Sunday, July 22, 2012

(2) FASE PALING TERIK


Sedikit merasa ganjil... karena rasanya perjalanan waktu melibas hidup saya begitu cepat, hingga tiba-tiba tersadar, saya sudah berada dalam siklus kehidupan yang paling tinggi dan terik; siklus keterciptaan yang dipastikan akan segera turun, tergelincir dan meredup, menuju senja. 
Ini Ramadhan. Membincangkan terik sangatlah tepat untuk mengilustrasikan satu waktu yang (biasanya) sangat berat. Ia adalah saat dahaga mulai mencekik, hingga seteguk air segar selalu menjadi godaan paling menggairahkan, bahkan jika dibanding seribu bidadari. 

Ya, siklus terik itu adalah metafor yang ingin saya gunakan untuk menggambarkan "masa dewasa", masa yang saya simbolkan secara pribadi dengan "pernikahan"; dimana saya menjadi memiliki tanggungjawab yang lebih, sebagai suami; sebagai kepala keluarga. Saya bilang, ini sangat pribadi... karena sama sekali saya tidak ingin mengatakan bahwa yang belum menikah belum dewasa. Bukan, jadi jangan salah faham. 
Fase pernikahan saya itu yang ingin saya simbolkan sebagai masa paling terik. Toh, kalaupun saya tidak membicarakan pernikahan, saya pun tetap tak bisa berkelit dari fakta, bahwa memang umur saya sedang berada pada terik yang paling puncak, dari rentang usia manusia standar yang biasa kita perkirakan; Usia 30-40 an... 

Benar, konon pada usia itulah manusia seharusnya bisa menemukan misi paling inti dari legenda kehidupan dan tujuan keterciptaannya. Muhammad saw diangkat sebagai Rasul juga pada umur sekian. Setidaknya batas-batasa umur ini mewakili ekspektasi sosial, yang terdengar di sekitar, atau diredam dalam angan-angan bawah sadar. Setelah masa paling puncak itu, grafik harus turun dan plot kehidupan mau tak mau akan disebut sebagai fase anti klimaks.... Hmmm, well, ini bukan generalisasi, hanya diskripsi rata-rata saja. Nyatanya memang ada juga manusia yang menemui takdirnya setelah umur 50an. Sebut saja Susan Boyle, pemenang British Got Talent 2009 silam. 

Sadar akan titik keberadaan ini, membuat saya tiba-tiba mengamati raga di depan cermin... Saya tak melihat banyak tanda yang membeda. Saya pun coba melangkah masuk ke dalam, menyusuri lorong-lorong jiwa yang masih gelap dan kotor. Hmmmm sama saja, saya juga masih mengalami hal-hal serupa, saat masih remaja dulu. Sedikit kekhawatiran datang, jangan-jangan pertumbuhan spiritual saya sangatlah lamban....Entahlah. Semoga walau lambat ia tak berhenti. 

Kini, sudah beberapa pagi, saat saya terbangun, telah ada seorang perempuan disisi saya. Sering saya memandangi baringnya, kemudian fikiran saya menjadi ingin berkelana jauh; serasa ingin berkuda ke negeri antah berantah, hanya untuk mencubit diri saya sendiri, bahwa saya tidak sedang bermimpi; saya kini harus pandai berkompromi tentang banyak hal dengan jiwa lain yang menempel di luar raga saya. Kembali saya tepuk pipi kanan dan kiri saya. saya bilang "ini bukan pacaran. Ini adalah sebuah episode kehidupan yang nyata adanya"     

Saya kadang sedih; karena merasa tak memiliki banyak persiapan untuk menghadapi fase terik ini. Terkadang bingung, saat pernikahan memaksa untuk harus terbuka; berbagi rahasia dan saling bercerita tentang kelam. Tapi dialah saya, sayalah dia. Ya, masing-masing memang keras kepala dan saya mulai menyadari bahwa belahan jiwa adalah dua jiwa, bukan satu jiwa dibelah dua. 
Jadi, saya harus berhenti memaksa.... Pernikahan adalah pengendalian diri untuk tidak memanjakan ego. Seperti halnya ibadah puasa yang juga merupakan simbol pengendalian diri, bahkan dari hal-hal yang seharusnya boleh dilakukan. 

Memang, dalam ajaran budaya dan agama, laki-laki biasanya ditunjuk sebagai imam sedangkan si wanita seharusnya patuh begitu saja. Tapi, ajaran itu hanya betul-betul menguntungkan ego saya. Saya sadar, bahwa dalam beberapa hal, saya tak ingin melihat hubungan kami sebagai "yang pria" dan "yang wanita"; siapa harus mengabdi pada siapa. Sederhana, saya hanya ingin menganggap istri saya sebagai jiwa dan tubuh yang (juga) merdeka dan saya tentu saja bukan seorang maharaja bijaksana.

Godaan Ramadhan kali ini bisa saya anggap "lebih besar" jika bersamanya. Bisa juga saya anggap "lebih ringan". Tergantung dari sudut mana saya berdiri. Yang pasti, pada saat terik menganga dan panas surya menyulut murka, saya selalu mencoba mendinginkan otak saya, dengan ingatan tentang sabda Nabi yang berbunyi "Khoirukum Khoirukum Liahlihi...." bahwa sebaik-baik kalian adalah mereka yang paling baik perlakuannya terhadap keluarganya. Kini, istri saya itu lah keluarga saya. Jadi, itu saja kiranya yang membimbing. Sambil saya berdoa, semoga alam tak pernah mengijinkan saya mencederai hatinya....
Baca Tafakkur Ramadhan 1433 H yang lainnya...  




No comments: