Tuesday, July 31, 2012

(11) Si Bimbo dan Pertanyaannya


Salah seorang teman saya, Muslim, laki-laki, tadi bertemu dan bilang bahwa dirinya sedang "udzur" tidak berpuasa. Hmmm, tengah hari tadi saya lihat dia menyeruput es Degan sambil sayup-sayup melantunkan lagu Bimbo yang liriknya berbunyi "Ada anak bertanya pada bapaknya, buat apa berlapar-lapar puasa?". Wah, Saya jadi terusik untuk ikut ngakak, dan... kami pun berbincang-bincang. 

Saya suka dengan pertanyaan Bimbo dalam lirik itu, walau saya tak begitu tertarik dengan jawabannya. Saya fikir, baik saya maupun masing-masing anda yang berpuasa seharusnya punya jawaban sendiri tentang untuk apa kita berlapar-lapar puasa? Ya ini adalah sebentuk komunikasi sakral berupa ibadah yang sangat private dan intim antara hamba dengan Tuhannya. Jadi jawabannya anda dan Tuhan sendiri yang tahu. Untuk apa anda puasa? 

Secara umum, Tuhan memang kemukakan alasan pensyariatan puasa dalam al-Quran, yaitu "Agar kalian bertakwa".... namun, penjabaran dan refleksi anda sendiri bagaimana tentang takwa itu? Saya sebut puasa ini urusan kita yang prifat, karena Tuhan juga pernah bersabda dalam Kalimat kudus (Hadits Qudsy) Nya "Asshoumu Lii wa ana ajzii bihi" (Puasa itu adalah ibadah khusus buat-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya). Loh, apakah ibadah lain bukan untuk Dia? Tentu saja semua ibadah hanya untuk-Nya. Akan tetapi, sabda kudus tadi ingin menegaskan bahwa ganjaran dari ibadah-ibadah lain itu sudah fix pahalanya; harga dari Tuhan sudah tertera; setiap amal seakan sudah ada label atauprice tag-nya. Misalkan, satu ibadah bernilai 10 kebaikan, 27 kebaikan dan seterusnya. 

Berbeda dengan puasa. Ibadah yang ini tak ditempeli harga pasti. PUASA adalah satu-satunya Ibadah dimana Tuhan memilih untuk mentraksasikannya secara tradisional; ada semacam "tawar menawar", sebentuk audisi; ada evaluasi dari nya yang sangat pribadi; dan Dia sendiri memang yang akan memberi kita harga (pahala) yang paling pantas untuk puasa kita. 

Ingatkah sahabat tentang tulisan saya tentang "Jual beli ibadah di pasar Kaget?" Ya, biasanya Tuhan belanja ala swalayan modern. Berbeda untuk ibadah puasa ini, DIA lebih memilih pola dagang di pasar kaget, dimana harga belum ditentukan sebelumnya. Jadi, ini memang benar-benar kompetisi. lalu dengan puasa ini kita nanti dapat apa?

Kalau semua yang kita lakukan ini hanya agar nanti di akhirat kita memiliki kenangan bahwa kita pernah kehausan dan kelaparan... Wah, saya benar-benar sepakat dengan teman saya, yang menyeruput Es Degan di siang bolong tadi. Teman, mungkin ada baiknya kita berdiskusi dengan Tuhan, seberapa mahal kwalitas puasa kita yang harus Ia bayar... ah, tapi hati-hati ini... karena menurut saya, Ibadah puasa ini bukan hanya tentang peluang bisnis yang basah dan itung-itungan..  


( Tafakkur Ramadhan hari 11)

Monday, July 30, 2012

(10) S E T A N Penabuh Drum-Ban


Saya bingung mau saya beri judul apa refleksi hari ini, yang jelas ini tentang Setan. Ya pada bulan Ramadhan tahun lalu saya juga bicarakan SETAN. Waktu itu refleksi saya berjudul "Puasa: Antara Setan dan Saya". Menarik, karena jika bukan di Bulan Ramadhan, saya (mungkin) tak pernah ingat jika SETAN itu ada, kecuali saat saya sedang mengaji, karena Setan memang sering sekali disebut didalam kitab suci, bahkan berulang-ulang. Tapi hingga hari ini, masih sama seperti tahun lalu, saya pribadi lebih sering memilih untuk menganggap Setan itu bukan sesuatu yang di luar saya. Setan adalah sisi-sisi kelam dari pribadi diri saya sendiri.

Tentang kebiasaan saya menulis tentang Setan di bulan Ramadhan ini, saya justru menjadi bertanya; Apakah Ramadhan ini betul-betul "bulan tanpa setan" atau justru ini adalah "bulan ada Setan"?

Kali ini saya teringat satu cerita tentang SETAN. Dikisahkan, bahwa suatu hari Setan membangunkan seseorang yang sangat saleh untuk bertahajjud dan berdzikir malam. Orang saleh itu pun bangun. Setelah shalat dan berdzikir panjang, ia pun bertanya "Mengapa engkau bangunkan aku untuk sembahyang? bukankah kamu adalah SETAN. Tugasmu adalah untuk menghalangi ku beribadah?" Sambil tertawa Setan menjawab, Iya benar, aku bangunkan dirimu dan mengajak mu tunaikan kebiasaan shalat malam dan dzikir, karena aku tahu bahwa engkau adalah seorang yang saleh. Aku bangunkan dirimu, karena dengan demikian, seharian nanti kamu akan merasa baik-baik saja. Berbeda jika engkau kubiarkan tidur hingga fajar, tak kubangunkan, maka sepanjang hari nanti kamu akan menyesali tidurmu itu, sehingga engkau menjadi merasa sangat berdosa dan buruk. Dengan perasaan itu mungkin engkau akan justru menjadi lebih khusyu' dalam rakaat shalat yang berlipat-lipat... 

Orang saleh itu terdiam dan merasa bahwa tak selalunya setan itu menyuruh keburukan; bahwa ternyata banyak hal baik juga yang terjadi karena "godaan" setan.... 

***

Teman, itu kan cerita hikmah tentang SETAN.... entah benar entah tidak. Tapi kali ini saya mau ceritakan kisah setan yang benar-benar terjadi.  Waktu sahur tadi, saya terbangun dengan marah-marah dalam hati. Mengapa? karena saya harus terbangun pukul DUA pagi. Padahal, saya baru merebahkan diri pukul SATU. Asal teman tahu, di kawasan Matraman Dalam, hampir setap pukul 2 dini hari ada kelompok drumband yang bertugas membangunkan warga untuk sahur. Ya, satu pleton drumband, lengkap dengan alat-alat musik yang sangat sophisticated, mulai dari panci, ember wajan, dan semua yang bisa berbunyi mereka bawa.... Jika tak bawa pun, mereka masih tetap bisa berkarya; memukuli tiang-tiang listrik di sepanjang jalan.

Teman, apa yang mereka lakukan itu adalah kreatifitas tingkat tinggi, plus... itu (kemungkinan besar) adalah ibadah yang berpahala dan (mungkin) menyebabkan mereka masuk sorga. Tapi Hallo saudara-saudara... itu drumband mainnya setiap jam 2 dini hari, dengan irama yang tak begitu mempedulikan genre, yang penting masuk ke HATI dengan cara menjebol gendang telinga Yeah...You Must be kidding me!

Allahuakbar...Saya adalah orang yang lumayan tahan berisik, tapi untuk "Drumband Matraman" setiap jam dua pagi? Duh, Adakah versi kehidupan yang lebih baik? Mereka beraksi dengan formasi berputar-putar, keliling kampung, dengan niatan yang bagus; membangunkan orang-orang untuk sahur dan ibadah malam... Tapi, bukankah sahur itu harusnya di akhir waktu (ta'khir)... kenapa tidak sabar menantikan sedikit waktu sampai menjadi relatif sudah "pantas", pukul 3.30 misalnya? Subuhnya kan masih jam 5? Selalunya, saya baru memasuki pintu sorga lantas grup Drumband itu menyeret-nyeret saya ke neraka; saya baru saja masuki alam mimpi yang indah, lantas pasukan Rahwana itu memaksa saya untuk melihat kembali dunia yang penat?

Sekali lagi, itu tadi jam DUA? Sialnya, mereka adalah seniman-seniman tak kenal lelah. Jika masih tak puas dengan satu putaran... jam 2: 15 mereka akan tampil lagi, dan berikutnya jam 3: 00....dst.  Oke lah, alhamdulillah... Sebuah pawai yang bisa saya nikmati gratis setiap hari di bulan suci ini.

Nah terus? kaitannya dengan setan?... Begini, bahwa benar, saya menyebut mereka "Pasukan Drumband" kreatif yang berbakat. Kalau perlu, mereka ingin saya nominasikan sebagai para pahlawan negara. Tapi, tadi... saat pasukan itu mengepung balkon kamar saya dan mengagetkan seluruh syaraf yang baru saja melemas. Saya terperanjat sambil menyebut mereka "S E T A N" !!!

Entah apa yang ada di benak istri saya pagi tadi. Dia tak berkata-kata, namun saya lihat wajah nya menggurat satu ekspresi, yang jika dilihat dalam kamus-kamus ilmiah, ekspresi itu berbunyi "Mereka bukan SETAN, tapi anaknya..." :) hehehe

Refleksi ini saya tulis pada saat kepala saya sudah dingin. Saya ingin koreksi diri saya saja; apakah saya telah salah menyebut mereka SETAN? Ternyata, memang tidak. Karena sebagaimana cerita saya tentang "Setan dan Orang Saleh" di atas tadi, terkadang Setan memang berbuat kebaikan, seperti pasukan drumband yang tak ingin jika seorang Muslim menjadi pingsan kelaparan di siang puasa, gara-gara tak makan sahur itu.

Jadi baiklah SETAN, silahkan bangunkan saya lagi besok... coba sekali-kali pukul satu!

(Madyan: Tafakkur Ramadhan hari ke 10) 

(9) Berkemas untuk Kehidupan atau untuk Kematian?

Seharian ini berkemas-kemas dan saya merasa capek lahir batin. Saya sedang kemas-kemas barang, karena saya akan pulang ke kota Malang bersama Istri. Saya akan meninggalkan Jakarta. Ada perasaan gundah juga... bukan ragu, namun saya memang masih bertanya dan pertanyaan saya saya anggap sebagai doa "Apakaha keputusan saya meninggalkan Jakarta dan kembali ke kampung halaman untuk tinggal bersama keluarga, mertua dan istri sudah benar" Well, hati saya memang selalu mengatakan bahwa ini sudah benar...

Hanya teringat Santiago, lagi-lagi sosok "pencari harta" dalam cerita novel sang Alkemis. Hidup saya saat ini mirip dengannya saat meninggalkan domba-dombanya demi menggapai mimpi mendapatkan harta karun di piramida-piramida Mesir? Ataukah saya justru sedang menuju pulang, dimana harta karun itu sebenarnya ada di rumah saya sendiri, setelah saya melalangbuana kesana-kemari? Jawabannya entah... Yang jelas ini bukan tentang harta karun. Ini lebih berharga... Ini adalah tentang CINTA dan pemenuhan atas Kasih....jadi saya benar-benar tak ingin ambil pusing tentang apa yang akan terjadi; entah saya berkemas ini untuk "kehidupan" atau untuk "kematian"

Saya berkemas-kemas dari pagi ditemani istri...Saya baru menyadari bahwa barang-barang ini telah menjadi banyak dan nampaknya berat. Mungkin ada dua puluh karton yang akan saya Cargo. Entah, mengapa barang saya selalu banyak...? Yang jelas dari dulu hingga sekarang, saya masih belum bijak menerapkan kata-kata saya sendiri, bahwa terkadang hidup berlimpah itu bukan dengan cara menambah, namun mengurangi...

Ramadhan kali ini benar-benar terasa berkah nya bagi saya...Karena ia bukan hanya membersamai peluang-peluang kehidupan saya yang baru. Ia juga membersamai cinta dan harapan. Ia bukan hanya Ramadhan, bulan yang suci yang memberi kesempatan untuk perpindahan spiritual saya menjadi manusia lebih baik...Ia juga seperti Muharram, bulan dimana terjadi Hijrah; perpindahan fisik saya dari satu tempat ke tempat yang (semoga) akan lebih baik.    

         

Sunday, July 29, 2012

(7) "Jual Beli" Ibadah di Pasar Kaget

Di bagian dalam perkampungan Matraman ada pemukiman penduduk yang lumayan berhimpit-himpit. Disitu, ada sebuah pasar yang seingat saya namanya "Pasar Kaget". Selama setahun ini saya membeli bahan-bahan masak, jika sedang mood kepingin masak sendiri. Biasanya itu terjadi jika saya sedang bosan dengan nasi padang atau nasi tegal ala Ibukota. Disebut "pasar kaget" karena sebenarnya itu bukan pasar yang "resmi" didirikan negara. Itu hanya kumpulan beberapa pedagang, tak lebih dari seratus orang yang menyediakan beragam kebutuhan. Tentu saja itu jenis dari pasar tradisional, karena satu nilai sosial masih sangat terjaga, yaitu "tawar menawar". Di hari-hari biasa, pasar kaget ini buka setiap pagi, dari jam 6 sampai jam 12 an. Namun di bulan Ramadhan seperti ini, Pasar Kaget Matraman itu kadang-kadang buka dua shift; pagi dan sore hari

Saya membicarakan pasar, karena semalam saya juga samar-samar mendengar ceramah Ramadhan dari corong Masjid Jami, yang juga tak jauh dari lokasi pasar itu berada. Menariknya, apa yang disampaikan pedagang di pasar pagi tadi mirip dengan apa yang disampaikan sang penceramah, baik nada maupun intonasinya. Yang membedakan hanyalah "dagangan" dan "harga" nya. si Pedagang tadi menjual barang-barang pecah belah seharga 10.000 dapat tiga, sedang si ustadz semalam menawarkan "rahmat Ramadhan" seharga taraweh (plus witir) sejumlah 23 putaran.  
 
Dari semua yang terdengar, saya berkesimpulan bahwa kita memang mahluk Tuhan yang sangat perhitungan. Bahkan Tuhan sendiri harus membahasakan hubungan penghambaan ini dengan istilah "jual beli" (QS.al-Taubah:111) seakan Tuhan harus menawarkan harga yang begitu tinggi untuk persembahan ibadah kita, barulah kemudian kita bilang "deal!". Sebentar saya diam, kemudian saya benar-benar menyadari bahwa kebanyakan dari amal ibadah kita di bulan ini sebenarnya tak lebih dari 'itung-itungan pahala', 'kontrak-kontrak bisnis' dan lobi 'kepentingan' dengan-Nya.      

Sama sekali tidak ada yang salah dengan itu. Toh, hakikat dari 'keikhlasan' atau 'ketulusan' itu terlalu tinggi untuk kita gapai. Namun, sadar atau tidak, sebagian besar dari kita memang masih butuh motivasi-motivasi sedemikian rupa untuk menyembah Tuhannya, berbuat baik dan peduli terhadap sesama. Setiap Ramadhan datang, 'Marketing tools' yang di gerai sangat dahsyat, khutbah dan kultum para ustadz tentang keutamaan bulan ini mungkin mengalahkan promosi musim diskon di pasar dan mall-mall. Saat ini memang sedang digelar gebyar ganjaran dan obral pahala. Tak berkutik, kita hanya bilang "Subhanallah, Alhamdulillah... Tuhan sungguh maha pemurah"

Sahabat, berbisnis dengan Tuhan itu memang asyik. Tidak ada resiko rugi, terkadang bahkan cukup bermodal 'dengkul' (jawa: lutut). Ya, benar-benar 'dengkul' yang cukup di tekuk-tekuk ketika ruku' dan sujud, kita sudah pasti dapat untung besar. Di bulan Ramadhan ini apalagi, untung kita bisa berlipat-lipat ganda.

Namun... entahlah, saya berjalan pulang dari pasar kaget tadi sambil merenungkan diri saya pada bulan Ramadhan ini. Tiba-tiba tersbesit di hati saya untuk menganggap bulan ini BUKAN sebagai agenda 'kontrak bisnis' dengan Allah. Mungkin lebih baik saya akan gunakan pertemuan Ramadhan ini untuk menawarkan 'kontrak persahabatan' saja dengan-Nya. Saya sedang berfikir tentang 'kontrak penghambaan, penghormatan dan rasa terimakasih yang sungguh-sungguh jujur keluar dari lubuk yang dalam'.

Teman, ini bukan karena 'lebay' atau sok 'kebanyakan pahala' atau tidak tergoda dengan bahasa-bahasa marketing Tuhan tentang 'bulan penuh berkah' ini. Namun, memang ada saat-saat tertentu dimana ketika merenungkan wujud-Nya, saya tidak ingin memiliki personifikasi tentang-Nya sebagai 'pembeli ibadah' atau 'penjual voucher-voucher pahala'. Saya ingin menyanjungnya sebagai sosok Tuhan yang sungguh sangat layak untuk saya sembah dan saya cintai dengan sepenuh jiwa...

Friday, July 27, 2012

Tragedi Mudik yang Manis


Lebaran sebentar lagi dan saya sudah siap-siap mudik. Kemarin saya pergi ke sebuah SALON di salah satu mall ibu kota untuk merapikan rambut saya. Agar tampak lebih ganteng pikir saya..hehe. Hmmm iya, gagasannya adalah mudik lebaran dengan rambut baru...:) Sesampai di Salon, saya memilih hairstyler yang paling professional yang ada disitu. Jika yang lain tarifnya hanya 40.000++ saya rela membayar 60.000++ untuk hairdo yang saya kira-kira handal... Ya, saya tak mau sembarangan kali ini, karena saya sedang memotong rambut yang konon merupakan mahkota penampilan itu...Hmm, Sedikit lebay kali ini, karena saya rindu sekali dengan Ibu saya, dan saya ingin terlihat OKE di depannya nanti.

Selesai saya ajukan request ini dan itu, saya pun tertunduk beberapa saat, sibuk dengan Blackberry saya...subhanallahcepat sekali pemangkas rambut itu bergerak membabat mahkota saya, hingga saat saya melihat ke cermin. saya terpanjat...loh, KOK? Sial....., rambut ala boyband saya ilang!!! hahhahaha 
Sekarang yang ada di cermin adalah seseorang yang tidak begitu saya sukai. ya, diri saya sendiri dengan rambut yang hampir habis... STOP ya mas..."anda benar-benar telah merusak gairah saya di penghujung bulan suci ini" ujar saya dalam hati. Namun apa daya, "rapikan saja mas...teruskan!"

Saya cerita tentang tragedi ini ke beberapa teman pria saya, namun menyesakkan...komentar mereka tak semuanya menyenangkan. Beberapa teman bilang "lagian, kamu ini metrosexual sekali ya?" yang lain bilang "salah sendiri terlalu ngurusi penampilan" yang ketiga menertawakan "hahaha...rasain, makan tuh poni kuda" duh duh duh teman-teman...kalian anti sekali dengan perawatan diri. ini kan hanya soal memotong rambut di salon, bukan mandi susu atau SPA aromatherapi! 

Saya ingin mengatakan bahwa dahulu sahabat Rasul bernama Abdullah bin Abbas dikenal sebagai pria paling harum dan perfect dalam mengurus penampilan. Rasulullah menyukainya. beberapa Sahabat lain sampai bertanya kok anda sebegitunya dengan penampilan anda? namun dengan lantang Ibnu Abbas berkata, bukankah Allah berfirman..."dan wanita-wanita itu memiliki hak yang sama, sebagaimana mereka memiliki kewajiban yang diembankan pada mereka, berupa kebaikan-kebaikan (Q.S. al-Baqarah: 228).. Jika wanita diperintah berhias agar para suami senang melihatnya, maka sebenarnya suami pun berkewajiban menjaga fisik dan penampilannya agar istri mereka juga suka melihat suaminya. Nah, gara-gara penafsiran metro ala Ibnu Abbas ini, banyak kemudian dari kalangan para Sahabat yang mandi dua kali sehari, padahal biasanya mereka mandi sehari sekali atau dua hari sekali...:) 

Teman, Tuhan menciptakan manusia sebagai mahluk yang paling baik bentuknya Ahsana Taqwim. Professor Zainun Kamal kemarin menafsirkan 'Ahsana Taqwim" sebagai "sebaik-baik rancangan", bukan hasil jadi. Taqwim adalah potensi, sebuah design yang harus kita urus dan kita lanjutkan kebaikannya. Dalam status facebook saya beberapa hari yang lalu saya tulis bahwa "menjadi tua itu pasti, tapi menjadi menarik lebih lama, itu mutlak pilihan kita..." mutlak usaha kita untuk menjaganya...

Orang yang menyia-nyiakan penampilan fisiknya adalah mereka yang tak mensyukuri karunia Tuhan. Hemat saya, jika dilakukan dalam batas-batas yang masuk akal dan tidak extravagant, maka sebenarnya menjadi wanita pesolek atau pria metro itu tidak ada jeleknya. Sebagaimana jiwa yang selalu memungkinkan untuk berkembang lebih baik, penampilan dan kesehatan fisik adalah juga titipan Allah yang seharusnya dijaga dan dikembangkan. Ada ujaran yang mengatakan"When you look good you feel good, when you feel good you look good" (jika kamu terlihat bagus, maka jiwa mu akan merasa bagus, jika jiwamu merasa bagus, maka penampilan fisik mu pun akan terlihat bagus)

Perihal rambut saya tadi, itu adalah sebuah kecelakaan kecil yang ingin saya refleksikan... ada sedikit luka berupa penyesalan di hati. Wajar, karena saya harus membayar sekian puluh ribu hanya untuk terlihat lebih buruk dari sebelumnya. Namun saya tahu, bahwa penampilan fisik ini adalah urusan saya, jadi saya buka lemari saya dan saya temukan peci bulat yang biasa saya pakai ketika shalat Jum'at. Saya ambil peci itu dan saya kenakan....Hmmm ternyata.., saya tidak begitu menyesali rambut saya yang hilang tadi. perasaan saya kembali membaik...dan saya pun berangkat mudik dengan menggunakan peci, kaos oblong dan celana 3/4 andalan saya ketika travelling.

Ketika mengetik tafakkur ini saya sedang berada di dalam kereta mudik menuju Bandung dan Malang...di dalam stasiun tadi ada yang menyapa "Assalamualaikum ustadz...anda yang tampil di TV itu bukan?" hahhaa saya bilang "bukan...mbak.." kemudian sambil nyengir mbak-mbak itu pergi sambil bilang "oh maaf....saya kira.."

Hehehe...diam-diam, saya tersenyum sendiri mengingat manis-manis kecil di bulan ini. Ramadhan yang hampir pergi masih menyisakan legit yang sayang jika tak dilukiskan rasanya. Saya menikmati setiap detik bulan ini...walau seringkali saya mengeluhkan bosan, malas dan tak begitu berharap lagi tentang gagasan-gagasan kembali fitri dan pencapaian atas kemenangan...

(Madyan: Tafakkur Ramadhan)

Ramadhan: Jangan Boros Kebaikan


Semalam sahabat dekat saya di Yogya mengirimkan sms "Dyan, aku bosen dengan agama, aku bosan dengan ritual Ramadhan dan lebaran". Hmmm...Saya sedikit terkejut, karena setahu saya, teman akrab saya ini adalah seorang jilbaber taat yang sehari-harinya saya lihat memiliki citra kesalehan di atas rata-rata..(Weh, maaf ya mbak xxxxx, mungkin anda sedang membaca tafakkur saya ini...! hehe)

Saya bilang, yah kebosanan itu memang Tuhan yang ciptakan...Tuhan sendiri tak memiliki kebosanan. Dalam sabda Nabi disebutkan bahwa Tuhan tidak akan bosan sampai kalian sendiri yang bosan". Bukankah Ramadhan sudah tinggal dua hari lagi, tapi mengapa keluhan begitu menjadi penting buat mu? Saya bilang mungkin kamu 'boros' beribadah..kamu mementingkan kuantitas dan jumlah...Teman, berlomba-lomba ibadah di bulan Ramadhan ini bukan hanya tentang jumlah, ini tentang perlombaan jiwa. Mungkin kamu bosan karena ibadah terlalu banyak, jadi menurut saya, dikurangi saja, sedikit jumlahnya tapi 'nendang' di hati... 

Jujur, saya memang tidak tahu harus merespons seperti apa, karena saya fikir itu adalah curhatan paling jujur yang tidak pernah saya sangka-sangka. Saya pernah curhatkan hal yang relatif mirip dalam salah satu catatan tafakkur saya di awal-awal Ramadhan dulu, tapi ternyata memang demikianlah sebuah siklus hati..sebuah fluktuasi iman dan ketaatan. potret yang sebenarnya tentang kelabilan emosi yang saya yakin dimiliki setiap hamba. 

Ada fase-fase tertentu ketika kita perlu 'memberhentikan sejenak' atau 'mengurangi' ritual-ritual itu sehingga kita memang beribadah betul-betul dengan kesadaran dan gairah...bukan semata karena dorongan-dorongan dari luar. Tuhan memang memanggil jagat untuk beribadah dengan sistem dan simbol-simbol, seperti syariat adzan, gema Ramadhan, atau bulan-bulan khusus untuk haji. Namun esensi dari panggilan peribadatan itu sebenarnya terjadi manakala Allah secara khusus memanggil hati dan sanubari kita masing-masing untuk mendatangi-Nya. Benar,  panggilan sebenarnya adalah panggilan yang khusus itu....

Nabi pernah bersabda "tiada kebaikan dalam pemborosan, dan tiada pemborosan dalam kebaikan". kalimat kedua itu sebenarnya sangat penting. bahwa kita memang tak semestinya mengerahkan semua tenaga dan upaya untuk ibadah secara maksimal dalam satu waktu, kemudian ketika 'battery' kita habis kita menjadi loyo tak beribadah sama sekali di waktu yang lain. Sedikit asal berketerusan...sederhana namun selalu disadari... secukupnya namun selalu disemangati oleh niat penghambaan yang tulus. Kita, tak seharusnya boros dalam kebaikan.....karena kita manusia, kita memiliki kebosanan...

Nikmatilah saat dimana kita merasa sangat dekat dengan Tuhan... 'sadari' pula dengan sepenuh hati saat kita merasa jauh dengan-Nya....sebuah pengakuan terhadap diri sendiri...sebuah kejujuran yang memang sangat manusiawi. Saya sendiri percaya bahwa pada saat kita menyadari jarak antara KITA dengan TUHAN, disitulah saat-saat kita mampu mempersiapkan perjumpaan yang lebih intim dengan-Nya....

Permainan diatas Permainan


Anda suka bermain game? Play Station? Game di Komputer? di Handphone? Ya, saat ini saya sedang main game-game sederhana di layar laptop saya, ketika tiba-tiba saya merefleksikannya dengan 'Ramadhan'. Satu bulan yang sejatinya mirip sebuah permainan yang dibingkai dalam design Agama. Dalam bulan ini, ada aturan main; ada musuh-musuh yang harus diserang, dihindari dan dimatikan...ada juga tujuan perjalanan, ada bonus-bonus dan peluang reward yang muncul secara random, acak dan tiba-tiba... Ada waktu yang harus habis, dan ada saatnya kita dinamakan menang atau kalah. Permainan ini juga akan berhenti saat waktu habis. GAME IS OVER! 

Dalam design khusus permainan Ramadhan ini ada bonus besar, selain Rahmat, Ampunan dan Pembebasan dari api neraka. Yaitu bonus suatu malam yang disebut-sebut memiliki kebaikan melebihi nilai seribu bulan. Laylatul Qadarnamanya. dia disebut sebagai malam yang "Khoirun min alfi Syahr" (LEBIH dari nilai kebaikan seribu bulan) Ingat ya, bukan sebanding atau setara dengan seribu bulan, tapi melebihi! Entah lebihnya berapa, menurut saya tidak perlu di kalkulasi, karena ungkapan 'seribu' dalam sastra juga bisa berarti 'tak terhingga'.  

Wah hebat jika kita berhasil menjumpai malam itu, karena mungkin para 'setan' akan mendapatkan skak mati. Alih-alih kita akan masuk jaringannya di Neraka, karena umur kita bahkan mungkin lebih sedikit dibanding nilai kebaikan yang dirangkum dalam detik-detik malam itu. Catatan kejelekan kita selama ini hanya akan senilai dengan debu yang diterpa angin topan, tak berarti apa-apa!...jika dapat menjumpai malam itu, anda mungkin bisa masuk SORGA tanpa audisi...!

Mungkin, karena bonus Laylatul Qadar itu sangat menggiurkan, banyak para senior 'game' ini yang memberi arahan-arahan. Bahkan Nabi Muhammad saw pun terlibat, beliau bersabda agar kita berburu bonus laylatul Qadar ini di malam-malam ganjil yang terakhir dari bulan ini. Para Ulama pun menjadi ribut soal kapan spekulasi malam itu di turunkan. wajar dong...siapa yang tidak mau?

Beberapa hari yang lalu teman senior dan juga guru saya di NU ditanya tentang kapan Laylatul Qadar turun tahun ini? lalu teman saya itu menjawab "Sudah, tadi malam!" dia bertanya lagi "Lho anda kok tahu?" Kata teman saya " Ya, saya diberitahu Gus Dur" sambil menyelonong pergi meninggalkan si penanya bingung dengan dirinya sendiri..hehe.. Saya pun ikut terbahak mencermati adegan cerdas itu...Ya benar, karena Laylatul Qadar ini misteri, teka teki...tak ada bocoran sama sekali tentang kunci jawaban soal ini...

Memang ada gairah yang begitu sangat menggoda untuk bisa menjumpai anugerah malam ini, tapi memang jarang yang benar-benar yakin pernah menjumpainya. Hingga saat ini yang bisa saya yakini adalah bahwa malam besar itu adalah misteri dan akan tetap indah selama ia menjadi misteri. Sekali saja misteri itu kita buka tabirnya, maka permainan tidak akan asyik lagi. karena berarti anda pasti menang...!

Ramadhan sejatinya hanyalah peluang, bukan anugerah yang otomatis disediakan Tuhan...Gebyar Ramadhan sebenarnya merupakan kesempatan, bukan dorprize tanpa undian...jadi jangan merasa bahwa jika anda keluar Ramadhan nanti, anda pastilah pemenangnya, karena dalam permainan ini memang harus ada yang menang, ada yang kalah, ada yang untung dan ada juga yang rugi...Ya permainan ini sebentar lagi berakhir...GAME OVER! Tak peduli jika anda tersenyum, atau menangis...jika anda beruntung atau merugi. Nabi memang pernah bersabda bahwa kerugian yang sangat besar jika kita mendapati bulan ini, namun kemudian ia pergi pada saat kita belum terampuni.. Naudzubillah.

Ya, tak berarti analogi sebuah game tidak serius, karena Ramadhan bukan sembarang game... ini adalah game yang membawa kesempatan dan memberi harapan. Walau demikian, selalu ada ancaman bahwa ketika ia pergi mungkin ia tak akan kembali...

(Madyan:Tafakkur Ramadhan hari 27)

Shopping Lebaran: Antara Egoisme dan Altruisme


Ada euforia yang dirasa hampir semua umat Islam di Indonesia pada ujung-ujung bulan Ramadhan seperti ini... sebuah tradisi untuk merayakan kemenangan dengan berfoya-foya dalam segala bentuknya. SHOPPING, mulai dari baju hingga makanan. Gila-gilaan bersedekah dengan membagi-bagi tunjangan. Sebagian besar dari kita, termasuk saya juga sangat terlibat aktif mengerahkan seluruh nafsu, yang konon tidak ikut dibelenggu itu, dalam hiruk pikuk pasar. Kita pilih-pilih semua barang yang menurut nafsu kita bagus, menarik, murah dan lain sebagaianya. Berbagai alasan kita buat untuk menjustifikasi sebuah gelora tak terbendung bernama 'SHOPPING', belanja... Ya, ego kita sangat bergembira saat kita memanjakannya sedemikian rupa.

Namun teman, Tafakkur ini bukan tentang penghakiman baik buruk atas sindrom gila itu. Tulisan ini ingin mengatakan bahwa ternyata shopping yang kita lakukan itu bukan semata pemuasan akan nafsu pribadi, karena barang-barang yang kita belanjakan itu ternyata tidak semua untuk kita...barang-barang yang saya beli adalah 90% untuk orang lain...untuk ibu saya, bapak saya, adik-adik saya dan orang-orang yang saya sayangi. Saya memang tidak ingin memberi label "orang-orang yang membutuhkan" pada siapapun. Karena bagi saya, ini adalah momen perayaan. setiap sedekah yang kita berikan kepada 'yang membutuhkan' itu menurut saya sebaiknya dibahasakan sebagai 'pemberian-pemberian kepada orang-orang yang kita sayangi'. Toh, orang-orang yang kita sebut 'membutuhkan' itu ternyata ada difikiran kita dan mereka kita sayangi, terbukti kita memiliki hasrat untuk memberi mereka sesuatu. 

Ternyata ada simpul yang sangat menarik, bahwa ujung Ramadhan telah menyatukan antara EGOISME dan ALTRUISME dalam satu waktu. EGOISME adalah pemenangan atas nafsu pribadi, sedang ALTRUISME adalah pemenangan atas kepentingan orang lain. Sebuah perjumpaan yang sangat menarik ketika kita berbelanja barang-barang yang sesuai dengan hasrat dan egoisme kita di satu sisi, namun disisi lain, itu adalah bentuk altruisme yang berwujud pengorbanan, pengabdian, bhakti, kasih sayang serta pemenuhan atas kepentingan-kepentingan orang diluar diri kita sendiri.

Jujur, saya tak kuasa jika harus mudik tanpa oleh-oleh... hati saya tak mampu menanggung sebuah spekulasi tentang kekecewaaan orang-orang yang saya sayangi jika menjumpai saya tak berbekal hadiah sama sekali. Jarang  sekali saya berjumpa dengan keluarga dan orang-orang yang selalu mendoakan saya itu, maka alangkah berat hati ini membayangkan sebuah gelagat yang tak akan pernah terucap bernama 'kekecewaaan'. Di musim belanja ini, Altruisme saya berkelindan dengan Egoisme, dalam perjumpaan yang sangat romantis...karena saya merasa bahwa barang-barang yang saya belikan untuk mereka itu adalah juga barang-barang terbaik yang saya pilihkan...barang-barang dimana nafsu saya juga lepas dengan segala buncahannya

Memang ada pemaknaan yang harus kita buat teman. Ini bukan semata sebagai 'excuse' atau pembenaran atas tindak tanduk kita...namun karena kita memang selama ini hidup dengan pemaknaan-pemaknaan. Kita tak bisa menghindari hasrat untuk memberikan justifikasi-justifikasi atas segala perbuatan kita sendiri. Apa yang disebut Nabi sebagai 'NIAT' dimana seluruh amal perbuatan mengakar padanya itu, tak lain adalah sebentuk pemaknaan-pemaknaan yang saya maksud.

SHOPPING bisa semata menjadi gejala pemuasan nafsu yang tak terkendali...namun jika diniatkan dengan nilai-nilai pengorbanan, pengabdian, kedermawanan, ketulusan dan hasrat-hasrat untuk menyenangkan orang lain, maka SHOPPING itu tak bersisi negatif. Ibu-Ibu yang terlihat boros sekali membelanjakan harta suaminya itu ternyata mereka membelanjakannya untuk kepentingan keluarga, anak-anak dan termasuk suaminya sendiri. Ibu-ibu itu tidak berbelanja untuk diri dan egonya sendiri

Beberapa hari lalu kita diingatkan Bapak Quraish Shihab dalam kultum Ramadhannya, bahwa ada sebuah hadits Nabi yang mengatakan 'Tiada kebaikan sama sekali dalam pemborosan, dan tiada juga pemborosan dalam kebaikan'. Maka sewajarnya, secukupnya, dan sesuai kadarnya saja. Betul...kata-kata ini sangat relatif...secukupnya menurut siapa? sekadarnya menurut siapa? Saya hanya akan mengatakan bahwa NURANI kita masing-masing lah yang bertugas mengukur dan mengkadarkannya. 

Berbijaklah dalam segala hal, Niatkanlah yang bagus-bagus untuk segala hal...berikan justifikasi dan pembenaran-pembenaran yang juga bagus atas setiap perilaku, kemudian yakini saja bahwa TUHAN maha pemurah...TUHAN tersenyum manakala kita juga bisa membuat orang lain tersenyum. TUHAN berterimakasih pada saat kita berbagi dan memberi

Temanku, Selamat berbelanja.... :)

(Madyan: Tafakkur Ramadhan hari 26)

Nuzulul Quran: Misteri Yang Selamanya Sakral


Dikisahkan, bahwa al-Quran pertamakali diturunkan pada malam ke 17 bulan Ramadhan ini. Ada sebagian Ulama yang bilang bukan 17, namun alQuran turun pada hari ke 21. Beberapa Ulama mengait-ngaitkan penurunan alQuran ini dengan momentum Ramadhan yang paling berharga, yaitu pada malam seribu bulan (lailatul Qadar). Memang berbeda-beda penafsiran Ulama, namun yang jelas narasi tekstual al-Quran mengatakan bahwa pada bulan ini lah firman Tuhan itu diturunkan kepada Muhammad saw., ...Unzila fiihil Qur'an... (QS:2:185). 

Saya dulu pernah menulis buku berjudul "Peta Pembelajaran al-Quran" yang diterbitkan Pustaka Pelajar, tahun 2008. Salah satu pertanyaan pokoknya adalah ingin mengungkap bagaimana proses pewahyuan al-Quran itu terjadi, antara 'Tuhan' dan Muhammad saw. Sebuah ambisi yang baru saya sadari 'lebay' karena saya ingin menjelaskan pola komunikasi Tuhan dengan manusia bernama Muhammad. Mana bisa saya mengungkap 'rahasia' itu? karena semakin dijawab, semakin banyak pertanyaan yang membuntutinya. Tapi setidaknya, dulu saat buku itu selesai saya tulis, saya sudah merasa sangat paham...walupun sekarang harus saya akui, bahwa ternyata yang saya pahami itu sejatinya hanyalah 'sebuah dongeng'. 

Bahwa sebenarnya, setiap penjelasan Ulama tentang misteri pewahyuan itu sebenarnya apologetik dan hanya berisi spekulasi-spekulasi semata, kemudian sebagian dari spekulasi-spekulasi itu dicari-carikan dalilnya. Sama seperti kebanyakan penjelasan ilmu KALAM tentang hampir semua konsep keimanan kita. khususnya tentang pewahyuan, para Ulama sehebat apapun tidak akan pernah memiliki kapasitas yang cukup untuk  memberikan reportase yang akurat tentang prosesi pewahyuan itu, walaupun sekedar penjelasan-penjelasan mereka itu kemudian menjadi bermanfaat bagi umat yang awam seperti kita. Setidaknya, jawaban-jawaban para ulama itu membuat 'iman' tenang, tidak bergejolak. Namun apa yang lebih penting? sebuah keimanan bulat-bulat tentang kitab suci ini, ataukah penalaran yang benar-benar masuk akal tentang prosesi pewahyuannya? Jika yang kita cari yang kedua, maaf saya khawatir kita akan kecewa. 

bagi Umat islam, misteri 'Nuzulul Quran' itu hingga saat ini hanya bisa disakralkan begitu saja. Kita tidak membutuhkan akurasi sejarah, bahwa benar-benar pada tanggal 17 Ramadhan ini al-Quran diturunkan. Karena, diturunkan kemana? Ulama-ulama itu bilang diturunkan ke 'Baytul Izzah'. Tapi ketika ditanya, apa itu 'Baytul Izzah"...? sama sekali tak ada jawaban yang memuaskan, 'Baytul Izzah' hanya diterjemahkan sebagai "tempat yang mulia di langit dunia"...titik! Gara-gara itu kan, al-Quran harus dipahami turun dua tahap, pertama turun satu paket utuh di 'langit dunia' (yang entah dimana itu), kedua turun berangsur-angsur dalam rentang masa 22 tahun masa kerasulan Muhammad saw., Tidak hanya di bulan ramadhan ini saja!

Jadi menurut saya, ada dua pilihan bagi anda jika ingin mendalami ilmu al-Quran, kaitannya tentang event "Nuzul al-Quran" dan hal-hhal yang terkait dengan misteri pewahyuannya. Pertama anda menjadi Muslim 'baik-baik' yang perlu menerima begitu saja jawaban-jawaban apologetik itu, untuk menjaga keimanan anda terhadap kitab suci ini. Pilihan Kedua, anda juga tetap menjadi muslim 'baik-baik' hehe...namun membebaskan fikiran anda dengan pertanyaan-pertanyaan 'nakal' yang tak berujung, tanpa harus menggantungkan keimanan anda pada kepuasan intelektual yang disebut 'masuk akal' (intelligible). Karena jika kepuasan itu yang anda cari, saya jamin anda TIDAK AKAN mendapatkannya, kecuali anda juga seorang 'nabi'.

(Madyan: Tafakkur Ramadhan)

(7) Sambaran Kilat di Pagi Buta

Tak terasa sudah hari ke 7 Ramadhan, suasana hati saya FLAT, tidak sedih, tidak juga bahagia; LIMINAL; diantara dua. Kondisi mental saya sedang berada pada suatu tempat bernama "al-manzilah baynal manzilatain", satu tempat diantara sorga dan neraka. Karena itu saya mencari emoticon yang mewakili dan tak menemukannya. Mungkin begini .... :(: ???

Subuh tadi, salah seorang teman baik, calon doktor yang paling unggul diantara kami mengabarkan bahwa dirinya baru saja menyelesaikan apa yang menjadi wajibnya; ujian tertutup ; final s3 dan LULUS. Dhuar!!!... tiba-tiba geledek terdengar di langit saya, hujan tiba-tiba datang tanpa gerimis; menderas, dan sekejap saja kabar itu berubah menjadi badai dengan topan yang menggulung-gulung. Tadi, sejenak saya merasa ada yang mengalir bahagia di urat-urat saya; turut merasa bangga dan lega atas sahabat sekelas saya itu; tapi urat-urat saya itu juga jadi kecut mengkerut, karena ia tiba-tiba teringat bahwa ia adalah urat-urat yang menjalar ditubuh saya, bukan tubuh teman saya. Ya, saya sedang menyadari diri saya yang kewajiban disertasinya belum selesai. Kalau mau agak sinis boleh dibilang "mangkrak" terhambat.

Tak banyak berfikir, tubuh saya bereaksi lemas dan terkulai tidur. Beberapa jam saya berada di "wonderland", tiba-tiba istri saya membangunkan lelap saya. Sekonyong-konyong, saya terperanjat dan berkata "aish...kenapa sih saya kok dibangunkan...?" Sedikit menyesal, kenapa saya tersadar lagi tentang urat-urat yang tadi mengejang? Istri saya bertanya gusar... "Memangnya ingin gak bangun lagi?" Tak menjawab, saya hanya terus menyelonong ke kamar mandi untuk mengguyur kepala yang serasa (masih) berada di dunia bintang.

Selesai mandi, saya melihat beberapa sms dari teman-teman lain saya yang juga sekelas. Tiba-tiba saya terbahak-bahak, karena ternyata yang merasakan badai Hurricane beserta gempa Tektonik plus Vulkanik berkekuatan 9.5 SR tadi bukan hanya saya.... Hehehe, saya bernafas dalam-dalam dan sedikit merasa nyaman, karena saya tahu bahwa saya "TAK SENDIRI". Di perjalanan ke kantor tadi, saya menyanyikan lagu Michael Jackson "You are not alone...."

Teman, ini adalah refleksi dari keterpanjatan saja. Saya kira ini sangat penting dan saya harus tulus berterimakasih setinggi-tingginya untuk teman saya yang mengirimkan badai dari kejauhan itu :)... Saya beberapa kali mengalaminya di kehidupan ini, dan badai-badai serupa selalu berhasil menyeimbangkan dunia saya. Sekali lagi, terimakasih untuk teman (Doktor) paling saya kagumi itu. Beliau seorang Scorpion-Novemberist yang selalu merayakan ulang tahun bareng, karena beliau lahir tepat di tanggal dan bulan yang sama dengan saya.

Well, kini saya tahu apa yang harus saya perbuat. Saya memilih untuk menyayangi diri saya, daripada harus menganggap diri saya sebagai manusia yang "telat" dan "terlambat". Ya, saya memilih untuk selalu menganggap diri saya hebat [#daripada mengharap pujian orang lain yang gak datang-datang :( ]. Karena, walau mimpi menjadi doktor ditahun ini tertunda, namun tahun ini telah menyibukkan saya dengan lompatan-lompatan hidup yang luar biasa "besar" dalam kehidupan saya. Saya tak henti berujar al-Hamdulillah...

Jadi teman, jika keterlambatan studi saya ini adalah kutukan waktu, saya tidak ingin menghukum diri saya dengan perasaan bersalah yang mengecilkan nyali. Untuk kutukan ini, saya ingin menebusnya dengan cara mencium tulus diri saya sendiri. Mungkin, saya memang sedang terbawa cerita putri salju versi serial TV berjudul "ONCE UPON TIME" yang sempat saya tonton bersama istri. Ya, saat ini saya tertarik untuk ikut menganggap kisah itu bukan sekedar fairy tale yang kosong. Apalagi jika saya kaitkan dengan "keterbiusan" saya selama ini. Saya belajar, bahwa Putri Salju (juga) terlepas dari kutukan "koma" nya dengan satu ciuman yang berasal dari cinta yang tulus, maka saya juga bisa lepas dari "koma" saya dan perasaan dihantui oleh bayangan "disertasi mangkrak" ini. Saya yakin, bahwa saya sangat tulus mencintai diri saya sendiri, maka saat ini biar saya coba menciumnya.... :)

Tentang Ramdadhan dan apa yang tercapai; refleksi-refleksi ini biar berjalan atau berhenti semaunya...... Saya yakin tiada hal yang sia-sia. Tak harus menghentikan semua hal, namun tragedi yang terjadi di relung jiwa saya hari ini mengingatkan bahwa pekerjaan saya banyak dan seharusnya itu dilakukan dengan memilah mana yang seharusnya menjadi prioritas. Ramadhan dan studi s3 saya, dua-duanya saat ini menagih mimpi saya dengan satu kata "DEADLINE". Walaupun menjadi doktor bukanlah "happy ending", sebagaimana hari raya nanti juga bukanlah garis finish perjuangan, akan tetapi hari ini semangat saya kembali menyapa, dan yang benar saja, ia turut bertaruh jika saya sampai bisa keluar dari bermacam medan perang ini sebagai "ksatria"

Baca Tafakkur Ramadhan 1433 H yang lainnya...  

Thursday, July 26, 2012

(6) Satu Kata Saja, SEBENTAR

[Paragraph I]
Kita lahir dalam keluarga yang menganut iman ini. Dari bayi kita hanya diajari iman ini. Pelajaran dari yang paling dasar hingga paling tinggi juga hanya tentang iman ini. Keluarga, teman, sanak saudara bahkan tetangga, kebanyakan iman mereka juga seperti ini. Sehari-hari, telinga kanan dibisiki, bahwa iman selain iman kita ini bukanlah iman, tapi kesesatan. Telinga kiri kita juga mendengar ujar-ujaran, bahwa selain jalan yang kita imani ini adalah jalan ke neraka; itu lembah sangat panas dengan api yang menyala-nyala. Bertahun-tahun kita dijejali dengan ajaran, bahwa orang selain kita adalah bodoh; pasti celaka. Pasti banyak di buku-buku kita yang bicarakan iman, bahwa iman selain ini tak masuk akal. Selain akidah kita hanya ajaran orang yang mengkhayal-khayal.

[Paragraph II]
Kini, sudah terjadi..., bahwa yang kita pahami hanyalah iman kita. Kini, sudah terpatri..., bahwa yang kita sukai hanyalah kepercayaan kita. Tak perlu tengok kanan kiri. Sudah cukup; hanya diri kita yang terbaik, hanya bayangan sendiri yang menarik. Tak boleh ada pertanyaan; tak boleh ada keberatan. Kita, sudah sangat hebat. Sorga bahkan sudah kita sekat-sekat. Tentang Tuhan, kita hampir memastikan mendapat rahmat. Kebenaran dan kerendahan hati?, Ah..., itu tak patut lagi jadi bahan diskusi; itu sudah basi. Karena hanya kita yang  selamat, itu sudah pasti. Jadi, tak perlu lah bicarakan tentang orang lain, karena hanya kita yang paling kuat, hanya kita yang akan selamat...    

Sahabat, untuk dua paragraf diatas, saya ingin menawarkan satu kata untuk digunakan: "SEBENTAR"

Selamat membuka puasa,... selamat membuka hati,... selamat membuka nalar dan fikiran....


Ini bukanlah kritik tentang iman. Ini adalah refleksi tentang cara kita memandang perbedaan.
Bukan iman kita yang seharusnya terguncang atau bergoyang-goyang, namun bahwa memang setiap benih keangkuhan dan kesombongan sudah sepatutnya lenyap dan menghilang


Baca Tafakkur Ramadhan 1433 H yang lainnya...  



Wednesday, July 25, 2012

(5) Para Teroris itu Akan Masuk Sorga; "BENAR" atau "SALAH"?


Beberapa hari lalu saya sedang mengaji. Ada satu ayat yang entah sudah berapa ratus kali saya baca, sejak saya di pesantren dulu hingga sekarang... saya lewati berkali kali, namun kali ini ayat itu terdengar lebih nyaring di lubuk dan urat tanya saya. Ya memang begitulah, salah satu keistimewaan (anda boleh bilang ini mu'jizat) dari kitab suci, yang dibaca terus menerus, berkali kali; dari sampul depan ke belakang, begitu berulang-ulang. Kadang-kadang (tak selalu, lho ya) memang ada saja pesan khusus; teguran khusus; pertanyaan khusus; bahan refleksi khusus...yang muncul dan menjadi terasa "baru".

Gugusan ayat itu sebenarnya bercerita tentang peperangan antar umat manusia yang sejarahnya sudah terjadi sejak sejarah penciptaan manusia itu sendiri. Secara spesifik, Ayat yang saya maksud itu berbunyi "Walau Syaa'allahu maqtatalu walaakinnallahu yaf'alu maa Yuriid". Arinya (Dan jika Allah mau, mereka tidak akan saling memerangi satu sama lain, akan tetapi Allah selalu melakukan apa yang Ia kehendaki). 

***

Mendadak saya terjerembab pada pertanyaan paling dalam tentang "Kehendak Tuhan" dan itu menyeret saya jauh pada pertanyaan esensial yang lebih mendasar tentang "Siapa saya?" 

Baiklah, sedikit saya runut...pendidikan agama pada fase mula-mula saya adalah pendidikan tentang jati diri; bagaimana menjadi seorang Muslim yang identitasnya jelas; yang tegas; yang iman nya kukuh; yang tak mengajak "orang lain" bersekutu; yang tak mentolerir apapun yang berbeda dengan "kehendak-kehendak" Tuhan, sebagaimana waktu itu saya pahami. Kalau ingin ekstreme, saya bisa membahasakan fase pendidikan awal saya itu sebagai fase "kebencian". Ya, walau sebenarnya saya tak begitu suka menyebutnya demikian, karena seakan saya sudah menghakimi buruk fase itu, padahal saya insyafi bahwa yang terjadi sebenanya tidaklah demikian. Bagaimanapun, fakta yang saya terima adalah memang karena pendidikan pada fase itulah, saya dulu menjadi manusia yang kurang suka dengan orang yang saya idenfikasi sebagai "the others"; "yang liyan", yaitu orang-orang yang tidak seperti saya, siapapun itu. 

Bergeser, disaat umur saya mulai ranum mendewasa. Pola pendidikan tentang bagaimana menjadi seorang Muslim saya "mendadak dangdut"; berubah. Ia menjadi lentur dan lebih banyak toleran. Otak serta hati saya tanpa saya buat-buat tiba-tiba bersedia merangkul siapapun, tak peduli agamanya, kebangsaannya, aliran yang dipilihnya, perilaku, bahkan catatan kriminalnya! Saya merasa bahwa saya adalah bagian dari siapapun, tak peduli warna kulitnya, jenis kelaminnya, bahkan orientasi seksualnya. Ekstreme memang, dan saya menjadi sok filosofis, saya merasa bahwa keterciptaan saya adalah bagian dari seluruh kebaikan dan keburukan di dunia ini. ketika saya tercipta, saya otomatis masuk dalam sistem yang tak begitu tegas tentang kebaikan dan keburukan, kebenaran dan kesalahan; mana yang hitam dan mana yang putih. Karena itulah terkadang saya menyebut diri saya MUNAFIK; otak eklestis; pintar dioplomasi (bahasa lainnya licik); penjilat; tak punya ketegasan; tak punya keberpihakan yang jelas...dan seterusnya. 

Faktanya, apa yang disebut dalam dunia akademis saya sebagai "nalar postmodernisme" membuat saya bukan hanya tak menyukai keterbatasan positifistik yang menilai segala hal hanya sebagai dualisme yang hitam dan putih. Saya bahkan sekarang kurang menyukai warna-warna yang tegas. Saya saat ini lebih menyukai gradasi. Saya saat ini lebih mengagumi spektrum warna yang lebih kaya dan lebih sulit diinterpretasikan. 

Teman, bagaimanapun saya tak ingin menyebut fase kedua ini sebagai fase "pendidikan cinta kasih". Saya khawatir, jika apa yang saya ceritakan sebagai "DUA" fase ini betul-betul dipahami sebagai "DUA" yang kontras dan mudah diperbandingkan... Padahal, sekali lagi, apa yang terjadi adalah pembauran; nilai dan warna-warna yang berkelindan; bergradasi. Saya lebih menyukai jika dua fase yang saya ceritakan ini difahami sebagai SATU yang fluid; yang cair dan mengalir; saling bercampur dan sedikit lebih rumit untuk di masukkan dalam tabulasi dan pengkotakan-pengkotakan yang kaku. 

***
Kembali tentang ayat perang yang saya sebut berkesan tadi. Biar tidak lupa, terjkemahan ayat tadi saya tulis ulang. Bunyinya; "Dan jika Allah mau, mereka tidak akan saling memerangi satu sama lain, akan tetapi Allah selalu melakukan apa yang Ia kehendaki"

Saya dan mungkin kebanyakan dari rekan-rekan saya pernah bertanya tentang "mana yang benar?" dari semua tragedi berdarah antar umat manusia; antar hamba Tuhan yang sama-sama memegang kitab suci? Ya, sama. Pertanyaan semacam itu juga pernah terbesit di urat nalar saya. Tentang perang salib misalnya... Well, agak jadul kalau ngomongin perang yang berdarah antara umat Islam dan Kristen, atau Muslim palestina dengan Yahudi di Jerussalem, misalnya. 

Mungkin, lebih baik saya beri contoh yang lebih membumi tentang perang di sekitar kita sekarang. Tentang pertikaian yang tidak (begitu) berdarah; pertikaian intelektual keagamaan contohnya;.... perang antara FPI dengan JIL, antara Muslim garis keras dengan Muslim garis lunak [ala ayam presto :)], antara Muslim mayoritas dengan Muslim Ahmadiah; antara pengusung kebebasan beragama dengan para pembredel gereja; antara NU dengan "Muhammad NU" [hehehe]... Duh banyak, sebut saja semua konflik dan pertikaian di muka Bumi ini, yang anda tahu (saya takut tulisan ini jadi kepanjangan). Apapun konflik itu, boleh anda buat contoh. dari konflik besar hingga konflik pertemanan, konflik suami istri dan seterusnya. Karena sama saja, semua itu bisa kita sebut sebagai contoh PERTIKAIAN; contoh PEPERANGAN. 

Tapi untuk kali ini, saya tidak hendak mengajak anda bertanya dengan pertanyaan yang sama; pertanyaan klise tentang "siapa yang sebenarnya benar?" atau "siapa yang salah?". Karena kalau saya sebut, peperangan antara sahabat-sahabat Nabi misalnya, yang mengorbankan beratus-ratus nyawa; semuanya Muslim terhormat; Semuanya adalah umat yang disebut "khoirul quruun" (generasi terbaik); peperangan berdarah antara pasukan istri nabi yang terkasih (Aisyah) dan pasukan sepupu nabi (Ali bin Abi Thalib). Anda mau bilang apa??? 

Paling-paling ada dua opsi. Anda yang memilih untuk diam, pura-pura menutup mata dan gak berkomentar apa-apa, yang penting sahabat nabi adalah 'udul, baik dan masuk sorga. Maka saya segera bisa memastikan anda adalah SUNNY tulen. Atau, opsi kedua adalah anda menghujat salah satu kubu atau mencela dua-duanya.. Berarti spekulasi saya, anda mungkin adalah pengikut Syiah atau pengikut Khawarij. Hallow....sebentar! Tapi bukannya sekarang ini adalah tahun 2012? 1433 Hijriah? Ada apa dengan anda? Well, semoga saya tidak salah sebut tahun berapa sekarang!

Entah anda sepakat atau tidak, Yang jelas ayat bahwa "jika Tuhan mau tidak akan ada peperangan, tapi ia melakukan apa yang Ia mau" tadi seakan membuat pertanyaan "siapa benar-siapa salah itu sia-sia, gak ada gunanya. Toh, mau benar atau salah, Tuhan memang menghendaki peperangan itu terjadi, kemudian pertikaian itu terjadilah; perbedaan itu teriptalah. Eits, jangan sebut saya sekarang beraliran Jabbariah; aliran yang kurang bertanggung jawab karena menganggap semua yang terjadi di dunia ini seharusnya dilimpahkan pada perbuatan dan kehendak Tuhan. Bukan..., tapi cobalah baca lagi ayat ini dan rasakan, bahwa memang benar, seandainya Tuhan berkehendak, apa sih susahnya bagi Dia untuk menjadikan kita seragam; ummatan wahidah... tapi kan Tuhan inginkan kita berbeda. Sialnya di ayat tadi jelas-jelas Tuhan lah yang inginkan peperangan. Dengan bahasa gaul ibukota Tuhan berkata "semau-mau gue dong". 

Lalu kita mau bilang apa sekarang? Teman, Ini bukan ekspresi dari keputusasaan... Refleksi ini (semoga) bisa menawarkan satu cara pandang yang lain tentang bagaimana kita melihat perbedaan dan pertikaian

Pada Bulan Ramadhan ini, disamping saya harus bersusah payah membangkitkan gairah saya menyelesaikan disertasi, saya juga berbuat banyak hal. Saya masih sempat mengurus niatan saya untuk mengkhatamkan al-Quran; mengkhatamkan serial-serial film Barat dan Korea bersama istri; menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah dan kantor saya; berusaha mengisi blog dan halaman-halaman facebook. dan....satu lagi, saya juga sedang menikmati novel dan buku-buku karya orang-orang yang saya kagumi. Saat ini, saya hampir menghabiskan dua buku Paulo Coelho, sastrawan asal Brazil yang memperoleh penghargaan sastra kelas dunia. Dua bukunya berjudul "Seperti Sungai yang Mengalir" dan "sang alkemis". Buku yang saya sebut terakhir ini sudah pernah saya hisap manisnya di tahun 2003, di Cairo. kali itu saya pinjam bukunya dari seorang teman. Kali ini, saya punya sendiri, dan tiba-tiba saya rindu untuk membacanya ulang. 

Benar saja, pada tubuh dan jiwa saya yang sibuk itu, terjadi semacam sinkronisasi atas apa yang saya lakukan. Saat membaca ayat perang itu beberapa hari silam, tanpa sadar saya juga terperangkap dengan pesona kalimat Paulo Coelho, yang mengatakan "Terkadang, ada perang yang berlangsung sangat lama. Itu bukan perang antara yang haqq dan yang Bathil; bukan antara yang salah dan yang benar... itu adalah perang untuk keseimbangan dunia, dimana Tuhan sama-sama berpihak kepada kedua kubu yang bertikai.."

Ya, kata-kata Coelho ini seperti membantu saya menafsirkan ayat yang "paling semena-mena" diatas; yang menyatakan bahwa "andai Tuhan mau, tidak akan ada peperangan, namun IA mau peperangan itu terjadi". Saya jadi membayangkan para teroris yang kita kecam kejahatannya. Biasanya saya benci mereka, tapi kali ini saya ingin merasakan gairah sukma nya, pemahamannya akan kematian demi membela yang benar; memperjuangkan cinta yang benar-benar diimaninya. Teman, sekali lagi saya ingin tegaskan, ini bukan tentang "yang benar" dan "yang salah". Jadi jangan tuduh saya membela teroris!.... ini hanya sebatas empati dan rasa yang mendera. Daripada saya harus menafsirkan TUHAN sebagai sosok yang "plin-plan", nanti saya lebih khawatir lagi dituduh heretic. Tapi Faktanya benar lho, bahwa sangat mudah mencari firman Tuhan yang mendukung perdamaian, semudah kita mencari firman-Nya yang menyuruh kita menghunuskan pedang dan terlibat dalam peperangan itu. jadi Tuhan ini maunya apa?

saya tiba-tiba berdendang: 

"Oh Tuhan, saya membayangkan alangkah kecewa dan patah hatinya para teroris itu ketika nanti di akhirat Engkau tak memberinya sorga. Tak memberi sedikitpun pembelaan atas perbuatan mereka yang (konon) dilakukan karena cintanya kepada-Mu... Tapi Tuhan, saya juga membayangkan, alangkah kecewa hati hamba-hamba Mu yang lain, yang menjadi korban atau yang mengecam para teroris itu jika Engkau memberi mereka apa yang mereka mau. Karena yang dibela orang-orang itu adalah nafas orang-orang tak bersalah; korban kekerasan. Yang mereka bela adalah kesucian dan kehormatan nyawa pemberian Mu yang dihina dan disia-siakan..."                                    

 Sahabat, Entah bagaimana dunia ini sebaiknya bekerja?... Tapi itu bukan pertanyaan yang pas untuk kita diskusikan. Yang lebih masuk akal kita bicarakan adalah "bagaimana kita ini sebaiknya?". Yang jelas, Pengalaman intelektual dan spiritual ini sudah melampaui tabel-tabel yang "salah" dan "benar", hitam dan putih, sorga dan neraka. Ternyata, di dunia ini yang terjadi bukan hanya tentang perang antara kebaikan dan keburukan saja. perlu kita tahu dan kita sadari bahwa yang juga terjadi adalah perang antara kebaikan dengan kebaikan; perang antara pihak yang sama-sama benar, juga perang antara pihak yang sama-sama punyai salah. 

Jadi teman, jangan lagi heran jika kita sudah merasa benar tetapi kalah, sudah berdoa tapi tak dikabulkan, tak diberi kemenangan. karena, ternyata Tuhan tak hanya berpihak pada kita. Ia juga berpihak pada kebenaran yang lain; yang (mungkin) tidak kita sangka-sangka... Sadarilah DIA bukan hanya Tuhan kita, DIA adalah Tuhan bagi semuanya. Dan asyiknya lagi DIA, memang berbuat semaunya......

Madyan: Tafakkur Ramadhan 1433 hari ke 5
Baca Tafakkur Ramadhan 1433 H yang lainnya...  

Tuesday, July 24, 2012

(4) HAPPY ENDINGS, NO MORE....


Ramadhan; adalah bulan saat kita mencari kesibukan-kesibukan ringan untuk mengisi waktu, melupakan waktu, juga memanfaatkan waktu sekaligus. Bulan ini memang hebat. Kita bahkan bisa membuang waktu sekaligus memanfaatkannya. Sebut saja promosi lazim bulan Ramadhan yang (konon) bersumber dari ucapan Nabi saw. Beliau mengatakan bahwa "Naum al-Shoim 'Ibadah" (tidurnya orang puasa adalah ibadah). .. Hmmm, seriously, bukankah ini keren? Tidur yang biasanya identik dengan perbuatan pemalas, pada bulan suci ini menjadi opsi yang memiliki nilai. Marhaban ya Ramadhan :)

Saya tak ingin bicara tentang tidur. Kali ini saya ingin membocorkan satu rahasia tentang istri saya dan bagaimana ia menghabiskan waktunya di bulan suci ini. Apa yang dilakukan istri saya bukan (hanya) tidur, namun ia juga gemar menghabiskan waktu sambil menonton serial KOREA... Hehehe. Well, di satu sisi saya juga bersyukur jika itu pilihannya, karena berarti ia adalah typical Ibu rumah tangga setia yang ndak akan keluyuran kemana-mana. Hehehe…Tapi menariknya, ini juga bukan tentang buka kartu (rahasia) istri saya. Ini justru tentang "rahasia" saya sendiri. Ssst... (off the record, dan tolong ini sangat di rahasiakan). Bahwa cara saya menghabiskan waktu di Bulan suci ini adalah dengan menemani istri saya, mengkhatamkan kepingan-kepingan serial korea nya. Hahahaha.

Well, setidaknya saya tak pernah menonton dari awal, namun karena saya melihat istri yang mengalami ekstase spiritual melalui kepingan-kepingan DVD nya itu,  saya pun tak tahan. Biasanya, di tengah-tengah cerita, sembari sok jantan saya bertanya tentang plot-plot dramanya dengan nada sinis, namun akhirnya istri saya selalu tersenyum, saat menyadari suaminya juga turut duduk manis; menyangga dagu; larut hanyut menanti kan keping-keping DVD itu berputar, hingga berisik Ibu kota tak lagi terdengar lagi. Duh….^_^
Ampun...Ramadhan,. Baiklah, saya harus membayar rasa "bersalah" dan menebus ini dengan sebuah apologi bahwa "walaupun saya nonton KOREA, namun di hari ke 4 Ramadhan ini, tadarus dan khataman Quran saya sudah sampai di juz 10; sepertiga dari kitab suci" (#sambil pameran amal disini wkwkwk). Hehehe

***
Teman, tentang DVD serial itu bukannya saya benar-benar sok jantan dan gentleman. Namun saya ingin merefleksikannya di sini; Bahwa sebenarnya, saya memang tak begitu menyukai candu-candu yang membuat urat leher, mata, dan urat fikir saya "kejang" penuh tanda tanya. Saya, sudah jera dengan salah satu serial TV Barat berjudul “PRISON BREAK" (2007-2009) yang waktu itu sampai menyita lebih dari separuh hidup saya sehari-hari. Saya, betul-betul tak bisa berhenti. Jujur, sampai menjelang akhir-akhir ini, saya bahkan tak pernah menyalakan TV dan memilih untuk menikmati serial kehidupan saya sendiri.  

Ya, saya sebenarnya tak suka film-film atau buku cerita berdurasi panjang. Tapi alasan saya bukan karena benar-benar tak menyukai cerita yang bertele-tele itu. Alasan "kebencian" saya adalah keengganan saya untuk menjadi budak dari candu saya sendiri. Serial-serial itu seperti air garam: semakin diminum, semakin dahaga.

Anehnya. Saya bisa saja berteori panjang tentang “kebencian” saya terhadap film-film serial dan sejenisnya. Namun fakta menceritakan fakta lain, bahwa pada hari Minggu kemarin, di terik siang yang sangat menganga, pukul 12 an, kondisi puasa, saya bersama istri rela berpanas-panas mencari DVD serial di pasar Glodog –Jakarta Kota. Saya merasa sukacita, walau harus berjemur panas, bersembur asap hitam jalanan.
Huft, mungkin... candu akan serial, sinetron, telenovela, komik dan bahkan semua cerita  itu terdengar biasa dan sederhana, namun bagi saya, TIDAK. Saya betul-betul tak habis piker mempertanyakan kejanggalan pada diri saya yang membenci “itu” namun tak bisa menepis “itu”. Saya "Benci" tapi saya  "suka". Bleh…!?

Fakta ini tak membuat saya senang. Saya ingin menelisik lebih dalam tentang diri saya, kaitannya dengan pertumbuhan jiwa dan refleksi Ramadhan kali ini. Menariknya, saya baru menemukan jawaban subuh tadi, sehabis shalat berjamaah bersama istri saya. Bahwa ternyata, yang membelenggu dan memasung  dari cerita serial itu adalah pertanyaan tentang "ENDING". Pertanyaan tentang bagaimana akhir ceritanya? Rasa haus dan penasaran akan “ending” itu lah yang candu yang sebenarnya ingin garis bawahi.

Menarik, karena saya juga menggemari film-film yang ceritanya di luar mainstream komersil (kebanyakan produksi  Hollywood-Bollywood), yang akhir ceritanya selalu bisa dipastikan dengan titik "Clear Ending" (ending yang jelas) atau bahkan sering nya "Happy Ending" (berakhir bahagia). Saya menggemari film-film di luar mainstream yang tidak bisa ditebak akhir ceritanya.

Dulu, saya memang sempat marah karena kebanyakan film-film seperti itu ceritanya menggantung tak ada akhiran yang jelas. Namun, semakin saya mengerti, saya juga menjadi menyukai film-film jenis itu. Faktanya, film-film itu tak memenjara sehingga mengharuskan saya menonton sampai akhir... Saya bisa menikmati setiap adegannya dan saya bisa berhenti kapan pun, tanpa harus merasa berhutang. Toh ada kenikmatan lain saat imajinasi saya dibebaskan untuk melanjutkan cerita itu sendiri. Dan, satu lagi, bukankah begitu itu sebenarnya hidup kita ini; dunia ini? Yang sering terjadi adalah akhiran yang menggantung; menyisakan spekulasi dan setumpuk tanda tanya? Ya ya ya, Mengapa kita menjadi harus terobsesi dengan ENDINGS? atau lebih tepatnya, Happy Endings?      

Refleksi saya jadi melebar, bahwa jangan-jangan fikiran bawah sadar kita juga telah tersetting dengan sesuatu yang disebut "awalan" dan "akhiran";"pembuka cerita" dan "penutupnya". Kita menjadi sangat terobsesi degan kehidupan ini karena konstruksi fikir itu telah begitu kuat mendarah daging dalam sukma yang paling dasar. Kita kemudian menjadi terbelenggu dengan "cerita" kita; dengan "dunia" kita. Bukankah kita memang dididik begitu sejak kecil...? menginginkan ending yang bahagia di ahir nanti; masuk sorga? Gambaran tentang sungai jernih yang mengalir di bawah pembaringan-pembaringan empuk; terbuat dari bulu angsa, selimut sutera lengkap dengan sejumlah bidadari muda; membawa cawan-cawan emas; siap memabukkan dahaga dan gairah setiap "pria". Betul khan, itu akhiran yang kebanyakan kita inginkan!?

Apa yang saya fikirkan ini mungkin tidak begitu sederhana; karena saya tidak bicara tentang apa yang memang sudah seharusnya, namu saya sedikit mencurigai, bahwa (mungkin) pola ketertundukan dan penghambaan kita kepada apa yang kita sebut TUHAN selama ini, semua itu hanya tentang pemenuhan nafsu kita atas "Ending". Jujur saja, bahwa yang memotivasi ibadah dan perilaku baik kita selama ini tak begitu jauh dari arus nalar pencerita yang menyutradarai film-film komersil ala Hollywood itu; yang selalu berhasil membujuk penggemarnya dengan "janji" dan "harapan" akan ENDINGS.

Ini tiba-tiba menjadi menggelisahkan saya, karena jujur saya menjadi curiga, bahwa jangan-jangan ekspektasi kita tentang ending akhirat yang bertemakan sorga itu telah tanpa kita sadari membelenggu kebebasan spiritualitas kita selama ini...

Ya, "think otherwise", katanya…, seakan saya ingin membalik nalar Muslim kebanyakan, bahwa justru harapan kita tentang ending yang indah di akhirat itulah yang menyebabkan kita begitu "melekat" dengan dunia ini. Persis seperti kemelekatan dan candu saya atas cerita-cerita bersambung dalam kepingan-kepingan DVD serial itu.

Saya bisa saja berulang-ulang mengatakan bahwa saya tak suka cerita berseri, atau bilang bahwa saya membenci dunia serta pentingnya menghindari kemelekatan dunia, namun yang terjadi adalah bahwa saya terus saja menonton serial-serial itu walau tak begitu menyukai ceritanya; bahwa karena ada ekspetasi tertentu tentang akhirat yang menjadi ujung dari cerita saya di dunia, maka saya-secara tak sadar- "membenci" dunia saya, dan saya kemudian menjadi melekat dalam kebencian itu. Padahal jika lebih arif, "kebencian kita atas cerita berseri" atau "kebencian kita atas dunia" itu sejatinya adalah bentuk lain dari rasa "cinta".

Pernah dengar kata-kata bijak berbunyi "BENCI itu CINTA"? Kalau belum, catatlah kata-kata itu, karena saya sendiri ingin membuka satu rahasia lagi di sini. bahwa sebenarnya, lawan kata dari CINTA bukanlah BENCI. Karena saat kita membenci, akal dan hati kita masih terikat dan teringat. Sahabat, lawan kata sebenarnya dari kata CINTA adalah "ketidakpedulian", Ignorance.

Jika hubungan percintaan kita putus misalnya, kemudian mantan pacar kita sangat membenci kita, maka sebenarnya masih ada harapan yang sangat besar bahwa dia akan kembali mencintai kita; masih ada yang melekat dan cinta kita itu sebetulnya belumlah berakhir. Namun catatlah, jika mantan pacar kita sudah "tidak peduli" lagi, maka saat itu adalah “Ending” sebenarnya dari yang kita sebut cinta atau asmara.

Kemelekatan kita pada akhirat (Endings) itulah yang menyebabkan kita "membenci" dunia. Namun hakikatnya, “kebencian” kita pada dunia itu adalah siluman atau perwujudan lain dari “cinta”. sepertihalnya "kebencian" kita pada serial, sinetron atau cerita komik-komik bersambung itu. Kerap kali kita menegaskan kebencian kita dengan menilai bahwa ceritanya "bertele-tele" dan menjemukan. Namun, sebenarnya rasa benci itulah yang tanpa sadar telah membuat kita duduk menonton dan menunggu endingnya. Kita menjadi terbelenggu dan tak berkutik, terpasung dengan sihir para sutradara; pemilik cerita.

Well, ini sudah terlalu panjang. Saat ini saya hanya sedang memikirkan sosok Rabi’ah. Seorang sufi wanita yang konon mengabdi pada Tuhan, bukan krena ia mengharap sorga atau takut neraka... Ia beribadah karena cinta, begitu saja. Saya juga sedang memikirkan sosok Buddha Gotama yang mengajarkan "Zuhud" dengan menanggalkan kemelekatannya pada dunia; Gotama yang dulu pernah bercerita tentang NIRWANA; bukan sebutan bagi dataran indah dengan sungai yang mengalir. NIRWANA yang ia ceritakan adalah pencapaian atas hilangnya semua hasrat; pudarnya segala bentuk keinginan, termasuk keinginan atas yang kita sebut-sebut dengan istilah "happy endings".

Baca Tafakkur Ramadhan 1433 H yang lainnya...     
                    


Monday, July 23, 2012

(3) Bangkit, atau Terkubur dalam Penantian yang Pengap

Seharian kemarin menghabiskan waktu dengan TIDUR.... Apakah ini ibadah? Hmmm bisa saja dibilang demikian, toh ini puasa.. Apalagi, yang tidur sebenarnya hanya dua mata ini, karena hati dan fikiran saya hari itu diliput gulana tak terkira. Saya memang pribadi yang ingin sibuk menyelami diri saya sendiri. Mungkin, istri saya sudah bosan melihat saya tiba-tiba "disconnect" saat bicara. Ia biasanya bertanya "mas kenapa sih?" Saya, tak pernah bisa menjawab pertanyaannya itu. Sampai suatu hari, saya menemukan jawaban yang jitu, yaitu dengan bertanya balik "Apa kamu ndak bosan bertanya seperti itu terus, dik?" :) Hmmm, dalam hati saya berharap, semoga Istri saya tidak ikut-ikutan menjadi stress, menyaksikan suaminya yang dikutuk pikiran-pikirannya sendiri.

Entahlah, ia sudah terbiasa atau belum, namun saya memang menyukai pertanyaan walau kadang konyol dan tak penting, Saya selalu terkagum dengan orang-orang yang memiliki banyak "pertanyaan". Uniknya, saya sering merasa muak jika melihat orang yang selalu memiliki "jawaban" atas segala hal.

Sahabat, saya sedang gundah gulana, karena sebenarnya saya sedang menanti wahyu. Jibril tak pernah datang lagi. Pertanyaannya, "Apa pernah Jibril datang? Apakah saya nabi?" Serius, saya ingin mengatakan bahwa sejatinya, masing-masing kita ini sebenarnya adalah nabi bagi dirinya sendiri. Bukankah Tuhan selalu bicara; mengirimkan wahyu-Nya? Mungkin kita aja yang jarang mendengar, menggubris dan menghargai hadir-Nya. Saya bukan nabi palsu.
Entah, Jibril itu wujudnya seperti apa...namun kedatangannya selalu mendamaikan, apalagi saat ia menyampaikan kehangatan dari Tuhan. Bagi saya, "kehangatan" itu tak lain adalah inspirasi dan semangat hidup yang positive, sehingga saya tak lagi takut akan kematian. Ya, orang yang memiliki semangat hidup positif justru tak gentar atas habisnya ajal.

Akhir-akhir ini, saya banyak termenung dan melantur, karena saat ini saya merasa betul-betul terjepit dan dipaksa waktu untuk menyelesaikan kontrak-kontrak hidup dan mimpi saya. Saya sering menjadi lemas tak berdaya, karena rasanya "hutang" saya sangat banyak, dan saya tak memiliki sumber yang cukup untuk melunasinya. Ya, saya banyak berhutang pada mimpi saya sendiri; bahwa tugas sekolah ini sudah seharusnya selesai tahun lalu, dan mengapa sampai kini masih buntu. Padahal jentera kehidupan saya sudah melompat pada fase yang seharusnya berbeda. Duh, saya betul-betul kwalahan dengan rasa yang memenjara ini

Dulu, saya sering merasa "hebat", karena wahyu selalu datang bertubi-tubi. Berbeda dengan apa yang saya rasa sekarang; kosong; vakum. Sialnya, saya tak lagi bersemangat. bahkan ketika dunia bisa mengguraui saya dan bicara "sekarang kan sudah ada yang menemani... Kurang semangat apa lagi sih? Hmmm... ya, lagi-lagi saya tak bisa menjawab itu...
Bagi seorang penulis, apalagi masih pembelajar seperti saya, tak ada yang lebih berharga selain datangnya Jibril; datangnya wahyu; datangnya inspirasi yang nikmat bertubi. Jika aliran itu terhenti, maka dunia ini kebas; seperti tanpa rasa.
Tapi entah, jika saya bisa menyebutnya sebagai momentum; semalam saya berjamaah Tarawih, berdua bersama istri saya. Tanpa sengaja saya bacakan surat al-Dluha yang saya potong-potong. Apa pedulinya? toh bukan syarat wajib kita harus menyelesaikan bacaan satu surat utuh. Tapi semalam, saat membacakan surat itu, saya terperanjat dengan ingatan saya tentang cerita nabi Muhammad saw yang juga pernah mengalami kekosongan hati yang sama. Ya, Beliau pernah merindukan Tuhan; merindukan Jibril; merindukan wahyu. Berhari-hari, berminggu minggu, berbulan-bulan... sampai Rasulullah saw pun hampir putus asa. Dikiranya tamat sudah riwayat. dan dikiranya, Tuhan tak lagi hangat.

Saya membaca potongan ayat itu dan teringat, bahwa saat keputusasaan sang Nabi hampir penuh menyelimuti jiwa beliau yang sesak, sekonyong konyong Jibril tiba-tiba mengetuk pintunya. Jibril kemudian mewartakan surat al-Dhuha yang saya baca itu. Bahwa "Muhammad, Tuhan mu tidak pernah meninggalkan-Mu... Ia masih akan dan selalu datang. Ia masih mewahyukan. Hanya saja, Tuhan bekerja dengan cara dan kehendak-Nya sendiri, bukan kehendak Mu..." (Q.S. al Dluha: 03)

Jadi, sejak semalam saya menjadi diam. Sekiranya saya sudah merasa sangat berlebihan merespon rasa yang mendera, tiba-tiba saya ingin mandi dan mengikuti apa yang dilakukan nabi Muhammad saw dulu, bahwa beliau terus saja berjalan dan tak henti menyelami dirinya yang kalut. Ya , saya ingin mengikuti jejak beliau ... Menulis saja entah... tak peduli jika apa yang ada difikiran dan yang saya tuliskan itu adalah wahyu Jibril ataukah ia bisikan setan... tak peduli jika ini adalah malaikat atau  iblis yang terlaknat. Saya akan terus saja berjalan... saya harus terus saja menulis. Saya tak boleh menunggu; Bangkit, atau saya akan terkubur dalam penantian yang pengap.

Baca Tafakkur Ramadhan 1433 H yang lainnya...  

Sunday, July 22, 2012

(2) FASE PALING TERIK


Sedikit merasa ganjil... karena rasanya perjalanan waktu melibas hidup saya begitu cepat, hingga tiba-tiba tersadar, saya sudah berada dalam siklus kehidupan yang paling tinggi dan terik; siklus keterciptaan yang dipastikan akan segera turun, tergelincir dan meredup, menuju senja. 
Ini Ramadhan. Membincangkan terik sangatlah tepat untuk mengilustrasikan satu waktu yang (biasanya) sangat berat. Ia adalah saat dahaga mulai mencekik, hingga seteguk air segar selalu menjadi godaan paling menggairahkan, bahkan jika dibanding seribu bidadari. 

Ya, siklus terik itu adalah metafor yang ingin saya gunakan untuk menggambarkan "masa dewasa", masa yang saya simbolkan secara pribadi dengan "pernikahan"; dimana saya menjadi memiliki tanggungjawab yang lebih, sebagai suami; sebagai kepala keluarga. Saya bilang, ini sangat pribadi... karena sama sekali saya tidak ingin mengatakan bahwa yang belum menikah belum dewasa. Bukan, jadi jangan salah faham. 
Fase pernikahan saya itu yang ingin saya simbolkan sebagai masa paling terik. Toh, kalaupun saya tidak membicarakan pernikahan, saya pun tetap tak bisa berkelit dari fakta, bahwa memang umur saya sedang berada pada terik yang paling puncak, dari rentang usia manusia standar yang biasa kita perkirakan; Usia 30-40 an... 

Benar, konon pada usia itulah manusia seharusnya bisa menemukan misi paling inti dari legenda kehidupan dan tujuan keterciptaannya. Muhammad saw diangkat sebagai Rasul juga pada umur sekian. Setidaknya batas-batasa umur ini mewakili ekspektasi sosial, yang terdengar di sekitar, atau diredam dalam angan-angan bawah sadar. Setelah masa paling puncak itu, grafik harus turun dan plot kehidupan mau tak mau akan disebut sebagai fase anti klimaks.... Hmmm, well, ini bukan generalisasi, hanya diskripsi rata-rata saja. Nyatanya memang ada juga manusia yang menemui takdirnya setelah umur 50an. Sebut saja Susan Boyle, pemenang British Got Talent 2009 silam. 

Sadar akan titik keberadaan ini, membuat saya tiba-tiba mengamati raga di depan cermin... Saya tak melihat banyak tanda yang membeda. Saya pun coba melangkah masuk ke dalam, menyusuri lorong-lorong jiwa yang masih gelap dan kotor. Hmmmm sama saja, saya juga masih mengalami hal-hal serupa, saat masih remaja dulu. Sedikit kekhawatiran datang, jangan-jangan pertumbuhan spiritual saya sangatlah lamban....Entahlah. Semoga walau lambat ia tak berhenti. 

Kini, sudah beberapa pagi, saat saya terbangun, telah ada seorang perempuan disisi saya. Sering saya memandangi baringnya, kemudian fikiran saya menjadi ingin berkelana jauh; serasa ingin berkuda ke negeri antah berantah, hanya untuk mencubit diri saya sendiri, bahwa saya tidak sedang bermimpi; saya kini harus pandai berkompromi tentang banyak hal dengan jiwa lain yang menempel di luar raga saya. Kembali saya tepuk pipi kanan dan kiri saya. saya bilang "ini bukan pacaran. Ini adalah sebuah episode kehidupan yang nyata adanya"     

Saya kadang sedih; karena merasa tak memiliki banyak persiapan untuk menghadapi fase terik ini. Terkadang bingung, saat pernikahan memaksa untuk harus terbuka; berbagi rahasia dan saling bercerita tentang kelam. Tapi dialah saya, sayalah dia. Ya, masing-masing memang keras kepala dan saya mulai menyadari bahwa belahan jiwa adalah dua jiwa, bukan satu jiwa dibelah dua. 
Jadi, saya harus berhenti memaksa.... Pernikahan adalah pengendalian diri untuk tidak memanjakan ego. Seperti halnya ibadah puasa yang juga merupakan simbol pengendalian diri, bahkan dari hal-hal yang seharusnya boleh dilakukan. 

Memang, dalam ajaran budaya dan agama, laki-laki biasanya ditunjuk sebagai imam sedangkan si wanita seharusnya patuh begitu saja. Tapi, ajaran itu hanya betul-betul menguntungkan ego saya. Saya sadar, bahwa dalam beberapa hal, saya tak ingin melihat hubungan kami sebagai "yang pria" dan "yang wanita"; siapa harus mengabdi pada siapa. Sederhana, saya hanya ingin menganggap istri saya sebagai jiwa dan tubuh yang (juga) merdeka dan saya tentu saja bukan seorang maharaja bijaksana.

Godaan Ramadhan kali ini bisa saya anggap "lebih besar" jika bersamanya. Bisa juga saya anggap "lebih ringan". Tergantung dari sudut mana saya berdiri. Yang pasti, pada saat terik menganga dan panas surya menyulut murka, saya selalu mencoba mendinginkan otak saya, dengan ingatan tentang sabda Nabi yang berbunyi "Khoirukum Khoirukum Liahlihi...." bahwa sebaik-baik kalian adalah mereka yang paling baik perlakuannya terhadap keluarganya. Kini, istri saya itu lah keluarga saya. Jadi, itu saja kiranya yang membimbing. Sambil saya berdoa, semoga alam tak pernah mengijinkan saya mencederai hatinya....
Baca Tafakkur Ramadhan 1433 H yang lainnya...