan dirimu dan mengajak mu tunaikan kebiasaan shalat malam dan dzikir, karena aku tahu bahwa engkau adalah seorang yang saleh. Aku bangunkan dirimu, karena dengan demikian, seharian nanti kamu akan merasa baik-baik saja. Berbeda jika engkau kubiarkan tidur hingga fajar, tak kubangunkan, maka sepanjang hari nanti kamu akan menyesali tidurmu itu, sehingga engkau menjadi merasa sangat berdosa dan buruk. Dengan perasaan itu mungkin engkau akan justru menjadi lebih khusyu' dalam rakaat shalat yang berlipat-lipat... 

Orang saleh itu terdiam dan merasa bahwa tak selalunya setan itu menyuruh keburukan; bahwa ternyata banyak hal baik juga yang terjadi karena "godaan" setan.... 

***

Teman, itu kan cerita hikmah tentang SETAN.... entah benar entah tidak. Tapi kali ini saya mau ceritakan kisah setan yang benar-benar terjadi.  Waktu sahur tadi, saya terbangun dengan marah-marah dalam hati. Mengapa? karena saya harus terbangun pukul DUA pagi. Padahal, saya baru merebahkan diri pukul SATU. Asal teman tahu, di kawasan Matraman Dalam, hampir setap pukul 2 dini hari ada kelompok drumband yang bertugas membangunkan warga untuk sahur. Ya, satu pleton drumband, lengkap dengan alat-alat musik yang sangat sophisticated, mulai dari panci, ember wajan, dan semua yang bisa berbunyi mereka bawa.... Jika tak bawa pun, mereka masih tetap bisa berkarya; memukuli tiang-tiang listrik di sepanjang jalan.

Teman, apa yang mereka lakukan itu adalah kreatifitas tingkat tinggi, plus... itu (kemungkinan besar) adalah ibadah yang berpahala dan (mungkin) menyebabkan mereka masuk sorga. Tapi Hallo saudara-saudara... itu drumband mainnya setiap jam 2 dini hari, dengan irama yang tak begitu mempedulikan genre, yang penting masuk ke HATI dengan cara menjebol gendang telinga Yeah...You Must be kidding me!

Allahuakbar...Saya adalah orang yang lumayan tahan berisik, tapi untuk "Drumband Matraman" setiap jam dua pagi? Duh, Adakah versi kehidupan yang lebih baik? Mereka beraksi dengan formasi berputar-putar, keliling kampung, dengan niatan yang bagus; membangunkan orang-orang untuk sahur dan ibadah malam... Tapi, bukankah sahur itu harusnya di akhir waktu (ta'khir)... kenapa tidak sabar menantikan sedikit waktu sampai menjadi relatif sudah "pantas", pukul 3.30 misalnya? Subuhnya kan masih jam 5? Selalunya, saya baru memasuki pintu sorga lantas grup Drumband itu menyeret-nyeret saya ke neraka; saya baru saja masuki alam mimpi yang indah, lantas pasukan Rahwana itu memaksa saya untuk melihat kembali dunia yang penat?

Sekali lagi, itu tadi jam DUA? Sialnya, mereka adalah seniman-seniman tak kenal lelah. Jika masih tak puas dengan satu putaran... jam 2: 15 mereka akan tampil lagi, dan berikutnya jam 3: 00....dst.  Oke lah, alhamdulillah... Sebuah pawai yang bisa saya nikmati gratis setiap hari di bulan suci ini.

Nah terus? kaitannya dengan setan?... Begini, bahwa benar, saya menyebut mereka "Pasukan Drumband" kreatif yang berbakat. Kalau perlu, mereka ingin saya nominasikan sebagai para pahlawan negara. Tapi, tadi... saat pasukan itu mengepung balkon kamar saya dan mengagetkan seluruh syaraf yang baru saja melemas. Saya terperanjat sambil menyebut mereka "S E T A N" !!!

Entah apa yang ada di benak istri saya pagi tadi. Dia tak berkata-kata, namun saya lihat wajah nya menggurat satu ekspresi, yang jika dilihat dalam kamus-kamus ilmiah, ekspresi itu berbunyi "Mereka bukan SETAN, tapi anaknya..." :) hehehe

Refleksi ini saya tulis pada saat kepala saya sudah dingin. Saya ingin koreksi diri saya saja; apakah saya telah salah menyebut mereka SETAN? Ternyata, memang tidak. Karena sebagaimana cerita saya tentang "Setan dan Orang Saleh" di atas tadi, terkadang Setan memang berbuat kebaikan, seperti pasukan drumband yang tak ingin jika seorang Muslim menjadi pingsan kelaparan di siang puasa, gara-gara tak makan sahur itu.

Jadi baiklah SETAN, silahkan bangunkan saya lagi besok... coba sekali-kali pukul satu!

(Madyan: Tafakkur Ramadhan hari ke 10) 

(9) Berkemas untuk Kehidupan atau untuk Kematian?

Seharian ini berkemas-kemas dan saya merasa capek lahir batin. Saya sedang kemas-kemas barang, karena saya akan pulang ke kota Malang bersama Istri. Saya akan meninggalkan Jakarta. Ada perasaan gundah juga... bukan ragu, namun saya memang masih bertanya dan pertanyaan saya saya anggap sebagai doa "Apakaha keputusan saya meninggalkan Jakarta dan kembali ke kampung halaman untuk tinggal bersama keluarga, mertua dan istri sudah benar" Well, hati saya memang selalu mengatakan bahwa ini sudah benar...

Hanya teringat Santiago, lagi-lagi sosok "pencari harta" dalam cerita novel sang Alkemis. Hidup saya saat ini mirip dengannya saat meninggalkan domba-dombanya demi menggapai mimpi mendapatkan harta karun di piramida-piramida Mesir? Ataukah saya justru sedang menuju pulang, dimana harta karun itu sebenarnya ada di rumah saya sendiri, setelah saya melalangbuana kesana-kemari? Jawabannya entah... Yang jelas ini bukan tentang harta karun. Ini lebih berharga... Ini adalah tentang CINTA dan pemenuhan atas Kasih....jadi saya benar-benar tak ingin ambil pusing tentang apa yang akan terjadi; entah saya berkemas ini untuk "kehidupan" atau untuk "kematian"

Saya berkemas-kemas dari pagi ditemani istri...Saya baru menyadari bahwa barang-barang ini telah menjadi banyak dan nampaknya berat. Mungkin ada dua puluh karton yang akan saya Cargo. Entah, mengapa barang saya selalu banyak...? Yang jelas dari dulu hingga sekarang, saya masih belum bijak menerapkan kata-kata saya sendiri, bahwa terkadang hidup berlimpah itu bukan dengan cara menambah, namun mengurangi...

Ramadhan kali ini benar-benar terasa berkah nya bagi saya...Karena ia bukan hanya membersamai peluang-peluang kehidupan saya yang baru. Ia juga membersamai cinta dan harapan. Ia bukan hanya Ramadhan, bulan yang suci yang memberi kesempatan untuk perpindahan spiritual saya menjadi manusia lebih baik...Ia juga seperti Muharram, bulan dimana terjadi Hijrah; perpindahan fisik saya dari satu tempat ke tempat yang (semoga) akan lebih baik.    

         

Sunday, July 29, 2012

(7) "Jual Beli" Ibadah di Pasar Kaget

Di bagian dalam perkampungan Matraman ada pemukiman penduduk yang lumayan berhimpit-himpit. Disitu, ada sebuah pasar yang seingat saya namanya "Pasar Kaget". Selama setahun ini saya membeli bahan-bahan masak, jika sedang mood kepingin masak sendiri. Biasanya itu terjadi jika saya sedang bosan dengan nasi padang atau nasi tegal ala Ibukota. Disebut "pasar kaget" karena sebenarnya itu bukan pasar yang "resmi" didirikan negara. Itu hanya kumpulan beberapa pedagang, tak lebih dari seratus orang yang menyediakan beragam kebutuhan. Tentu saja itu jenis dari pasar tradisional, karena satu nilai sosial masih sangat terjaga, yaitu "tawar menawar". Di hari-hari biasa, pasar kaget ini buka setiap pagi, dari jam 6 sampai jam 12 an. Namun di bulan Ramadhan seperti ini, Pasar Kaget Matraman itu kadang-kadang buka dua shift; pagi dan sore hari

Saya membicarakan pasar, karena semalam saya juga samar-samar mendengar ceramah Ramadhan dari corong Masjid Jami, yang juga tak jauh dari lokasi pasar itu berada. Menariknya, apa yang disampaikan pedagang di pasar pagi tadi mirip dengan apa yang disampaikan sang penceramah, baik nada maupun intonasinya. Yang membedakan hanyalah "dagangan" dan "harga" nya. si Pedagang tadi menjual barang-barang pecah belah seharga 10.000 dapat tiga, sedang si ustadz semalam menawarkan "rahmat Ramadhan" seharga taraweh (plus witir) sejumlah 23 putaran.  
 
Dari semua yang terdengar, saya berkesimpulan bahwa kita memang mahluk Tuhan yang sangat perhitungan. Bahkan Tuhan sendiri harus membahasakan hubungan penghambaan ini dengan istilah "jual beli" (QS.al-Taubah:111) seakan Tuhan harus menawarkan harga yang begitu tinggi untuk persembahan ibadah kita, barulah kemudian kita bilang "deal!". Sebentar saya diam, kemudian saya benar-benar menyadari bahwa kebanyakan dari amal ibadah kita di bulan ini sebenarnya tak lebih dari 'itung-itungan pahala', 'kontrak-kontrak bisnis' dan lobi 'kepentingan' dengan-Nya.      

Sama sekali tidak ada yang salah dengan itu. Toh, hakikat dari 'keikhlasan' atau 'ketulusan' itu terlalu tinggi untuk kita gapai. Namun, sadar atau tidak, sebagian besar dari kita memang masih butuh motivasi-motivasi sedemikian rupa untuk menyembah Tuhannya, berbuat baik dan peduli terhadap sesama. Setiap Ramadhan datang, 'Marketing tools' yang di gerai sangat dahsyat, khutbah dan kultum para ustadz tentang keutamaan bulan ini mungkin mengalahkan promosi musim diskon di pasar dan mall-mall. Saat ini memang sedang digelar gebyar ganjaran dan obral pahala. Tak berkutik, kita hanya bilang "Subhanallah, Alhamdulillah... Tuhan sungguh maha pemurah"

Sahabat, berbisnis dengan Tuhan itu memang asyik. Tidak ada resiko rugi, terkadang bahkan cukup bermodal 'dengkul' (jawa: lutut). Ya, benar-benar 'dengkul' yang cukup di tekuk-tekuk ketika ruku' dan sujud, kita sudah pasti dapat untung besar. Di bulan Ramadhan ini apalagi, untung kita bisa berlipat-lipat ganda.

Namun... entahlah, saya berjalan pulang dari pasar kaget tadi sambil merenungkan diri saya pada bulan Ramadhan ini. Tiba-tiba tersbesit di hati saya untuk menganggap bulan ini BUKAN sebagai agenda 'kontrak bisnis' dengan Allah. Mungkin lebih baik saya akan gunakan pertemuan Ramadhan ini untuk menawarkan 'kontrak persahabatan' saja dengan-Nya. Saya sedang berfikir tentang 'kontrak penghambaan, penghormatan dan rasa terimakasih yang sungguh-sungguh jujur keluar dari lubuk yang dalam'.

Teman, ini bukan karena 'lebay' atau sok 'kebanyakan pahala' atau tidak tergoda dengan bahasa-bahasa marketing Tuhan tentang 'bulan penuh berkah' ini. Namun, memang ada saat-saat tertentu dimana ketika merenungkan wujud-Nya, saya tidak ingin memiliki personifikasi tentang-Nya sebagai 'pembeli ibadah' atau 'penjual voucher-voucher pahala'. Saya ingin menyanjungnya sebagai sosok Tuhan yang sungguh sangat layak untuk saya sembah dan saya cintai dengan sepenuh jiwa...

Friday, July 27, 2012

Tragedi Mudik yang Manis


Lebaran sebentar lagi dan saya sudah siap-siap mudik. Kemarin saya pergi ke sebuah SALON di salah satu mall ibu kota untuk merapikan rambut saya. Agar tampak lebih ganteng pikir saya..hehe. Hmmm iya, gagasannya adalah mudik lebaran dengan rambut baru...:) Sesampai di Salon, saya memilih hairstyler yang paling professional yang ada disitu. Jika yang lain tarifnya hanya 40.000++ saya rela membayar 60.000++ untuk hairdo yang saya kira-kira handal... Ya, saya tak mau sembarangan kali ini, karena saya sedang memotong rambut yang konon merupakan mahkota penampilan itu...Hmm, Sedikit lebay kali ini, karena saya rindu sekali dengan Ibu saya, dan saya ingin terlihat OKE di depannya nanti.

Selesai saya ajukan request ini dan itu, saya pun tertunduk beberapa saat, sibuk dengan Blackberry saya...subhanallahcepat sekali pemangkas rambut itu bergerak membabat mahkota saya, hingga saat saya melihat ke cermin. saya terpanjat...loh, KOK? Sial....., rambut ala boyband saya ilang!!! hahhahaha 
Sekarang yang ada di cermin adalah seseorang yang tidak begitu saya sukai. ya, diri saya sendiri dengan rambut yang hampir habis... STOP ya mas..."anda benar-benar telah merusak gairah saya di penghujung bulan suci ini" ujar saya dalam hati. Namun apa daya, "rapikan saja mas...teruskan!"

Saya cerita tentang tragedi ini ke beberapa teman pria saya, namun menyesakkan...komentar mereka tak semuanya menyenangkan. Beberapa teman bilang "lagian, kamu ini metrosexual sekali ya?" yang lain bilang "salah sendiri terlalu ngurusi penampilan" yang ketiga menertawakan "hahaha...rasain, makan tuh poni kuda" duh duh duh teman-teman...kalian anti sekali dengan perawatan diri. ini kan hanya soal memotong rambut di salon, bukan mandi susu atau SPA aromatherapi! 

Saya ingin mengatakan bahwa dahulu sahabat Rasul bernama Abdullah bin Abbas dikenal sebagai pria paling harum dan perfect dalam mengurus penampilan. Rasulullah menyukainya. beberapa Sahabat lain sampai bertanya kok anda sebegitunya dengan penampilan anda? namun dengan lantang Ibnu Abbas berkata, bukankah Allah berfirman..."dan wanita-wanita itu memiliki hak yang sama, sebagaimana mereka memiliki kewajiban yang diembankan pada mereka, berupa kebaikan-kebaikan (Q.S. al-Baqarah: 228).. Jika wanita diperintah berhias agar para suami senang melihatnya, maka sebenarnya suami pun berkewajiban menjaga fisik dan penampilannya agar istri mereka juga suka melihat suaminya. Nah, gara-gara penafsiran metro ala Ibnu Abbas ini, banyak kemudian dari kalangan para Sahabat yang mandi dua kali sehari, padahal biasanya mereka mandi sehari sekali atau dua hari sekali...:) 

Teman, Tuhan menciptakan manusia sebagai mahluk yang paling baik bentuknya Ahsana Taqwim. Professor Zainun Kamal kemarin menafsirkan 'Ahsana Taqwim" sebagai "sebaik-baik rancangan", bukan hasil jadi. Taqwim adalah potensi, sebuah design yang harus kita urus dan kita lanjutkan kebaikannya. Dalam status facebook saya beberapa hari yang lalu saya tulis bahwa "menjadi tua itu pasti, tapi menjadi menarik lebih lama, itu mutlak pilihan kita..." mutlak usaha kita untuk menjaganya...

Orang yang menyia-nyiakan penampilan fisiknya adalah mereka yang tak mensyukuri karunia Tuhan. Hemat saya, jika dilakukan dalam batas-batas yang masuk akal dan tidak extravagant, maka sebenarnya menjadi wanita pesolek atau pria metro itu tidak ada jeleknya. Sebagaimana jiwa yang selalu memungkinkan untuk berkembang lebih baik, penampilan dan kesehatan fisik adalah juga titipan Allah yang seharusnya dijaga dan dikembangkan. Ada ujaran yang mengatakan"When you look good you feel good, when you feel good you look good" (jika kamu terlihat bagus, maka jiwa mu akan merasa bagus, jika jiwamu merasa bagus, maka penampilan fisik mu pun akan terlihat bagus)

Perihal rambut saya tadi, itu adalah sebuah kecelakaan kecil yang ingin saya refleksikan... ada sedikit luka berupa penyesalan di hati. Wajar, karena saya harus membayar sekian puluh ribu hanya untuk terlihat lebih buruk dari sebelumnya. Namun saya tahu, bahwa penampilan fisik ini adalah urusan saya, jadi saya buka lemari saya dan saya temukan peci bulat yang biasa saya pakai ketika shalat Jum'at. Saya ambil peci itu dan saya kenakan....Hmmm ternyata.., saya tidak begitu menyesali rambut saya yang hilang tadi. perasaan saya kembali membaik...dan saya pun berangkat mudik dengan menggunakan peci, kaos oblong dan celana 3/4 andalan saya ketika travelling.

Ketika mengetik tafakkur ini saya sedang berada di dalam kereta mudik menuju Bandung dan Malang...di dalam stasiun tadi ada yang menyapa "Assalamualaikum ustadz...anda yang tampil di TV itu bukan?" hahhaa saya bilang "bukan...mbak.." kemudian sambil nyengir mbak-mbak itu pergi sambil bilang "oh maaf....saya kira.."

Hehehe...diam-diam, saya tersenyum sendiri mengingat manis-manis kecil di bulan ini. Ramadhan yang hampir pergi masih menyisakan legit yang sayang jika tak dilukiskan rasanya. Saya menikmati setiap detik bulan ini...walau seringkali saya mengeluhkan bosan, malas dan tak begitu berharap lagi tentang gagasan-gagasan kembali fitri dan pencapaian atas kemenangan...

(Madyan: Tafakkur Ramadhan)

Ramadhan: Jangan Boros Kebaikan


Semalam sahabat dekat saya di Yogya mengirimkan sms "Dyan, aku bosen dengan agama, aku bosan dengan ritual Ramadhan dan lebaran". Hmmm...Saya sedikit terkejut, karena setahu saya, teman akrab saya ini adalah seorang jilbaber taat yang sehari-harinya saya lihat memiliki citra kesalehan di atas rata-rata..(Weh, maaf ya mbak xxxxx, mungkin anda sedang membaca tafakkur saya ini...! hehe)

Saya bilang, yah kebosanan itu memang Tuhan yang ciptakan...Tuhan sendiri tak memiliki kebosanan. Dalam sabda Nabi disebutkan bahwa Tuhan tidak akan bosan sampai kalian sendiri yang bosan". Bukankah Ramadhan sudah tinggal dua hari lagi, tapi mengapa keluhan begitu menjadi penting buat mu? Saya bilang mungkin kamu 'boros' beribadah..kamu mementingkan kuantitas dan jumlah...Teman, berlomba-lomba ibadah di bulan Ramadhan ini bukan hanya tentang jumlah, ini tentang perlombaan jiwa. Mungkin kamu bosan karena ibadah terlalu banyak, jadi menurut saya, dikurangi saja, sedikit jumlahnya tapi 'nendang' di hati... 

Jujur, saya memang tidak tahu harus merespons seperti apa, karena saya fikir itu adalah curhatan paling jujur yang tidak pernah saya sangka-sangka. Saya pernah curhatkan hal yang relatif mirip dalam salah satu catatan tafakkur saya di awal-awal Ramadhan dulu, tapi ternyata memang demikianlah sebuah siklus hati..sebuah fluktuasi iman dan ketaatan. potret yang sebenarnya tentang kelabilan emosi yang saya yakin dimiliki setiap hamba. 

Ada fase-fase tertentu ketika kita perlu 'memberhentikan sejenak' atau 'mengurangi' ritual-ritual itu sehingga kita memang beribadah betul-betul dengan kesadaran dan gairah...bukan semata karena dorongan-dorongan dari luar. Tuhan memang memanggil jagat untuk beribadah dengan sistem dan simbol-simbol, seperti syariat adzan, gema Ramadhan, atau bulan-bulan khusus untuk haji. Namun esensi dari panggilan peribadatan itu sebenarnya terjadi manakala Allah secara khusus memanggil hati dan sanubari kita masing-masing untuk mendatangi-Nya. Benar,  panggilan sebenarnya adalah panggilan yang khusus itu....

Nabi pernah bersabda "tiada kebaikan dalam pemborosan, dan tiada pemborosan dalam kebaikan". kalimat kedua itu sebenarnya sangat penting. bahwa kita memang tak semestinya mengerahkan semua tenaga dan upaya untuk ibadah secara maksimal dalam satu waktu, kemudian ketika 'battery' kita habis kita menjadi loyo tak beribadah sama sekali di waktu yang lain. Sedikit asal berketerusan...sederhana namun selalu disadari... secukupnya namun selalu disemangati oleh niat penghambaan yang tulus. Kita, tak seharusnya boros dalam kebaikan.....karena kita manusia, kita memiliki kebosanan...

Nikmatilah saat dimana kita merasa sangat dekat dengan Tuhan... 'sadari' pula dengan sepenuh hati saat kita merasa jauh dengan-Nya....sebuah pengakuan terhadap diri sendiri...sebuah kejujuran yang memang sangat manusiawi. Saya sendiri percaya bahwa pada saat kita menyadari jarak antara KITA dengan TUHAN, disitulah saat-saat kita mampu mempersiapkan perjumpaan yang lebih intim dengan-Nya....

Permainan diatas Permainan


Anda suka bermain game? Play Station? Game di Komputer? di Handphone? Ya, saat ini saya sedang main game-game sederhana di layar laptop saya, ketika tiba-tiba saya merefleksikannya dengan 'Ramadhan'. Satu bulan yang sejatinya mirip sebuah permainan yang dibingkai dalam design Agama. Dalam bulan ini, ada aturan main; ada musuh-musuh yang harus diserang, dihindari dan dimatikan...ada juga tujuan perjalanan, ada bonus-bonus dan peluang reward yang muncul secara random, acak dan tiba-tiba... Ada waktu yang harus habis, dan ada saatnya kita dinamakan menang atau kalah. Permainan ini juga akan berhenti saat waktu habis. GAME IS OVER! 

Dalam design khusus permainan Ramadhan ini ada bonus besar, selain Rahmat, Ampunan dan Pembebasan dari api neraka. Yaitu bonus suatu malam yang disebut-sebut memiliki kebaikan melebihi nilai seribu bulan. Laylatul Qadarnamanya. dia disebut sebagai malam yang "Khoirun min alfi Syahr" (LEBIH dari nilai kebaikan seribu bulan) Ingat ya, bukan sebanding atau setara dengan seribu bulan, tapi melebihi! Entah lebihnya berapa, menurut saya tidak perlu di kalkulasi, karena ungkapan 'seribu' dalam sastra juga bisa berarti 'tak terhingga'.  

Wah hebat jika kita berhasil menjumpai malam itu, karena mungkin para 'setan' akan mendapatkan skak mati. Alih-alih kita akan masuk jaringannya di Neraka, karena umur kita bahkan mungkin lebih sedikit dibanding nilai kebaikan yang dirangkum dalam detik-detik malam itu. Catatan kejelekan kita selama ini hanya akan senilai dengan debu yang diterpa angin topan, tak berarti apa-apa!...jika dapat menjumpai malam itu, anda mungkin bisa masuk SORGA tanpa audisi...!

Mungkin, karena bonus Laylatul Qadar itu sangat menggiurkan, banyak para senior 'game' ini yang memberi arahan-arahan. Bahkan Nabi Muhammad saw pun terlibat, beliau bersabda agar kita berburu bonus laylatul Qadar ini di malam-malam ganjil yang terakhir dari bulan ini. Para Ulama pun menjadi ribut soal kapan spekulasi malam itu di turunkan. wajar dong...siapa yang tidak mau?

Beberapa hari yang lalu teman senior dan juga guru saya di NU ditanya tentang kapan Laylatul Qadar turun tahun ini? lalu teman saya itu menjawab "Sudah, tadi malam!" dia bertanya lagi "Lho anda kok tahu?" Kata teman saya " Ya, saya diberitahu Gus Dur" sambil menyelonong pergi meninggalkan si penanya bingung dengan dirinya sendiri..hehe.. Saya pun ikut terbahak mencermati adegan cerdas itu...Ya benar, karena Laylatul Qadar ini misteri, teka teki...tak ada bocoran sama sekali tentang kunci jawaban soal ini...

Memang ada gairah yang begitu sangat menggoda untuk bisa menjumpai anugerah malam ini, tapi memang jarang yang benar-benar yakin pernah menjumpainya. Hingga saat ini yang bisa saya yakini adalah bahwa malam besar itu adalah misteri dan akan tetap indah selama ia menjadi misteri. Sekali saja misteri itu kita buka tabirnya, maka permainan tidak akan asyik lagi. karena berarti anda pasti menang...!

Ramadhan sejatinya hanyalah peluang, bukan anugerah yang otomatis disediakan Tuhan...Gebyar Ramadhan sebenarnya merupakan kesempatan, bukan dorprize tanpa undian...jadi jangan merasa bahwa jika anda keluar Ramadhan nanti, anda pastilah pemenangnya, karena dalam permainan ini memang harus ada yang menang, ada yang kalah, ada yang untung dan ada juga yang rugi...Ya permainan ini sebentar lagi berakhir...GAME OVER! Tak peduli jika anda tersenyum, atau menangis...jika anda beruntung atau merugi. Nabi memang pernah bersabda bahwa kerugian yang sangat besar jika kita mendapati bulan ini, namun kemudian ia pergi pada saat kita belum terampuni.. Naudzubillah.

Ya, tak berarti analogi sebuah game tidak serius, karena Ramadhan bukan sembarang game... ini adalah game yang membawa kesempatan dan memberi harapan. Walau demikian, selalu ada ancaman bahwa ketika ia pergi mungkin ia tak akan kembali...

(Madyan:Tafakkur Ramadhan hari 27)

Shopping Lebaran: Antara Egoisme dan Altruisme


Ada euforia yang dirasa hampir semua umat Islam di Indonesia pada ujung-ujung bulan Ramadhan seperti ini... sebuah tradisi untuk merayakan kemenangan dengan berfoya-foya dalam segala bentuknya. SHOPPING, mulai dari baju hingga makanan. Gila-gilaan bersedekah dengan membagi-bagi tunjangan. Sebagian besar dari kita, termasuk saya juga sangat terlibat aktif mengerahkan seluruh nafsu, yang konon tidak ikut dibelenggu itu, dalam hiruk pikuk pasar. Kita pilih-pilih semua barang yang menurut nafsu kita bagus, menarik, murah dan lain sebagaianya. Berbagai alasan kita buat untuk menjustifikasi sebuah gelora tak terbendung bernama 'SHOPPING', belanja... Ya, ego kita sangat bergembira saat kita memanjakannya sedemikian rupa.

Namun teman, Tafakkur ini bukan tentang penghakiman baik buruk atas sindrom gila itu. Tulisan ini ingin mengatakan bahwa ternyata shopping yang kita lakukan itu bukan semata pemuasan akan nafsu pribadi, karena barang-barang yang kita belanjakan itu ternyata tidak semua untuk kita...barang-barang yang saya beli adalah 90% untuk orang lain...untuk ibu saya, bapak saya, adik-adik saya dan orang-orang yang saya sayangi. Saya memang tidak ingin memberi label "orang-orang yang membutuhkan" pada siapapun. Karena bagi saya, ini adalah momen perayaan. setiap sedekah yang kita berikan kepada 'yang membutuhkan' itu menurut saya sebaiknya dibahasakan sebagai 'pemberian-pemberian kepada orang-orang yang kita sayangi'. Toh, orang-orang yang kita sebut 'membutuhkan' itu ternyata ada difikiran kita dan mereka kita sayangi, terbukti kita memiliki hasrat untuk memberi mereka sesuatu. 

Ternyata ada simpul yang sangat menarik, bahwa ujung Ramadhan telah menyatukan antara EGOISME dan ALTRUISME dalam satu waktu. EGOISME adalah pemenangan atas nafsu pribadi, sedang ALTRUISME adalah pemenangan atas kepentingan orang lain. Sebuah perjumpaan yang sangat menarik ketika kita berbelanja barang-barang yang sesuai dengan hasrat dan egoisme kita di satu sisi, namun disisi lain, itu adalah bentuk altruisme yang berwujud pengorbanan, pengabdian, bhakti, kasih sayang serta pemenuhan atas kepentingan-kepentingan orang diluar diri kita sendiri.

Jujur, saya tak kuasa jika harus mudik tanpa oleh-oleh... hati saya tak mampu menanggung sebuah spekulasi tentang kekecewaaan orang-orang yang saya sayangi jika menjumpai saya tak berbekal hadiah sama sekali. Jarang  sekali saya berjumpa dengan keluarga dan orang-orang yang selalu mendoakan saya itu, maka alangkah berat hati ini membayangkan sebuah gelagat yang tak akan pernah terucap bernama 'kekecewaaan'. Di musim belanja ini, Altruisme saya berkelindan dengan Egoisme, dalam perjumpaan yang sangat romantis...karena saya merasa bahwa barang-barang yang saya belikan untuk mereka itu adalah juga barang-barang terbaik yang saya pilihkan...barang-barang dimana nafsu saya juga lepas dengan segala buncahannya

Memang ada pemaknaan yang harus kita buat teman. Ini bukan semata sebagai 'excuse' atau pembenaran atas tindak tanduk kita...namun karena kita memang selama ini hidup dengan pemaknaan-pemaknaan. Kita tak bisa menghindari hasrat untuk memberikan justifikasi-justifikasi atas segala perbuatan kita sendiri. Apa yang disebut Nabi sebagai 'NIAT' dimana seluruh amal perbuatan mengakar padanya itu, tak lain adalah sebentuk pemaknaan-pemaknaan yang saya maksud.

SHOPPING bisa semata menjadi gejala pemuasan nafsu yang tak terkendali...namun jika diniatkan dengan nilai-nilai pengorbanan, pengabdian, kedermawanan, ketulusan dan hasrat-hasrat untuk menyenangkan orang lain, maka SHOPPING itu tak bersisi negatif. Ibu-Ibu yang terlihat boros sekali membelanjakan harta suaminya itu ternyata mereka membelanjakannya untuk kepentingan keluarga, anak-anak dan termasuk suaminya sendiri. Ibu-ibu itu tidak berbelanja untuk diri dan egonya sendiri

Beberapa hari lalu kita diingatkan Bapak Quraish Shihab dalam kultum Ramadhannya, bahwa ada sebuah hadits Nabi yang mengatakan 'Tiada kebaikan sama sekali dalam pemborosan, dan tiada juga pemborosan dalam kebaikan'. Maka sewajarnya, secukupnya, dan sesuai kadarnya saja. Betul...kata-kata ini sangat relatif...secukupnya menurut siapa? sekadarnya menurut siapa? Saya hanya akan mengatakan bahwa NURANI kita masing-masing lah yang bertugas mengukur dan mengkadarkannya. 

Berbijaklah dalam segala hal, Niatkanlah yang bagus-bagus untuk segala hal...berikan justifikasi dan pembenaran-pembenaran yang juga bagus atas setiap perilaku, kemudian yakini saja bahwa TUHAN maha pemurah...TUHAN tersenyum manakala kita juga bisa membuat orang lain tersenyum. TUHAN berterimakasih pada saat kita berbagi dan memberi

Temanku, Selamat berbelanja.... :)

(Madyan: Tafakkur Ramadhan hari 26)

Nuzulul Quran: Misteri Yang Selamanya Sakral


Dikisahkan, bahwa al-Quran pertamakali diturunkan pada malam ke 17 bulan Ramadhan ini. Ada sebagian Ulama yang bilang bukan 17, namun alQuran turun pada hari ke 21. Beberapa Ulama mengait-ngaitkan penurunan alQuran ini dengan momentum Ramadhan yang paling berharga, yaitu pada malam seribu bulan (lailatul Qadar). Memang berbeda-beda penafsiran Ulama, namun yang jelas narasi tekstual al-Quran mengatakan bahwa pada bulan ini lah firman Tuhan itu diturunkan kepada Muhammad saw., ...Unzila fiihil Qur'an... (QS:2:185). 

Saya dulu pernah menulis buku berjudul "Peta Pembelajaran al-Quran" yang diterbitkan Pustaka Pelajar, tahun 2008. Salah satu pertanyaan pokoknya adalah ingin mengungkap bagaimana proses pewahyuan al-Quran itu terjadi, antara 'Tuhan' dan Muhammad saw. Sebuah ambisi yang baru saya sadari 'lebay' karena saya ingin menjelaskan pola komunikasi Tuhan dengan manusia bernama Muhammad. Mana bisa saya mengungkap 'rahasia' itu? karena semakin dijawab, semakin banyak pertanyaan yang membuntutinya. Tapi setidaknya, dulu saat buku itu selesai saya tulis, saya sudah merasa sangat paham...walupun sekarang harus saya akui, bahwa ternyata yang saya pahami itu sejatinya hanyalah 'sebuah dongeng'. 

Bahwa sebenarnya, setiap penjelasan Ulama tentang misteri pewahyuan itu sebenarnya apologetik dan hanya berisi spekulasi-spekulasi semata, kemudian sebagian dari spekulasi-spekulasi itu dicari-carikan dalilnya. Sama seperti kebanyakan penjelasan ilmu KALAM tentang hampir semua konsep keimanan kita. khususnya tentang pewahyuan, para Ulama sehebat apapun tidak akan pernah memiliki kapasitas yang cukup untuk  memberikan reportase yang akurat tentang prosesi pewahyuan itu, walaupun sekedar penjelasan-penjelasan mereka itu kemudian menjadi bermanfaat bagi umat yang awam seperti kita. Setidaknya, jawaban-jawaban para ulama itu membuat 'iman' tenang, tidak bergejolak. Namun apa yang lebih penting? sebuah keimanan bulat-bulat tentang kitab suci ini, ataukah penalaran yang benar-benar masuk akal tentang prosesi pewahyuannya? Jika yang kita cari yang kedua, maaf saya khawatir kita akan kecewa. 

bagi Umat islam, misteri 'Nuzulul Quran' itu hingga saat ini hanya bisa disakralkan begitu saja. Kita tidak membutuhkan akurasi sejarah, bahwa benar-benar pada tanggal 17 Ramadhan ini al-Quran diturunkan. Karena, diturunkan kemana? Ulama-ulama itu bilang diturunkan ke 'Baytul Izzah'. Tapi ketika ditanya, apa itu 'Baytul Izzah"...? sama sekali tak ada jawaban yang memuaskan, 'Baytul Izzah' hanya diterjemahkan sebagai "tempat yang mulia di langit dunia"...titik! Gara-gara itu kan, al-Quran harus dipahami turun dua tahap, pertama turun satu paket utuh di 'langit dunia' (yang entah dimana itu), kedua turun berangsur-angsur dalam rentang masa 22 tahun masa kerasulan Muhammad saw., Tidak hanya di bulan ramadhan ini saja!

Jadi menurut saya, ada dua pilihan bagi anda jika ingin mendalami ilmu al-Quran, kaitannya tentang event "Nuzul al-Quran" dan hal-hhal yang terkait dengan misteri pewahyuannya. Pertama anda menjadi Muslim 'baik-baik' yang perlu menerima begitu saja jawaban-jawaban apologetik itu, untuk menjaga keimanan anda terhadap kitab suci ini. Pilihan Kedua, anda juga tetap menjadi muslim 'baik-baik' hehe...namun membebaskan fikiran anda dengan pertanyaan-pertanyaan 'nakal' yang tak berujung, tanpa harus menggantungkan keimanan anda pada kepuasan intelektual yang disebut 'masuk akal' (intelligible). Karena jika kepuasan itu yang anda cari, saya jamin anda TIDAK AKAN mendapatkannya, kecuali anda juga seorang 'nabi'.

(Madyan: Tafakkur Ramadhan)

(7) Sambaran Kilat di Pagi Buta

Tak terasa sudah hari ke 7 Ramadhan, suasana hati saya FLAT, tidak sedih, tidak juga bahagia; LIMINAL; diantara dua. Kondisi mental saya sedang berada pada suatu tempat bernama "al-manzilah baynal manzilatain", satu tempat diantara sorga dan neraka. Karena itu saya mencari emoticon yang mewakili dan tak menemukannya. Mungkin begini .... :(: ???

Subuh tadi, salah seorang teman baik, calon doktor yang paling unggul diantara kami mengabarkan bahwa dirinya baru saja menyelesaikan apa yang menjadi wajibnya; ujian tertutup ; final s3 dan LULUS. Dhuar!!!... tiba-tiba geledek terdengar di langit saya, hujan tiba-tiba datang tanpa gerimis; menderas, dan sekejap saja kabar itu berubah menjadi badai dengan topan yang menggulung-gulung. Tadi, sejenak saya merasa ada yang mengalir bahagia di urat-urat saya; turut merasa bangga dan lega atas sahabat sekelas saya itu; tapi urat-urat saya itu juga jadi kecut mengkerut, karena ia tiba-tiba teringat bahwa ia adalah urat-urat yang menjalar ditubuh saya, bukan tubuh teman saya. Ya, saya sedang menyadari diri saya yang kewajiban disertasinya belum selesai. Kalau mau agak sinis boleh dibilang "mangkrak" terhambat.

Tak banyak berfikir, tubuh saya bereaksi lemas dan terkulai tidur. Beberapa jam saya berada di "wonderland", tiba-tiba istri saya membangunkan lelap saya. Sekonyong-konyong, saya terperanjat dan berkata "aish...kenapa sih saya kok dibangunkan...?" Sedikit menyesal, kenapa saya tersadar lagi tentang urat-urat yang tadi mengejang? Istri saya bertanya gusar... "Memangnya ingin gak bangun lagi?" Tak menjawab, saya hanya terus menyelonong ke kamar mandi untuk mengguyur kepala yang serasa (masih) berada di dunia bintang.

Selesai mandi, saya melihat beberapa sms dari teman-teman lain saya yang juga sekelas. Tiba-tiba saya terbahak-bahak, karena ternyata yang merasakan badai Hurricane beserta gempa Tektonik plus Vulkanik berkekuatan 9.5 SR tadi bukan hanya saya.... Hehehe, saya bernafas dalam-dalam dan sedikit merasa nyaman, karena saya tahu bahwa saya "TAK SENDIRI". Di perjalanan ke kantor tadi, saya menyanyikan lagu Michael Jackson "You are not alone...."

Teman, ini adalah refleksi dari keterpanjatan saja. Saya kira ini sangat penting dan saya harus tulus berterimakasih setinggi-tingginya untuk teman saya yang mengirimkan badai dari kejauhan itu :)... Saya beberapa kali mengalaminya di kehidupan ini, dan badai-badai serupa selalu berhasil menyeimbangkan dunia saya. Sekali lagi, terimakasih untuk teman (Doktor) paling saya kagumi itu. Beliau seorang Scorpion-Novemberist yang selalu merayakan ulang tahun bareng, karena beliau lahir tepat di tanggal dan bulan yang sama dengan saya.

Well, kini saya tahu apa yang harus saya perbuat. Saya memilih untuk menyayangi diri saya, daripada harus menganggap diri saya sebagai manusia yang "telat" dan "terlambat". Ya, saya memilih untuk selalu menganggap diri saya hebat [#daripada mengharap pujian orang lain yang gak datang-datang :( ]. Karena, walau mimpi menjadi doktor ditahun ini tertunda, namun tahun ini telah menyibukkan saya dengan lompatan-lompatan hidup yang luar biasa "besar" dalam kehidupan saya. Saya tak henti berujar al-Hamdulillah...

Jadi teman, jika keterlambatan studi saya ini adalah kutukan waktu, saya tidak ingin menghukum diri saya dengan perasaan bersalah yang mengecilkan nyali. Untuk kutukan ini, saya ingin menebusnya dengan cara mencium tulus diri saya sendiri. Mungkin, saya memang sedang terbawa cerita putri salju versi serial TV berjudul "ONCE UPON TIME" yang sempat saya tonton bersama istri. Ya, saat ini saya tertarik untuk ikut menganggap kisah itu bukan sekedar fairy tale yang kosong. Apalagi jika saya kaitkan dengan "keterbiusan" saya selama ini. Saya belajar, bahwa Putri Salju (juga) terlepas dari kutukan "koma" nya dengan satu ciuman yang berasal dari cinta yang tulus, maka saya juga bisa lepas dari "koma" saya dan perasaan dihantui oleh bayangan "disertasi mangkrak" ini. Saya yakin, bahwa saya sangat tulus mencintai diri saya sendiri, maka saat ini biar saya coba menciumnya.... :)

Tentang Ramdadhan dan apa yang tercapai; refleksi-refleksi ini biar berjalan atau berhenti semaunya...... Saya yakin tiada hal yang sia-sia. Tak harus menghentikan semua hal, namun tragedi yang terjadi di relung jiwa saya hari ini mengingatkan bahwa pekerjaan saya banyak dan seharusnya itu dilakukan dengan memilah mana yang seharusnya menjadi prioritas. Ramadhan dan studi s3 saya, dua-duanya saat ini menagih mimpi saya dengan satu kata "DEADLINE". Walaupun menjadi doktor bukanlah "happy ending", sebagaimana hari raya nanti juga bukanlah garis finish perjuangan, akan tetapi hari ini semangat saya kembali menyapa, dan yang benar saja, ia turut bertaruh jika saya sampai bisa keluar dari bermacam medan perang ini sebagai "ksatria"

Baca Tafakkur Ramadhan 1433 H yang lainnya...