Sunday, July 22, 2012

Bom Norwegia dan Kuasa Wacana


Terdengar ganjil bahwa pemberitaan bom teror di Oslo Norwegia (22 Juli 2011) itu dibumbui sentimen keagamaan. Seakan desas desus bahwa pelaku bom adalah orang Kristen itu ingin mengobati ketersinggungan umat Islam yang selama ini dituding sebagai pembuat onar dan teror. Agaknya, dengan berita itu umat Islam diajak berkata “Terorisme bukan hanya kami biangnya, Kristen pun juga!”. Pemberitaan itu sepertinya ingin menghibur beberapa kalangan Muslim yang ‘tersinggung’ itu, namun sejatinya pemberitaan itu juga berarti mengukuhkan bahwa memang Islam adalah biang kerok dari huru-hara ini. Dunia kemudian menjadi terancam gara-gara para ‘teroris bersorban’. Kini, bukan hanya mereka yang bersorban, yang berkalung salib pun juga ikut-ikutan menjadi ancaman.


Sebuah berita sarat akan bias kepentingan. Ada wacana yang direproduksi dan diciptakan, sehingga pada gilirannya wacana tersebut menjadi struktur yang tanpa sadar dikonsumsi sebagai pengetahuan yang menguasa. Apanya yang salah? Ketidaksadaran (unconsiousness); bahwa sebuah berita hanyalah satu cara pandang, tidak lebih. Ketidaksadaran bahwa setiap statement memiliki subyek yang berkepentingan, ketidaksadaran bahwa sebuah pernyataan juga bisa memiliki implikasi yang panjang dan mungkin merugikan.


Tidak berpretensi apologetik ketika kita enggan mengait-ngaitkan agama dengan terorisme atau kekerasan. Toh, nyatanya memang ada kaitannya. Juga bukan ingin memisahkan bahwa “agama itu bagus, orangnya yang jahat” atau “Islamnya rahmat, tapi Muslimnya yang penjahat”, karena saya cara pikir seperti itu juga tidak menyelesaikan permasalahan. Namun, dengan sadar dan rendah hati kita semua perlu mengakui, bahwa memang ada doktrin-doktrin kehidupan (baik berbasis agama maupun kepercayaan) yang perlu dipertanyakan, dibenahi dan diperbarui, agar kehidupan ini disemangati oleh cinta kasih, kepedulian dan kasih sayang terhadap sesama. Agama cinta kasih seharusnya tak hanya jadi slogan. Agama sebagai rahmat tak selayaknya hanya menjadi romantisme semata. 


Bom di Norwegia tak seharusnya dipahami sebagai “bom balas dendam” dari yang Kristen kepada yang Islam, atau dari suatu kelompok keagamaan kepada kelompok kepercayaan tertentu, apalagi jika perilaku-perilaku kekerasan seperti itu kemudian kita citrakan sebagai identitas yang eksklusif. Apakah dunia ini harus juga menunggu pelaku bom yang beragama Hindu, Buddha, dan lain-lain, sehingga kita semua bisa berkata “semua agama ternyata teroris”? 


Dalam komentar-komentar Berita Bom di Oslo itu dipertanyakan apakah pelaku Bom itu benar-benar orang Kristen? Mungkin dia hanya seorang schiziophrenic (terganggu Jiwanya), namun kemudian dituduh-tuduhkan sebagai orang Kristen, Yahudi, seorang Nazi dan seterusnya.  Politik penuduhan (politics of accusation) inilah yang harus kita waspadai secara kritis, agar kita lebih sibuk mencari solusi-solusi yang lebih baik, dibanding bersibuk diri memperkeruh kedamaian dan saling melempar tudingan yang tak akan berujung.

No comments: