Wednesday, July 25, 2012

(5) Para Teroris itu Akan Masuk Sorga; "BENAR" atau "SALAH"?


Beberapa hari lalu saya sedang mengaji. Ada satu ayat yang entah sudah berapa ratus kali saya baca, sejak saya di pesantren dulu hingga sekarang... saya lewati berkali kali, namun kali ini ayat itu terdengar lebih nyaring di lubuk dan urat tanya saya. Ya memang begitulah, salah satu keistimewaan (anda boleh bilang ini mu'jizat) dari kitab suci, yang dibaca terus menerus, berkali kali; dari sampul depan ke belakang, begitu berulang-ulang. Kadang-kadang (tak selalu, lho ya) memang ada saja pesan khusus; teguran khusus; pertanyaan khusus; bahan refleksi khusus...yang muncul dan menjadi terasa "baru".

Gugusan ayat itu sebenarnya bercerita tentang peperangan antar umat manusia yang sejarahnya sudah terjadi sejak sejarah penciptaan manusia itu sendiri. Secara spesifik, Ayat yang saya maksud itu berbunyi "Walau Syaa'allahu maqtatalu walaakinnallahu yaf'alu maa Yuriid". Arinya (Dan jika Allah mau, mereka tidak akan saling memerangi satu sama lain, akan tetapi Allah selalu melakukan apa yang Ia kehendaki). 

***

Mendadak saya terjerembab pada pertanyaan paling dalam tentang "Kehendak Tuhan" dan itu menyeret saya jauh pada pertanyaan esensial yang lebih mendasar tentang "Siapa saya?" 

Baiklah, sedikit saya runut...pendidikan agama pada fase mula-mula saya adalah pendidikan tentang jati diri; bagaimana menjadi seorang Muslim yang identitasnya jelas; yang tegas; yang iman nya kukuh; yang tak mengajak "orang lain" bersekutu; yang tak mentolerir apapun yang berbeda dengan "kehendak-kehendak" Tuhan, sebagaimana waktu itu saya pahami. Kalau ingin ekstreme, saya bisa membahasakan fase pendidikan awal saya itu sebagai fase "kebencian". Ya, walau sebenarnya saya tak begitu suka menyebutnya demikian, karena seakan saya sudah menghakimi buruk fase itu, padahal saya insyafi bahwa yang terjadi sebenanya tidaklah demikian. Bagaimanapun, fakta yang saya terima adalah memang karena pendidikan pada fase itulah, saya dulu menjadi manusia yang kurang suka dengan orang yang saya idenfikasi sebagai "the others"; "yang liyan", yaitu orang-orang yang tidak seperti saya, siapapun itu. 

Bergeser, disaat umur saya mulai ranum mendewasa. Pola pendidikan tentang bagaimana menjadi seorang Muslim saya "mendadak dangdut"; berubah. Ia menjadi lentur dan lebih banyak toleran. Otak serta hati saya tanpa saya buat-buat tiba-tiba bersedia merangkul siapapun, tak peduli agamanya, kebangsaannya, aliran yang dipilihnya, perilaku, bahkan catatan kriminalnya! Saya merasa bahwa saya adalah bagian dari siapapun, tak peduli warna kulitnya, jenis kelaminnya, bahkan orientasi seksualnya. Ekstreme memang, dan saya menjadi sok filosofis, saya merasa bahwa keterciptaan saya adalah bagian dari seluruh kebaikan dan keburukan di dunia ini. ketika saya tercipta, saya otomatis masuk dalam sistem yang tak begitu tegas tentang kebaikan dan keburukan, kebenaran dan kesalahan; mana yang hitam dan mana yang putih. Karena itulah terkadang saya menyebut diri saya MUNAFIK; otak eklestis; pintar dioplomasi (bahasa lainnya licik); penjilat; tak punya ketegasan; tak punya keberpihakan yang jelas...dan seterusnya. 

Faktanya, apa yang disebut dalam dunia akademis saya sebagai "nalar postmodernisme" membuat saya bukan hanya tak menyukai keterbatasan positifistik yang menilai segala hal hanya sebagai dualisme yang hitam dan putih. Saya bahkan sekarang kurang menyukai warna-warna yang tegas. Saya saat ini lebih menyukai gradasi. Saya saat ini lebih mengagumi spektrum warna yang lebih kaya dan lebih sulit diinterpretasikan. 

Teman, bagaimanapun saya tak ingin menyebut fase kedua ini sebagai fase "pendidikan cinta kasih". Saya khawatir, jika apa yang saya ceritakan sebagai "DUA" fase ini betul-betul dipahami sebagai "DUA" yang kontras dan mudah diperbandingkan... Padahal, sekali lagi, apa yang terjadi adalah pembauran; nilai dan warna-warna yang berkelindan; bergradasi. Saya lebih menyukai jika dua fase yang saya ceritakan ini difahami sebagai SATU yang fluid; yang cair dan mengalir; saling bercampur dan sedikit lebih rumit untuk di masukkan dalam tabulasi dan pengkotakan-pengkotakan yang kaku. 

***
Kembali tentang ayat perang yang saya sebut berkesan tadi. Biar tidak lupa, terjkemahan ayat tadi saya tulis ulang. Bunyinya; "Dan jika Allah mau, mereka tidak akan saling memerangi satu sama lain, akan tetapi Allah selalu melakukan apa yang Ia kehendaki"

Saya dan mungkin kebanyakan dari rekan-rekan saya pernah bertanya tentang "mana yang benar?" dari semua tragedi berdarah antar umat manusia; antar hamba Tuhan yang sama-sama memegang kitab suci? Ya, sama. Pertanyaan semacam itu juga pernah terbesit di urat nalar saya. Tentang perang salib misalnya... Well, agak jadul kalau ngomongin perang yang berdarah antara umat Islam dan Kristen, atau Muslim palestina dengan Yahudi di Jerussalem, misalnya. 

Mungkin, lebih baik saya beri contoh yang lebih membumi tentang perang di sekitar kita sekarang. Tentang pertikaian yang tidak (begitu) berdarah; pertikaian intelektual keagamaan contohnya;.... perang antara FPI dengan JIL, antara Muslim garis keras dengan Muslim garis lunak [ala ayam presto :)], antara Muslim mayoritas dengan Muslim Ahmadiah; antara pengusung kebebasan beragama dengan para pembredel gereja; antara NU dengan "Muhammad NU" [hehehe]... Duh banyak, sebut saja semua konflik dan pertikaian di muka Bumi ini, yang anda tahu (saya takut tulisan ini jadi kepanjangan). Apapun konflik itu, boleh anda buat contoh. dari konflik besar hingga konflik pertemanan, konflik suami istri dan seterusnya. Karena sama saja, semua itu bisa kita sebut sebagai contoh PERTIKAIAN; contoh PEPERANGAN. 

Tapi untuk kali ini, saya tidak hendak mengajak anda bertanya dengan pertanyaan yang sama; pertanyaan klise tentang "siapa yang sebenarnya benar?" atau "siapa yang salah?". Karena kalau saya sebut, peperangan antara sahabat-sahabat Nabi misalnya, yang mengorbankan beratus-ratus nyawa; semuanya Muslim terhormat; Semuanya adalah umat yang disebut "khoirul quruun" (generasi terbaik); peperangan berdarah antara pasukan istri nabi yang terkasih (Aisyah) dan pasukan sepupu nabi (Ali bin Abi Thalib). Anda mau bilang apa??? 

Paling-paling ada dua opsi. Anda yang memilih untuk diam, pura-pura menutup mata dan gak berkomentar apa-apa, yang penting sahabat nabi adalah 'udul, baik dan masuk sorga. Maka saya segera bisa memastikan anda adalah SUNNY tulen. Atau, opsi kedua adalah anda menghujat salah satu kubu atau mencela dua-duanya.. Berarti spekulasi saya, anda mungkin adalah pengikut Syiah atau pengikut Khawarij. Hallow....sebentar! Tapi bukannya sekarang ini adalah tahun 2012? 1433 Hijriah? Ada apa dengan anda? Well, semoga saya tidak salah sebut tahun berapa sekarang!

Entah anda sepakat atau tidak, Yang jelas ayat bahwa "jika Tuhan mau tidak akan ada peperangan, tapi ia melakukan apa yang Ia mau" tadi seakan membuat pertanyaan "siapa benar-siapa salah itu sia-sia, gak ada gunanya. Toh, mau benar atau salah, Tuhan memang menghendaki peperangan itu terjadi, kemudian pertikaian itu terjadilah; perbedaan itu teriptalah. Eits, jangan sebut saya sekarang beraliran Jabbariah; aliran yang kurang bertanggung jawab karena menganggap semua yang terjadi di dunia ini seharusnya dilimpahkan pada perbuatan dan kehendak Tuhan. Bukan..., tapi cobalah baca lagi ayat ini dan rasakan, bahwa memang benar, seandainya Tuhan berkehendak, apa sih susahnya bagi Dia untuk menjadikan kita seragam; ummatan wahidah... tapi kan Tuhan inginkan kita berbeda. Sialnya di ayat tadi jelas-jelas Tuhan lah yang inginkan peperangan. Dengan bahasa gaul ibukota Tuhan berkata "semau-mau gue dong". 

Lalu kita mau bilang apa sekarang? Teman, Ini bukan ekspresi dari keputusasaan... Refleksi ini (semoga) bisa menawarkan satu cara pandang yang lain tentang bagaimana kita melihat perbedaan dan pertikaian

Pada Bulan Ramadhan ini, disamping saya harus bersusah payah membangkitkan gairah saya menyelesaikan disertasi, saya juga berbuat banyak hal. Saya masih sempat mengurus niatan saya untuk mengkhatamkan al-Quran; mengkhatamkan serial-serial film Barat dan Korea bersama istri; menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah dan kantor saya; berusaha mengisi blog dan halaman-halaman facebook. dan....satu lagi, saya juga sedang menikmati novel dan buku-buku karya orang-orang yang saya kagumi. Saat ini, saya hampir menghabiskan dua buku Paulo Coelho, sastrawan asal Brazil yang memperoleh penghargaan sastra kelas dunia. Dua bukunya berjudul "Seperti Sungai yang Mengalir" dan "sang alkemis". Buku yang saya sebut terakhir ini sudah pernah saya hisap manisnya di tahun 2003, di Cairo. kali itu saya pinjam bukunya dari seorang teman. Kali ini, saya punya sendiri, dan tiba-tiba saya rindu untuk membacanya ulang. 

Benar saja, pada tubuh dan jiwa saya yang sibuk itu, terjadi semacam sinkronisasi atas apa yang saya lakukan. Saat membaca ayat perang itu beberapa hari silam, tanpa sadar saya juga terperangkap dengan pesona kalimat Paulo Coelho, yang mengatakan "Terkadang, ada perang yang berlangsung sangat lama. Itu bukan perang antara yang haqq dan yang Bathil; bukan antara yang salah dan yang benar... itu adalah perang untuk keseimbangan dunia, dimana Tuhan sama-sama berpihak kepada kedua kubu yang bertikai.."

Ya, kata-kata Coelho ini seperti membantu saya menafsirkan ayat yang "paling semena-mena" diatas; yang menyatakan bahwa "andai Tuhan mau, tidak akan ada peperangan, namun IA mau peperangan itu terjadi". Saya jadi membayangkan para teroris yang kita kecam kejahatannya. Biasanya saya benci mereka, tapi kali ini saya ingin merasakan gairah sukma nya, pemahamannya akan kematian demi membela yang benar; memperjuangkan cinta yang benar-benar diimaninya. Teman, sekali lagi saya ingin tegaskan, ini bukan tentang "yang benar" dan "yang salah". Jadi jangan tuduh saya membela teroris!.... ini hanya sebatas empati dan rasa yang mendera. Daripada saya harus menafsirkan TUHAN sebagai sosok yang "plin-plan", nanti saya lebih khawatir lagi dituduh heretic. Tapi Faktanya benar lho, bahwa sangat mudah mencari firman Tuhan yang mendukung perdamaian, semudah kita mencari firman-Nya yang menyuruh kita menghunuskan pedang dan terlibat dalam peperangan itu. jadi Tuhan ini maunya apa?

saya tiba-tiba berdendang: 

"Oh Tuhan, saya membayangkan alangkah kecewa dan patah hatinya para teroris itu ketika nanti di akhirat Engkau tak memberinya sorga. Tak memberi sedikitpun pembelaan atas perbuatan mereka yang (konon) dilakukan karena cintanya kepada-Mu... Tapi Tuhan, saya juga membayangkan, alangkah kecewa hati hamba-hamba Mu yang lain, yang menjadi korban atau yang mengecam para teroris itu jika Engkau memberi mereka apa yang mereka mau. Karena yang dibela orang-orang itu adalah nafas orang-orang tak bersalah; korban kekerasan. Yang mereka bela adalah kesucian dan kehormatan nyawa pemberian Mu yang dihina dan disia-siakan..."                                    

 Sahabat, Entah bagaimana dunia ini sebaiknya bekerja?... Tapi itu bukan pertanyaan yang pas untuk kita diskusikan. Yang lebih masuk akal kita bicarakan adalah "bagaimana kita ini sebaiknya?". Yang jelas, Pengalaman intelektual dan spiritual ini sudah melampaui tabel-tabel yang "salah" dan "benar", hitam dan putih, sorga dan neraka. Ternyata, di dunia ini yang terjadi bukan hanya tentang perang antara kebaikan dan keburukan saja. perlu kita tahu dan kita sadari bahwa yang juga terjadi adalah perang antara kebaikan dengan kebaikan; perang antara pihak yang sama-sama benar, juga perang antara pihak yang sama-sama punyai salah. 

Jadi teman, jangan lagi heran jika kita sudah merasa benar tetapi kalah, sudah berdoa tapi tak dikabulkan, tak diberi kemenangan. karena, ternyata Tuhan tak hanya berpihak pada kita. Ia juga berpihak pada kebenaran yang lain; yang (mungkin) tidak kita sangka-sangka... Sadarilah DIA bukan hanya Tuhan kita, DIA adalah Tuhan bagi semuanya. Dan asyiknya lagi DIA, memang berbuat semaunya......

Madyan: Tafakkur Ramadhan 1433 hari ke 5
Baca Tafakkur Ramadhan 1433 H yang lainnya...  

No comments: