Tuesday, August 7, 2012

(16) "Seharusnya TUHAN yang mempertanyakan, bukan anda..."

Begini...,


Tadi, salah seorang teman baik bertanya kepada saya tentang "Apa sebenarnya motif saya meng-upload tulisan-tulisan di Facebook dan Blog"? 
lebih jauh dia bertanya apakah saya "ikhlas" membuat semua tulisan itu, ataukah saya sebenarnya inginkan komen atau like berisi pujian dan penghargaan, karena saya telah menunjukkan kehebatan melalui tulisan-tulisan yang banyak?


Hmmmm... GELEDEK Duorr! Saya kemarin sempat terdiam sesaat dan sedikit merasa tersentak dengan pertanyaan teman saya yang sedemikian vulgar. Tadinya, karena kesopanan tingkat tinggi yang terkandung dalam pertanyaan teman saya itu. Saya ingin menjawab demikian "Tentang keikhlasan saya, seharusnya TUHAN yang mempertanyakannya, Bukan anda..."Namun jawaban begitu tak jadi saya utarakan. Tiba-tiba saya ingin tersenyum dan berkata kepada teman saya itu 

"Mas, semua juga tahu saya bukan Mario Teguh yang berprofesi sebagai motivator. Saya bukan dia yang mendapatkan bayaran, pengakuan serta penghargaan karena motivasi-motivasinya yang SUPER. Saya hanya menulis status-status FB yang "sok bijak" itu juga refleksi-refleksi seperti ini bukan agar orang lain membayar atau menghargai saya. Sebenarnya, saya melakukan itu karena justru saya ingin "membayar" dan menghargai diri saya sendiri.... 

Sambil terus tersenyum saya kemarin sempat berbisik... 


"Begini lho mas, sebenarnya kalau kita hebat, kita tak perlu menunjukkan kehebatan kita  kepada orang lain. Karena jika "orang lain" itu adalah pengagum yang menyukai kita, sungguh kita tak perlu repot-repot lagi tunjukkan kalau kita hebat, mereka memang dari awal sudah kagum dan suka. 


dan jika "orang lain" itu adalah musuh atau teman yang memang tak menyukai kita, pertanyaan saya "buat apa juga kita repot-repot menunjukkan kehebatan? Bukankah mereka tak menyukai kita bahkan tak sudi melihat kita ada? Nah, jika demikian, mengapa kita harus menjadi sapi dungu; mengira mereka berminat meluangkan waktunya untuk membaca, apalagi menghargai karya-karya kita; tulisan-tulisan kita? 
Teman saya itu kemudian diam. Harapan saya, dia termasuk orang-orang yang menyukai saya sehingga ia pun membaca catatan ini. Jika bukan, juga tak apa-apa. Toh. sebentar lagi lebaran.. Loh? apa hubungannya? :)
Jadi teman, tafakkur Ramadhan hari ini alurnya mundur. Ini sebenarnya adalah respon dari GELEDEK yang kemarin. 


Memang, tiada yang bisa mengalahkan ketulusan seseorang kecuali saat orang itu terganggu dengan ketulusannya sendiri. Dan memang, dalam petualangan spiritual mencari diri, kita harus terus waspada dengan jebakan demi jebakan yang licin menggelincirkan. Seperti 'KERENDAHAN HATI' ... ia licik... karena saat kita merasa telah memilikinya, saat itu pula kita kehilangannya.           

Hmmm...sudahlah, kepanjangan.... Yang pasti, di pagi buta tadi, setelah santap sahur bersama istri, saya masih terngiang-ngiang tentang pertanyaan teman saya ini. Tapi kemudian hawa segar masuk sambil mengingatkan saya tentang pepatah Arab yang berbunyi "Ridhonnas.. Ghoyatun Laa Tudrok". bahwa kita tidak bisa menginginkan semua orang untuk menyukai kita.. Jadi ya, enjoy aja... biar kafilah saya tetap melaju walau seribu anjing menggonggong saling bersahutan....biar bising jakarta mulai datang mengganggu, asalkan saya dan istri saling berpelukan....    


(Tafakkur Ramadhan hari ke 16) 




Sunday, August 5, 2012

(15) Pilih "NGAMBEK" atau "MARAH"?

Konon biasa, dalam hubungan suami istri atau persahabatan, jika ada percikan-percikan kecil. Satu ulah menyinggung relung; Satu kata sakiti hati. Pertengkaran-pertengkaran itu butuh waktu Tiga detik, Tiga jam, Tiga hari, Tiga Minggu, Tiga Bulan.... Tiga Tahun. Wah, stop, itu adalah waktu maksimal. Jika melampaui itu, maka yang saya sebut sebagai percikan-percikan kecil itu barangkali adalah kebakaran besar; berarti masalahnya adalah sangat serius. kekasih dinyatakan putus, sahabat dikatakan tamat. Hubungan suami istri? hmmm mungkin sudah masuk dalam kategori perceraian bersyarat "talak ta'liq"; dimana suami sudah tak memenuhi kewajibannya untuk menafkahi, atau istri yang telah berpaling dan melepas hati. Apapun itu namanya..... pertengkaran itu bisa dan biasa terjadi.

Tapi Alhamdulillah, saya dan istri telah sepakat untuk tidak membenarkan ungkapan kebanyakan orang bahwa "pertengkaran adalah bumbu rumah tangga". Orang tua kami, juga mungkin kebanyakan orang tua teman-teman kami selalu berpesan tentang satu hal, bahwa dalam berumahtangga "selalulah rukun... Jangan bertengkar"... hmmm itu pesan yang lumrah dan wajar dari dan untuk siapa saja. Tapi ada sedikit tambahan dari ayah saya waktu itu. Beliau berkata "Jadikan rumahmu sorga... di rumah itu untuk hidup rukun. Jadi kalau mau bertengkar usahakan di luar rumah..." Hmmm yang itu mungkin sedikit spesial. Entahlah, doa kami semoga masing-masing dari kami selalu diberikan hati yang lapang untuk tak mengawali pertengkaran. masing-masing kami berdoa dan berusaha untuk tak saling menyakiti dan saling mengerti...Jika yang satu menjadi api, yang lainnya menjadi air (Well, semoga airnya cukup heheheh)

Sudah hampir empat bulan bahtera rumah tangga kami menyisir lautan. Beberapa kali memang api tersulut. Ucapan Istri yang menyinggung suami atau perilaku suami yang menyakiti istri... Ya, itu bukan sesuatu yang benar-benar bermasalah, tapi begitulah memang adanya fitrah saat dua jiwa yang disatukan. Terkadang hanya karena yang satu menyukai merah, yang lain menyukai hijau. atau yang satu inginkan bentuk kotak, sedang yang lain inginkan bentuk yang bulat, yang disebut konflik bisa terjadi. Duh, itu biasa....

Dan petang tadi, di sela-sela gurauan kami, terjadi suatu hal pada lubuk saya dan saya menjadi "DIAM" beberapa saat. Istri saya langsung menangkap sinyal itu dan bertanya "Mas, ngambek?"

NGAMBEK! Ya, istilah itu penuh intrik dan bias gender. Di satu sisi saya tak menyukainya karena ada kesan bahwa perilaku "ngambek" itu adalah perilaku yang feminin dan manja. dalam konstruksi masyarakat kita, istilah "ngambek" itu memiliki makna simbolis sebagai sikap yang kurang dewasa dan kurang ksatria....satu lagi, istilah itu terdengar alay.... tapi itu tak menepis keheranan saya bahwa sebagian orang lebih suka jika emosi itu diluapkan begitu saja. Marah sekalian....! jangan ngambek! Huft, Entah mana yang benar...?

Saya tiba-tiba tergoda untuk merenungkan istilah "ngambek" ini tadi.... dan, benar saja, saya menemukan satu pelajaran lagi di bulan suci. bahwa ternyata "Ngambek sesaat" itu tak selalu identik dengan kesan alay dan manja. Saya merasakan sendiri bahwa terkadang "Ngambek" itu ternyata jauh lebih baik daripada "Marah". karena sebenarnya, Ngambek adalah emosi yang tertahan, amarah yang tak dikeluarkan. "Itu baik atau buruk? pertanyaan saya"

yang jelas ada firman Tuhan  yang memuji orang-orang yang bisa meredam amarah nya dengan istilah "al-kaadzimin al-ghoidh" , yaitu, orang-orang yang mampu meredam amarahnya. Menurut saya, sebutan itu juga bisa diartikan dengan "Ngambek yang positif', karena saat diam dalam posisi ngambek itu, yang sebenarnya terjadi adalah kita memberi waktu yang cukup untuk berfikir lebih sehat tentang amarah dan emosi kita sendiri.

Saya membayangkan, bahwa andaikan saat emosi saya tersulut tadi tiba-tiba amarah saya membuncah keluar begitu saja, pasti saya akan menjelma dalam wujud yang buruk rupa dan saya pasti akan menyesalinya saat ini. Namun, dengan ngambek sesaat tadi, saya ternyata memiliki waktu yang cukup untuk melihat banyak perspektif tentang perasaan saya sendiri.
Pada fase ngambek sesaat tadi, saya melihat bahwa apa yang dilakukan atau dikatakan istri saya tadi bukanlah kesalahan. Berbeda dengan penilaian saya pada saat emosi saya membuncah di awal-awal. Saya, dengan ngambek sesaat itu menjadi leluasa berpikir sampai saya mendapatkan waktu yang cukup untuk mengandaikan diri saya yang berada di posisi istri. Saat itulah saya merasa bahwa sekonyong-konyong istri saya hanya melakukan hal yang wajar-wajar saja. Dia, sama sekali tidak memiliki niat menyakiti apalagi menyinggung perasaan suaminya. Waduh....ngambek sesaat itu, sungguh luar biasa bagi saya.

Tiga menit berlalu dan saya merasa lega. Istilah "Ngambek" yang mula-mula tak saya sukai itu tiba-tiba menjadi positif dan serasa membantu saya bertumbuh lebih bijaksana. Saya berfikir bahwa meredam amarah itu bukan menyimpan dendam. Meredam amarah atau 'ngambek" itu sebenarnya adalah memberikan waktu yang cukup bagi diri sendiri untuk menimbang kembali kemarahan. Dan disinilah saya berujar, "maha suci firman Tuhan yang memuji mereka yang mencoba menahan amarahnya...."

Sama, Rasulullah saw dulu pernah berwasiat "Jangan marah"...ketika ditanya tentang wasiat apa lagi wahai Rasul? beliau menjawab lagi "Jangan marah".. ketika di tanya lagi, tetap saja wasiatnya, "jangan marah"! Tiga kali.

Karena, amarah itu seperti percikan api... jika kita dukung percikan itu dengan meniupnya, maka percikan itu akan membesar dan ia tak lagi menjadi percikan, ia bisa benar-benar menjadi api yang menjilat-jilat lantas menghanguskan segala yang baik....

Kita ini manusia yang hidup, tentu saja emosi dan perasaan kita juga hidup...jadi wajar jika emosi itu sewaktu-waktu tersulut. Namun ketahui, bahwa yang memercik biarlah memercik...tak perlu ia menjadi berkobar. Jangan mudah marah, karena kemarahan hanya menunjukkan kelemahan dan keburukan kita. Tak ada yang lain!

hari ini mengajarkan pada saya, bahwa jika emosi tersulut, ngambek lah sementara, karena itu menurut saya sangat positif. Tak perlu merasa buruk dengan istilah itu... Gunakan masa ngambek itu untuk melihat apa yang belum terlihat, karena Tuhan selalu membantu hamba-hambanya yang ingin menjadi manusia yang lebih baik dan lebih sabar.

Ramdahan ini sudah mengajari saya dengan beberapa hal tentang pengendalian diri. Dan satu kata ini, "NGAMBEK", juga patut saya abadikan sebagai refleksi di bulan suci ini. bagaimanapun, satu kata ini telah mengajari satu jurus penting; yaitu tentang bagaimana saya mengelola emosi.       


(Madyan; Tafakkur Ramadhan hari ke 15)

(13) Satu Hari Merasakan PAHIT

Seharian ini terasa lemah dan lelah... mungkin fikiran juga sedang alami gulana berlapis-lapis. Bagaimanapun, saya harus menikmati semua momentum kehidupan dengan rasa syukur. Saya tahu bahwa saya sedang diuji. Namun, siapa yang tidak? semua mahluk yang bernafas sedang mengerjakan ujiannya sendiri-sendiri. Jadi saya tidak boleh merasa hebat dan spesial. Ya, betapapun rasa yang mendera, saya akan berusaha untuk tetap bersyukur dan memuji keagungan-Nya. Saya tahu, bahwa saya perlu bersyukur bukan hanya karena saya mendapat nikmat-nikmat besar. Saya bersyukur karena Tuhan memang telah anugerahkan banyak hal sampai saat ini. Saya memuji Tuhan bukan karena ia telah menghadiahi saya sesuatu, namun saya ingin memuji-Nya karena Ia memang layak mendapatkannya.

Gundah gulana dan perasaan berat atas kehidupan itu sejatinya adalah kelalaian saya saja sehingga merasa nikmat-nikmat itu "kecil" bahkan tak terlihat. Padahal sebenarnya apa yang luput dari perasaan saya itu adalah nikmat-nikmat yang sejatinya "besar". Sebut saja "rasa aman" atau kondisi tubuh yang "sehat" ... bukankah itu nikmat besar yang sering luput tak terlihat?

Seorang alim pernah berkata, jika kita berterimakasih pada Tuhan hanya karena kita telah diberi anugerah, maka derajat kita sebenarnya tak jauh beda dengan ANJING yang mengibas-ngibaskan ekornya sesaat ia telah diberi makanan oleh Tuan nya.

Oh Tidak, tentu saja saya tak boleh rela jika disejajarkan dengan anjing.

Adapun perasaan-perasaan gundah yang saya rasa hari ini, sebenarnya itu semua tak lain hanyalah konsekswensi dari nafas yang masih berhembus. Karena Jika tak ingin letih, tak ingin payah, tak ingin lelah, tak ingin gundah....Ya, mati saja! Lepaskan saja nafas dan habisi saja nyawa. Ups, bukan maksud saya menyuruh bunuh diri tapi memang dalam al-Quran disebutkan bahwa kita terlahir dengan resiko untuk menjadi "susah". Allah berfirman "dan (memang) KAMI ciptakan manusia itu dalam KABAD: susah payah; kesulitan demi kesulitan" (QS. al-balad: 4). Jadi simple saja, kita memang harus terima kenyataan untuk sesekali merasa sedih dan susah menghadapi hiruk pikuk masalah dunia dan kehidupan.

Ada lagi satu ayat yang bagus untuk kita baca dan renungkan tentang kesedihan dan ujian Tuhan atas kehidupan. Ujian kesedihan ini sudah pasti datang. Firman tuhan itu menyebutkan bahwa akan ada 5 kategori besar untuk ujian kesedihan yang akan menerpa kehidupan ini. Ia berfirman

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.[2:155]

1. Ujian dengan perasaan takut dan kekhawatiran. Khawatir apa saja; kekhawatiran tentang masa depan dan hal-hal yang mungkin tidak akan pernah terjadi. Ketakutan akan bayangan masa lalu dan ancaman-ancaman kehidupan dan kematian... Pokoknya segala jenis ketakutan dan kekhawatiran yang menghilangkan rasa aman dan nyaman. Rasulullah saw pernah ditanya tentang nikmat Tuhan itu apa? Rasul saw menjawab bahwa nikmat Tuhan itu adalah "al-Amaan" (Security, Peacefullness). Teman, berapakah dari kita yang pernah mensyukuri "rasa aman" ini? Kita bangun tidur dengan tanpa kekhawatiran atas jiwa kita sendiri, atas jiwa anak istri kita, keluarga kita, harta kita, karir kita...dan seterusnya.. Betapa banyak yang merasakan "aman" ini, namun sedikit yang mensyukuri dengan mengenali bahwa rasa itu sebenarnya adalah nikmat Tuhan yang sungguh besar.      

2. Ujian dengan kelaparan. Ini adalah ujian yang berat. Jika seseorang diuji dengan ketidakmampuan untuk mememnuhi kebutuhan pangannya. Maka itu adalah salah satu bentuk dari cobaan yang nyata. Faktanya, orang yang kelaparan bisa berbuat apa saja. Ada sedikit beda antara "kelaparan" dan "rasa lapar". ujian kelaparan itu ketika seseorang benar-benar tak mampu mendapatkan makanan, sedangkan ujian dengan ujian rasa lapar itu bisa jadi seseorang hanya menunda jam makannya. PUASA adalah sebentuk ujian ini; hanya diuji dengan lapar sementara, namun rasa aman tak sampai hilang, karena ia tahu bisa makan, hanya ia menunggu waktu. kemungkinan besar, salah satu hikmah dari puasa adalah agar kita juga memiliki kepedulian dan bisa bisa mengecap rasa atas derita lapar yang dirasakan orang lain.   

3. Ujian dengan berkurangnya harta. Ini adalah sebentuk krisis. Harta mungkin tidak habis, namun bisa saja tabungan berkurang, harta hilang, dicuri, mengalami kebangkrutan, kerugian dan lain sebagainya. Harta adalah salah satu faktor yang menunjang rasa aman seseorang. Saat harta itu berkurang, maka berkurang pula rasa aman nya, kepercayaan dirinya. Saat seseorang merasa miskin dan melihat orang kaya, ia pun diuji dengan rasa syukur dan kepercayaan atas dirinya. Sebaliknya, saat orang yang kaya melihat orang lain yang lebih miskin, ia diuji dengan kesombongan dan kerendahan hatinya. lagi-lagi Ia pun masih tetap di uji; dengan kewajiban untuk mengurangi hartanya melalui zakat dan sedekah.  

4. Ujian dengan berkurangnya nyawa. Ini adalah bentuk ujian yang tak kalah berat. Ujian ini datang saat kita kehilangan orang-orang yang kita sayangi. Kematian, perceraian, putus cinta, patah hati. Ini juga berarti ujian saat kita dikhianati oleh sahabat yang sangat kita percaya, teman kerja ataupun kekasih hati. Saat orang tua didurhakai anaknya, atau saat anak tidak dicintai sebagaimana mestinya oleh orang tuanya... Saudara kandung yang saling berkelahi dan seterusnya. Istri yang merasakan bahwa suaminya telah berpaling, atau suami yang mendapati istrinya sedang mencurangi cintanya. Ya, semua ini adalah bentuk dari berkurang nya jiwa; berkurangnya integritas nyawa seseorang.

5. Ujian dengan berkurangnya buah-buahan: Jika ujian kelaparan tadi adalah ujian tentang pemenuhan atas kebutuhan yang primer. Sebenarnya ujian atas berkurangnya buah adalah metafor atas hilang atau berkurangnya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebuuhan yang sekunder atau tertier. Banyak sekali orang yang tidak ada masalah dengan pemenuhan atas kebutuhan, namun ia diuji dengan pemenuhan atas sifat rakus dan keinginan-keinginan nya sendiri. Bukankah banyak dari kita yang menjadi gundah karena memiliki keinginan-keinginan sekunder tapi kita tak mampu mendapatkannya?.  

Well, entahlah teman...apa yang anda masing-masing alami? Mungkin anda ingin meresapinya bersama saya...

(Madyan: tafakkur Ramadhan hari ke 13)

(14) Satu hari Merasakan MANIS

Saya memiliki teman dekat bernama Yudita Barbara Kalota dari negara Polandia. Dia sangat cerdas dan selalu bersemangat untuk saya temani belajar tentang Islam dan tradisi-tradisi masyarakat Jawa sehari-hari. Banyak yang berkesan tentang teman saya itu, tapi salah satu ungkapan yang pernah membuat saya sangat terpesona adalah saat kami dulu berbincang tentang makna kebahagiaan. Katanya, "kebahagiaan itu hanya momen-momen sesaat saja". Artinya, kebahagiaan itu bukan kondisi mental yang konstan. Ia hanya ada di beberapa waktu, lalu pergi, lalu datang lagi dan pergi lagi...

Entahlah saya selalu ingat ekspresi nya saat ia mengatakan "happiness is only moments"
karena tiap kali saya ingat itu, saya selalu menjadi tertegun atas singkat dan padatnya definisi kebahagiaan versi Yudita ini. dan memang saya rasakan benar. Bahwa selama ini kita cenderung alpa memahami kebahagiaan itu, sebagai satu masa panjang yang diidam-idamkan. ironisnya, kita selalu membayangkan "kebahagiaan abadi". bukan hanya di sorga, d dunia pun kita selalu dihantui dengan 'happy endings' yang terbanyang sebagai satu fase akhir yang isinya hanya bahagia tanpa kesedihan. "Happily ever after" bagi saya, itu Non Sense!

Gara-gara teringat perbincangan dengan Yudita itu, hari ini saya jadi bertanya-tanya pada diri saya sendiri; jika kebahagiaan itu momen-momen saja, lalu sebenarnya kapan saya betul-betul merasa bahagia dalam hidup ini?

Jika saya sebut, bahagia itu ada saat saya mampu menyelesaikan tugas-tugas akhir saya di saat-saat paling kritis :), saat saya melihat orang-orang yang saya ajak bicara faham atau  saat saya melihat murid-murid atau mahasiswa saya puas dengan apa yang saya ajarkan; saat saya melihat ekspresi senang dan bahgia dari orang-orang yang saya cintai, saat saya bergurau hebat dengan istri sampai tertawa berguling-guling; saat saya melihat ibu saya berbunga-bunga menerima hadiah-hadiah kecil dari saya; saat saya melihat ibu saya menggunakan barang-barang yang saya belikan untuknya. Ya, Saya sangat menyukai cara ibu saya mengekspresikan penghargaan dan rasa terimakasih. Saya juga sangat bahagia saat bisa memberi ayah atau ibu saya beberapa lembar uang ratusan. Terkadang, bukan karena mereka butuhkan, bagaimanapun cara mereka berterimakasih selalu membuat saya menitikkan air mata bahagia. Well, banyak...sebenarnya ada satu kebahagiaan yang terjadi di suatu malam. Sayangnya, momen yang membuat saya meleleh bahagia itu tak terlukiskan, sehingga tak ada kata yang bisa mewakili rasa itu, untuk saya ceritakan.

Tapi sudahlah, memang begitu... bahagia dan kesedihan itu seperti pergantian malam dan siang; datang silih berganti, dan akan terus begitu selama kita masih bernafas dan menyaksikan mentari menyelinap di setiap celah. Ya benar, sebagaimana kebahagiaan itu momen saja, kesedihan pun begitu juga: hanya momen-momen yang tak akan berlangsung lama, apalagi abadi. Jadi, memang tiada pesta yang tak usai sebagaimana tiada badai yang tak berhenti.

saat saya menulis judul "satu hari mengecap manis" hari ini. Mungkin, manis itu juga tak pernah bertahan satu hari penuh... Di tengah-tengah, selalu ada interupsi-interupsi. dan nyatanya, saya tetap tidak apa-apa. Hanya saja, kadang sulit untuk menahan letupan bahagia saat kenikmatan-kenikmatan itu datang bertubi-tubi. saat itu, kita terlalu bangga dan bahagia...Sayang, saat nikmat dan bahagia-bahagia itu meredup, kita pun sulit menahan rasa sedih, hingga sering kita menjadi orang sangat berputus asa dan tidak bersyukur

Maha benar firman Tuhan

Dan jika kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat kebahagiaan) dari kami, kemudian nikmat itu kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterimakasih. (QS: HuD: 9) dan jika Kami rasakan kepadanya kebahagian sesudah bencana yang meimpanya, niscaya dia akan berkata: "Telah hilang bencana-bencana itu daripadaku" sesungguhnya ia sangat gembira lagi bangga (QS: HuD10)


(Madyan: Tafakkur Ramadhan hari ke 14)

Thursday, August 2, 2012

(12) Nabi Saja Suka Menghakimi


Suatu hari saya membaca surat al-Kahfi (QS.18: 61-82). Ada sebuah cerita menarik tentang perjalanan Musa dan Khidir as. konon dikisahkan bahwa suatu hari Musa merasa bahwa dia lah manusia paling mengerti segala hal karena Ia adalah seorang Rasul. namun Allah ingin memberinya pelajaran bahwa diatas langit masih ada langit dan Musa tak seharusnya memiliki kebanggan diri seperti itu. Ia pun diperintah gusti Allah untuk belajar kepada seorang bijak bernama Khidir. walhasil Musa pun menemui Khidir di tepi lautan dan menyatakan niatnya untuk belajar kepadanya.

Khidir menjawab; "kamu tidak akan kuat belajar dari ku". Namun Musa bersikeras, akhirnya Khidir pun mengiyakan dengan satu syarat, bahwa Musa dilarang bertanya atau berinterupsi atas apapun yang diperbuat khidir, kecuali Khidir sendiri lah yang akan menjelaskan segala sesuatunya. Musa pun setuju dan mereka pun berlayar..

di tengah pelayaran, tiba-tiba khidir melobangi perahu yang mereka naiki. Musa menjadi gerah dan bertanya kepada Khidir "kenapa kau lobangi perahu ini, nanti penumpangnya kan bisa tenggelam? ku kira kamu telah berbuat kesalahan". Khidir tersenyum saja sambil mengingatkan 'Lho bukannya kamu sudah berjanji untuk tidak akan bertanya apapun kepadaku tentang hal-hal yang kuperbuat? aku kan sudah bilang kamu gak akan bisa tahan belajar dariku? Musa pun meredam penasaran dan gelisah karena tidak menemukan jawaban. tapi Ia harus meminta maaf. Musa berujar 'Ok lah saya ndak akan bertanya lagi, tadi saya benar-benar lupa tentang kesepakatan kita...lain kali saya tidak akan bertanya'
setelah mereka mendarat. mereka berdua berjalan menuju sebuah desa. disana Khidir melihat seorang anak kecil dan tiba-tiba saja khidir membunuh nya. Musa pun geram dan bersuara keras "Khidir...kenapa kau bunuh anak kecil tak berdosa itu? kamu telah berbuat satu kemungkaran besar..Musa kecewa...Ia berfikir akan belajar dari seorang yang baik budi pekertinya dan disabdakan bahwa ilmunya lebih tinggi. namun kok orang ini membunuh? Khidir pun tersenyum lagi dan berkata "kamu ingat janjimu kan untuk tidak bertanya? berkali-kali aku bilang bahwa kamu tidak akan kuat belajar dari aku, tapi kamunya ngeyel?' Musa pun geram dan hanya bisa meredam penasaran dengan hati tak menentu..."sudahlah kamu ndak usah belajar dari aku, kamu tidak bisa pegang komitmen untuk tidak menyanggah, bertanya atau berinterupsi tentang semua yang aku perbuat" kata Khidir.
Ingin sekali Musa menghentikan perguruannya, namun ini adalah perintah Tuhan untuk belajar dari seorang Khidir. akhirnya Ia pun meminta untuk diberi kesempatan satu kali lagi. Khidir sebenarnya sudah tak percaya bahwa Musa bisa menahan kesabaran untuk tidak cerewet, namun Khidir akhirnya merasa iba setelah Musa memohon agar diberi satu kesempatan lagi untuk yang terakhir kalinya. ini bererti bahwa Jika Musa bertanya lagi maka Musa harus pergi dari Khidir dan tidak meneruskan perguruan nya lagi...

Hingga di suatu waktu, Khidir dan Musa memasuki sebuah desa. mereka berdua lapar dan hendak meminta makan kepada penduduk desa itu, tapi sial karena ternyata penduduk desa itu tidak seramah yang mereka kira. Mereka sangat pelit dan menolak memberi jamuan makan...lantas disana khidir melihat sebuah bangunan dengan dinding yang sudah roboh. tiba-tiba Khidir pun memperbaiki dinding itu dan Musa pun bertanya 'kenapa sih kok repot-repot perbaiki dinding ini?, kalau kita mau kita bisa minta upah untuk ini khan dari mereka?' Khidir pun tersenyum lagi dan berkata 'nah kamu akhirnya bertanya juga...sudah kubilang bahwa kamu tidak akan sanggup berguru padaku. dan kamu barusaja mengakhiri janji mu untuk tidak bertanya apapun. nampaknya, kita memang sudah tidak bisa berjalan bersama lagi..."
walaupun demikian, sebelum berpisah akan aku jelaskan hal-hal yang engkau tanyakan padaku selama ini:

tentang perahu yang ku lobangi, perahu itu sebenarnya adalah milik seorang nelayan miskin, aku melobanginya untuk membuatnya tampak cacat karena sebenarnya di pelabuhan ada seorang bajak laut yang merampas perahu-perahu yang layak pakai. aku membuatnya tampak rusak agar si bajak laut tidak merampas perahu itu. adapun tentang anak kecil yang kubunuh, itu juga kulakukan karena wahyu Allah. kedua orang tua anak itu adalah orang yang beriman, Allah menyuruhku membunuhnya karena jika dibiarkan hidup anak itu akan jadi anak durhaka dan menjadikan kedua orang tuanya kafir. Allah menyuruhku membunuhnya karena IA ingin menggantikan anak itu dengan anak yang lain, yang lebih suci dan lebih bisa berbakti pada orang tuanya kelak.

Adapun tentang dinding ini, sebenarnya adalah milik suami istri yang salih. mereka telah mati dan meninggalkan dua orang anak yatim. Di bawah dinding ini tertanam harta warisan untuk dua anak yatim itu. Allah menyuruhku membangun dinding ini lagi agar harta yang tertanam aman dan kelak dua anak yatim itu bisa megambil hartanya ketika mereka sudah tumbuh besar`...

Ketahuilah Musa bahwa Semua itu tidak aku lakukan atas dorongan dan kehendak pribadiku..Khidir menegaskan
sudahlah, sampai sini saja pertemuan kita. aku sudah sampaikan bahwa engkau tidak akan sanggup belajar dari aku....dan Musa pun pergi dengan sedikit rasa kecewa.

selesai membaca ayat ayat ini aku berfikir bahwa "ternyata Nabi pun suka menghakimi", seperti Musa. jadi, menjadi beragama dan menghakimi itu mungkin tak perlu dipersalahkan. Menghakimi adalah hal yang lumrah (manusiawi) apalagi jika seseorang merasa ada landasan-landasan tertentu norma agama misalnya...namun aku belajar satu hal bahwa ternyata, orang tidak akan belajar apapun jika hanya bisa menghakimi seperti Musa yang gagal belajar lebih dari sosok Khidir

kedua, bahwa kalaupun kita suka menghakimi kita selayaknya paham bahwa segala perbuatan itu tidak bisa dihakimi dari satu sisi saja...moralitas itu tidak lahir dari ruang kosong. ternyata ada hal-hal "dosa" yang dilakukan bukan karena kehendak pribadi dan bukan pilihan (choice) namun itu telah disabdakan...
mungkin... benar kata Ashis Nandy, seorang pemikirl asal Pakistan bahwa tidak ada Malaikat yang benar2 putih dan tak ada Setan yang benar2 Hitam'

(Madyan: Tafakkur Ramadhan hari ke 12)