Sunday, August 5, 2012

(14) Satu hari Merasakan MANIS

Saya memiliki teman dekat bernama Yudita Barbara Kalota dari negara Polandia. Dia sangat cerdas dan selalu bersemangat untuk saya temani belajar tentang Islam dan tradisi-tradisi masyarakat Jawa sehari-hari. Banyak yang berkesan tentang teman saya itu, tapi salah satu ungkapan yang pernah membuat saya sangat terpesona adalah saat kami dulu berbincang tentang makna kebahagiaan. Katanya, "kebahagiaan itu hanya momen-momen sesaat saja". Artinya, kebahagiaan itu bukan kondisi mental yang konstan. Ia hanya ada di beberapa waktu, lalu pergi, lalu datang lagi dan pergi lagi...

Entahlah saya selalu ingat ekspresi nya saat ia mengatakan "happiness is only moments"
karena tiap kali saya ingat itu, saya selalu menjadi tertegun atas singkat dan padatnya definisi kebahagiaan versi Yudita ini. dan memang saya rasakan benar. Bahwa selama ini kita cenderung alpa memahami kebahagiaan itu, sebagai satu masa panjang yang diidam-idamkan. ironisnya, kita selalu membayangkan "kebahagiaan abadi". bukan hanya di sorga, d dunia pun kita selalu dihantui dengan 'happy endings' yang terbanyang sebagai satu fase akhir yang isinya hanya bahagia tanpa kesedihan. "Happily ever after" bagi saya, itu Non Sense!

Gara-gara teringat perbincangan dengan Yudita itu, hari ini saya jadi bertanya-tanya pada diri saya sendiri; jika kebahagiaan itu momen-momen saja, lalu sebenarnya kapan saya betul-betul merasa bahagia dalam hidup ini?

Jika saya sebut, bahagia itu ada saat saya mampu menyelesaikan tugas-tugas akhir saya di saat-saat paling kritis :), saat saya melihat orang-orang yang saya ajak bicara faham atau  saat saya melihat murid-murid atau mahasiswa saya puas dengan apa yang saya ajarkan; saat saya melihat ekspresi senang dan bahgia dari orang-orang yang saya cintai, saat saya bergurau hebat dengan istri sampai tertawa berguling-guling; saat saya melihat ibu saya berbunga-bunga menerima hadiah-hadiah kecil dari saya; saat saya melihat ibu saya menggunakan barang-barang yang saya belikan untuknya. Ya, Saya sangat menyukai cara ibu saya mengekspresikan penghargaan dan rasa terimakasih. Saya juga sangat bahagia saat bisa memberi ayah atau ibu saya beberapa lembar uang ratusan. Terkadang, bukan karena mereka butuhkan, bagaimanapun cara mereka berterimakasih selalu membuat saya menitikkan air mata bahagia. Well, banyak...sebenarnya ada satu kebahagiaan yang terjadi di suatu malam. Sayangnya, momen yang membuat saya meleleh bahagia itu tak terlukiskan, sehingga tak ada kata yang bisa mewakili rasa itu, untuk saya ceritakan.

Tapi sudahlah, memang begitu... bahagia dan kesedihan itu seperti pergantian malam dan siang; datang silih berganti, dan akan terus begitu selama kita masih bernafas dan menyaksikan mentari menyelinap di setiap celah. Ya benar, sebagaimana kebahagiaan itu momen saja, kesedihan pun begitu juga: hanya momen-momen yang tak akan berlangsung lama, apalagi abadi. Jadi, memang tiada pesta yang tak usai sebagaimana tiada badai yang tak berhenti.

saat saya menulis judul "satu hari mengecap manis" hari ini. Mungkin, manis itu juga tak pernah bertahan satu hari penuh... Di tengah-tengah, selalu ada interupsi-interupsi. dan nyatanya, saya tetap tidak apa-apa. Hanya saja, kadang sulit untuk menahan letupan bahagia saat kenikmatan-kenikmatan itu datang bertubi-tubi. saat itu, kita terlalu bangga dan bahagia...Sayang, saat nikmat dan bahagia-bahagia itu meredup, kita pun sulit menahan rasa sedih, hingga sering kita menjadi orang sangat berputus asa dan tidak bersyukur

Maha benar firman Tuhan

Dan jika kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat kebahagiaan) dari kami, kemudian nikmat itu kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterimakasih. (QS: HuD: 9) dan jika Kami rasakan kepadanya kebahagian sesudah bencana yang meimpanya, niscaya dia akan berkata: "Telah hilang bencana-bencana itu daripadaku" sesungguhnya ia sangat gembira lagi bangga (QS: HuD10)


(Madyan: Tafakkur Ramadhan hari ke 14)

No comments: