Tuesday, July 24, 2012

(4) HAPPY ENDINGS, NO MORE....


Ramadhan; adalah bulan saat kita mencari kesibukan-kesibukan ringan untuk mengisi waktu, melupakan waktu, juga memanfaatkan waktu sekaligus. Bulan ini memang hebat. Kita bahkan bisa membuang waktu sekaligus memanfaatkannya. Sebut saja promosi lazim bulan Ramadhan yang (konon) bersumber dari ucapan Nabi saw. Beliau mengatakan bahwa "Naum al-Shoim 'Ibadah" (tidurnya orang puasa adalah ibadah). .. Hmmm, seriously, bukankah ini keren? Tidur yang biasanya identik dengan perbuatan pemalas, pada bulan suci ini menjadi opsi yang memiliki nilai. Marhaban ya Ramadhan :)

Saya tak ingin bicara tentang tidur. Kali ini saya ingin membocorkan satu rahasia tentang istri saya dan bagaimana ia menghabiskan waktunya di bulan suci ini. Apa yang dilakukan istri saya bukan (hanya) tidur, namun ia juga gemar menghabiskan waktu sambil menonton serial KOREA... Hehehe. Well, di satu sisi saya juga bersyukur jika itu pilihannya, karena berarti ia adalah typical Ibu rumah tangga setia yang ndak akan keluyuran kemana-mana. Hehehe…Tapi menariknya, ini juga bukan tentang buka kartu (rahasia) istri saya. Ini justru tentang "rahasia" saya sendiri. Ssst... (off the record, dan tolong ini sangat di rahasiakan). Bahwa cara saya menghabiskan waktu di Bulan suci ini adalah dengan menemani istri saya, mengkhatamkan kepingan-kepingan serial korea nya. Hahahaha.

Well, setidaknya saya tak pernah menonton dari awal, namun karena saya melihat istri yang mengalami ekstase spiritual melalui kepingan-kepingan DVD nya itu,  saya pun tak tahan. Biasanya, di tengah-tengah cerita, sembari sok jantan saya bertanya tentang plot-plot dramanya dengan nada sinis, namun akhirnya istri saya selalu tersenyum, saat menyadari suaminya juga turut duduk manis; menyangga dagu; larut hanyut menanti kan keping-keping DVD itu berputar, hingga berisik Ibu kota tak lagi terdengar lagi. Duh….^_^
Ampun...Ramadhan,. Baiklah, saya harus membayar rasa "bersalah" dan menebus ini dengan sebuah apologi bahwa "walaupun saya nonton KOREA, namun di hari ke 4 Ramadhan ini, tadarus dan khataman Quran saya sudah sampai di juz 10; sepertiga dari kitab suci" (#sambil pameran amal disini wkwkwk). Hehehe

***
Teman, tentang DVD serial itu bukannya saya benar-benar sok jantan dan gentleman. Namun saya ingin merefleksikannya di sini; Bahwa sebenarnya, saya memang tak begitu menyukai candu-candu yang membuat urat leher, mata, dan urat fikir saya "kejang" penuh tanda tanya. Saya, sudah jera dengan salah satu serial TV Barat berjudul “PRISON BREAK" (2007-2009) yang waktu itu sampai menyita lebih dari separuh hidup saya sehari-hari. Saya, betul-betul tak bisa berhenti. Jujur, sampai menjelang akhir-akhir ini, saya bahkan tak pernah menyalakan TV dan memilih untuk menikmati serial kehidupan saya sendiri.  

Ya, saya sebenarnya tak suka film-film atau buku cerita berdurasi panjang. Tapi alasan saya bukan karena benar-benar tak menyukai cerita yang bertele-tele itu. Alasan "kebencian" saya adalah keengganan saya untuk menjadi budak dari candu saya sendiri. Serial-serial itu seperti air garam: semakin diminum, semakin dahaga.

Anehnya. Saya bisa saja berteori panjang tentang “kebencian” saya terhadap film-film serial dan sejenisnya. Namun fakta menceritakan fakta lain, bahwa pada hari Minggu kemarin, di terik siang yang sangat menganga, pukul 12 an, kondisi puasa, saya bersama istri rela berpanas-panas mencari DVD serial di pasar Glodog –Jakarta Kota. Saya merasa sukacita, walau harus berjemur panas, bersembur asap hitam jalanan.
Huft, mungkin... candu akan serial, sinetron, telenovela, komik dan bahkan semua cerita  itu terdengar biasa dan sederhana, namun bagi saya, TIDAK. Saya betul-betul tak habis piker mempertanyakan kejanggalan pada diri saya yang membenci “itu” namun tak bisa menepis “itu”. Saya "Benci" tapi saya  "suka". Bleh…!?

Fakta ini tak membuat saya senang. Saya ingin menelisik lebih dalam tentang diri saya, kaitannya dengan pertumbuhan jiwa dan refleksi Ramadhan kali ini. Menariknya, saya baru menemukan jawaban subuh tadi, sehabis shalat berjamaah bersama istri saya. Bahwa ternyata, yang membelenggu dan memasung  dari cerita serial itu adalah pertanyaan tentang "ENDING". Pertanyaan tentang bagaimana akhir ceritanya? Rasa haus dan penasaran akan “ending” itu lah yang candu yang sebenarnya ingin garis bawahi.

Menarik, karena saya juga menggemari film-film yang ceritanya di luar mainstream komersil (kebanyakan produksi  Hollywood-Bollywood), yang akhir ceritanya selalu bisa dipastikan dengan titik "Clear Ending" (ending yang jelas) atau bahkan sering nya "Happy Ending" (berakhir bahagia). Saya menggemari film-film di luar mainstream yang tidak bisa ditebak akhir ceritanya.

Dulu, saya memang sempat marah karena kebanyakan film-film seperti itu ceritanya menggantung tak ada akhiran yang jelas. Namun, semakin saya mengerti, saya juga menjadi menyukai film-film jenis itu. Faktanya, film-film itu tak memenjara sehingga mengharuskan saya menonton sampai akhir... Saya bisa menikmati setiap adegannya dan saya bisa berhenti kapan pun, tanpa harus merasa berhutang. Toh ada kenikmatan lain saat imajinasi saya dibebaskan untuk melanjutkan cerita itu sendiri. Dan, satu lagi, bukankah begitu itu sebenarnya hidup kita ini; dunia ini? Yang sering terjadi adalah akhiran yang menggantung; menyisakan spekulasi dan setumpuk tanda tanya? Ya ya ya, Mengapa kita menjadi harus terobsesi dengan ENDINGS? atau lebih tepatnya, Happy Endings?      

Refleksi saya jadi melebar, bahwa jangan-jangan fikiran bawah sadar kita juga telah tersetting dengan sesuatu yang disebut "awalan" dan "akhiran";"pembuka cerita" dan "penutupnya". Kita menjadi sangat terobsesi degan kehidupan ini karena konstruksi fikir itu telah begitu kuat mendarah daging dalam sukma yang paling dasar. Kita kemudian menjadi terbelenggu dengan "cerita" kita; dengan "dunia" kita. Bukankah kita memang dididik begitu sejak kecil...? menginginkan ending yang bahagia di ahir nanti; masuk sorga? Gambaran tentang sungai jernih yang mengalir di bawah pembaringan-pembaringan empuk; terbuat dari bulu angsa, selimut sutera lengkap dengan sejumlah bidadari muda; membawa cawan-cawan emas; siap memabukkan dahaga dan gairah setiap "pria". Betul khan, itu akhiran yang kebanyakan kita inginkan!?

Apa yang saya fikirkan ini mungkin tidak begitu sederhana; karena saya tidak bicara tentang apa yang memang sudah seharusnya, namu saya sedikit mencurigai, bahwa (mungkin) pola ketertundukan dan penghambaan kita kepada apa yang kita sebut TUHAN selama ini, semua itu hanya tentang pemenuhan nafsu kita atas "Ending". Jujur saja, bahwa yang memotivasi ibadah dan perilaku baik kita selama ini tak begitu jauh dari arus nalar pencerita yang menyutradarai film-film komersil ala Hollywood itu; yang selalu berhasil membujuk penggemarnya dengan "janji" dan "harapan" akan ENDINGS.

Ini tiba-tiba menjadi menggelisahkan saya, karena jujur saya menjadi curiga, bahwa jangan-jangan ekspektasi kita tentang ending akhirat yang bertemakan sorga itu telah tanpa kita sadari membelenggu kebebasan spiritualitas kita selama ini...

Ya, "think otherwise", katanya…, seakan saya ingin membalik nalar Muslim kebanyakan, bahwa justru harapan kita tentang ending yang indah di akhirat itulah yang menyebabkan kita begitu "melekat" dengan dunia ini. Persis seperti kemelekatan dan candu saya atas cerita-cerita bersambung dalam kepingan-kepingan DVD serial itu.

Saya bisa saja berulang-ulang mengatakan bahwa saya tak suka cerita berseri, atau bilang bahwa saya membenci dunia serta pentingnya menghindari kemelekatan dunia, namun yang terjadi adalah bahwa saya terus saja menonton serial-serial itu walau tak begitu menyukai ceritanya; bahwa karena ada ekspetasi tertentu tentang akhirat yang menjadi ujung dari cerita saya di dunia, maka saya-secara tak sadar- "membenci" dunia saya, dan saya kemudian menjadi melekat dalam kebencian itu. Padahal jika lebih arif, "kebencian kita atas cerita berseri" atau "kebencian kita atas dunia" itu sejatinya adalah bentuk lain dari rasa "cinta".

Pernah dengar kata-kata bijak berbunyi "BENCI itu CINTA"? Kalau belum, catatlah kata-kata itu, karena saya sendiri ingin membuka satu rahasia lagi di sini. bahwa sebenarnya, lawan kata dari CINTA bukanlah BENCI. Karena saat kita membenci, akal dan hati kita masih terikat dan teringat. Sahabat, lawan kata sebenarnya dari kata CINTA adalah "ketidakpedulian", Ignorance.

Jika hubungan percintaan kita putus misalnya, kemudian mantan pacar kita sangat membenci kita, maka sebenarnya masih ada harapan yang sangat besar bahwa dia akan kembali mencintai kita; masih ada yang melekat dan cinta kita itu sebetulnya belumlah berakhir. Namun catatlah, jika mantan pacar kita sudah "tidak peduli" lagi, maka saat itu adalah “Ending” sebenarnya dari yang kita sebut cinta atau asmara.

Kemelekatan kita pada akhirat (Endings) itulah yang menyebabkan kita "membenci" dunia. Namun hakikatnya, “kebencian” kita pada dunia itu adalah siluman atau perwujudan lain dari “cinta”. sepertihalnya "kebencian" kita pada serial, sinetron atau cerita komik-komik bersambung itu. Kerap kali kita menegaskan kebencian kita dengan menilai bahwa ceritanya "bertele-tele" dan menjemukan. Namun, sebenarnya rasa benci itulah yang tanpa sadar telah membuat kita duduk menonton dan menunggu endingnya. Kita menjadi terbelenggu dan tak berkutik, terpasung dengan sihir para sutradara; pemilik cerita.

Well, ini sudah terlalu panjang. Saat ini saya hanya sedang memikirkan sosok Rabi’ah. Seorang sufi wanita yang konon mengabdi pada Tuhan, bukan krena ia mengharap sorga atau takut neraka... Ia beribadah karena cinta, begitu saja. Saya juga sedang memikirkan sosok Buddha Gotama yang mengajarkan "Zuhud" dengan menanggalkan kemelekatannya pada dunia; Gotama yang dulu pernah bercerita tentang NIRWANA; bukan sebutan bagi dataran indah dengan sungai yang mengalir. NIRWANA yang ia ceritakan adalah pencapaian atas hilangnya semua hasrat; pudarnya segala bentuk keinginan, termasuk keinginan atas yang kita sebut-sebut dengan istilah "happy endings".

Baca Tafakkur Ramadhan 1433 H yang lainnya...     
                    


No comments: