Sunday, August 5, 2012

(15) Pilih "NGAMBEK" atau "MARAH"?

Konon biasa, dalam hubungan suami istri atau persahabatan, jika ada percikan-percikan kecil. Satu ulah menyinggung relung; Satu kata sakiti hati. Pertengkaran-pertengkaran itu butuh waktu Tiga detik, Tiga jam, Tiga hari, Tiga Minggu, Tiga Bulan.... Tiga Tahun. Wah, stop, itu adalah waktu maksimal. Jika melampaui itu, maka yang saya sebut sebagai percikan-percikan kecil itu barangkali adalah kebakaran besar; berarti masalahnya adalah sangat serius. kekasih dinyatakan putus, sahabat dikatakan tamat. Hubungan suami istri? hmmm mungkin sudah masuk dalam kategori perceraian bersyarat "talak ta'liq"; dimana suami sudah tak memenuhi kewajibannya untuk menafkahi, atau istri yang telah berpaling dan melepas hati. Apapun itu namanya..... pertengkaran itu bisa dan biasa terjadi.

Tapi Alhamdulillah, saya dan istri telah sepakat untuk tidak membenarkan ungkapan kebanyakan orang bahwa "pertengkaran adalah bumbu rumah tangga". Orang tua kami, juga mungkin kebanyakan orang tua teman-teman kami selalu berpesan tentang satu hal, bahwa dalam berumahtangga "selalulah rukun... Jangan bertengkar"... hmmm itu pesan yang lumrah dan wajar dari dan untuk siapa saja. Tapi ada sedikit tambahan dari ayah saya waktu itu. Beliau berkata "Jadikan rumahmu sorga... di rumah itu untuk hidup rukun. Jadi kalau mau bertengkar usahakan di luar rumah..." Hmmm yang itu mungkin sedikit spesial. Entahlah, doa kami semoga masing-masing dari kami selalu diberikan hati yang lapang untuk tak mengawali pertengkaran. masing-masing kami berdoa dan berusaha untuk tak saling menyakiti dan saling mengerti...Jika yang satu menjadi api, yang lainnya menjadi air (Well, semoga airnya cukup heheheh)

Sudah hampir empat bulan bahtera rumah tangga kami menyisir lautan. Beberapa kali memang api tersulut. Ucapan Istri yang menyinggung suami atau perilaku suami yang menyakiti istri... Ya, itu bukan sesuatu yang benar-benar bermasalah, tapi begitulah memang adanya fitrah saat dua jiwa yang disatukan. Terkadang hanya karena yang satu menyukai merah, yang lain menyukai hijau. atau yang satu inginkan bentuk kotak, sedang yang lain inginkan bentuk yang bulat, yang disebut konflik bisa terjadi. Duh, itu biasa....

Dan petang tadi, di sela-sela gurauan kami, terjadi suatu hal pada lubuk saya dan saya menjadi "DIAM" beberapa saat. Istri saya langsung menangkap sinyal itu dan bertanya "Mas, ngambek?"

NGAMBEK! Ya, istilah itu penuh intrik dan bias gender. Di satu sisi saya tak menyukainya karena ada kesan bahwa perilaku "ngambek" itu adalah perilaku yang feminin dan manja. dalam konstruksi masyarakat kita, istilah "ngambek" itu memiliki makna simbolis sebagai sikap yang kurang dewasa dan kurang ksatria....satu lagi, istilah itu terdengar alay.... tapi itu tak menepis keheranan saya bahwa sebagian orang lebih suka jika emosi itu diluapkan begitu saja. Marah sekalian....! jangan ngambek! Huft, Entah mana yang benar...?

Saya tiba-tiba tergoda untuk merenungkan istilah "ngambek" ini tadi.... dan, benar saja, saya menemukan satu pelajaran lagi di bulan suci. bahwa ternyata "Ngambek sesaat" itu tak selalu identik dengan kesan alay dan manja. Saya merasakan sendiri bahwa terkadang "Ngambek" itu ternyata jauh lebih baik daripada "Marah". karena sebenarnya, Ngambek adalah emosi yang tertahan, amarah yang tak dikeluarkan. "Itu baik atau buruk? pertanyaan saya"

yang jelas ada firman Tuhan  yang memuji orang-orang yang bisa meredam amarah nya dengan istilah "al-kaadzimin al-ghoidh" , yaitu, orang-orang yang mampu meredam amarahnya. Menurut saya, sebutan itu juga bisa diartikan dengan "Ngambek yang positif', karena saat diam dalam posisi ngambek itu, yang sebenarnya terjadi adalah kita memberi waktu yang cukup untuk berfikir lebih sehat tentang amarah dan emosi kita sendiri.

Saya membayangkan, bahwa andaikan saat emosi saya tersulut tadi tiba-tiba amarah saya membuncah keluar begitu saja, pasti saya akan menjelma dalam wujud yang buruk rupa dan saya pasti akan menyesalinya saat ini. Namun, dengan ngambek sesaat tadi, saya ternyata memiliki waktu yang cukup untuk melihat banyak perspektif tentang perasaan saya sendiri.
Pada fase ngambek sesaat tadi, saya melihat bahwa apa yang dilakukan atau dikatakan istri saya tadi bukanlah kesalahan. Berbeda dengan penilaian saya pada saat emosi saya membuncah di awal-awal. Saya, dengan ngambek sesaat itu menjadi leluasa berpikir sampai saya mendapatkan waktu yang cukup untuk mengandaikan diri saya yang berada di posisi istri. Saat itulah saya merasa bahwa sekonyong-konyong istri saya hanya melakukan hal yang wajar-wajar saja. Dia, sama sekali tidak memiliki niat menyakiti apalagi menyinggung perasaan suaminya. Waduh....ngambek sesaat itu, sungguh luar biasa bagi saya.

Tiga menit berlalu dan saya merasa lega. Istilah "Ngambek" yang mula-mula tak saya sukai itu tiba-tiba menjadi positif dan serasa membantu saya bertumbuh lebih bijaksana. Saya berfikir bahwa meredam amarah itu bukan menyimpan dendam. Meredam amarah atau 'ngambek" itu sebenarnya adalah memberikan waktu yang cukup bagi diri sendiri untuk menimbang kembali kemarahan. Dan disinilah saya berujar, "maha suci firman Tuhan yang memuji mereka yang mencoba menahan amarahnya...."

Sama, Rasulullah saw dulu pernah berwasiat "Jangan marah"...ketika ditanya tentang wasiat apa lagi wahai Rasul? beliau menjawab lagi "Jangan marah".. ketika di tanya lagi, tetap saja wasiatnya, "jangan marah"! Tiga kali.

Karena, amarah itu seperti percikan api... jika kita dukung percikan itu dengan meniupnya, maka percikan itu akan membesar dan ia tak lagi menjadi percikan, ia bisa benar-benar menjadi api yang menjilat-jilat lantas menghanguskan segala yang baik....

Kita ini manusia yang hidup, tentu saja emosi dan perasaan kita juga hidup...jadi wajar jika emosi itu sewaktu-waktu tersulut. Namun ketahui, bahwa yang memercik biarlah memercik...tak perlu ia menjadi berkobar. Jangan mudah marah, karena kemarahan hanya menunjukkan kelemahan dan keburukan kita. Tak ada yang lain!

hari ini mengajarkan pada saya, bahwa jika emosi tersulut, ngambek lah sementara, karena itu menurut saya sangat positif. Tak perlu merasa buruk dengan istilah itu... Gunakan masa ngambek itu untuk melihat apa yang belum terlihat, karena Tuhan selalu membantu hamba-hambanya yang ingin menjadi manusia yang lebih baik dan lebih sabar.

Ramdahan ini sudah mengajari saya dengan beberapa hal tentang pengendalian diri. Dan satu kata ini, "NGAMBEK", juga patut saya abadikan sebagai refleksi di bulan suci ini. bagaimanapun, satu kata ini telah mengajari satu jurus penting; yaitu tentang bagaimana saya mengelola emosi.       


(Madyan; Tafakkur Ramadhan hari ke 15)

No comments: