Tuesday, July 23, 2013

(13) Tak selalu butuh perhatian


Niat saya ingin menulis catatan untuk hari ke 13, namun untuk beberapa lama saya hanya terpaku di depan tampilan Facebook; melihat-lihat newsfeed, dan membaca status-status, serta tautan berbagi (shared link) dari teman-teman. Sejam sudah saya berada di depan layar tulis pagi tadi, dan saya benar-benar kehilangan minat untuk menuliskan gagasan apapun yang telah saya temukan di seharian kemarin.

Ada yang aneh sejak pagi tadi, saya seperti berada pada semacam perasaan anti klimaks. Bukan karena lelah  atau bosan, namun jiwa saya terasa berada pada fase hibernasi (diam namun tak mati; hidup tanpa gairah untuk beraktifitas). Jadi, seharian penuh saya tadi tidur dan merebah di atas pembaringan. Istri saya berkali-kali tanya "Mas sakit lagi?" saya jawab tidak... hanya entah...

Ada semacam kemandegan dalam diri ini. Saya pun bingung hendak berfokus pada perenungan apa? penggalian apa lagi kali ini? karena tiba-tiba banyak sekali isu yang ingin saya bicarakan dan untuk saya tulis sebagai perenungan.  Sialnya, semua yang ingin saya tulis itu tiba-tiba terasa artifisial (palsu); karena beragam topik yang ada di kepala saya tadi sepertinya bukan tentang yang penting untuk diri saya, saat ini.

Saya sempat bersedih hati, karena bagaimanapun, saya harus memaksa otak dan hati saya untuk bangun dan menyelesaikan komitmennya. Tapi nyatanya, seharian ini benar-benar tak ada apa-apa  yang tergerak...hingga saya pun menyerah; berdamai untuk menerima kemauan diri saya sendiri, hari ini.


***

Pagi tadi, saya menghentikan tulisan yang sudah separuh jadi, lalu memutuskan untuk mematikan komputer. Saya tiba-tiba lebih memilih untuk menghirup udara pagi, sambil berolahraga ringan di taman rumah saya...

Saat saya menerima kemauan diri saya itu  lah, saya kemudian merasakan intimasi yang hening dan romantis, karena di momen-momen itu, saya merasa sedang berpacaran dengan diri saya sendiri. Dan pada saat itu pula, ada sesuatu yang mengatakan bahwa dalam "perjalanan spiritual" serta pengggalian diri, tidak lah perlu kita tergopoh-gopoh karena terkurung dengan hal-hal yang tidak membebaskan. Bahwa untuk proses ini, tak selalu  nya kita harus terus beraktifitas, karena seperti segala hal yang membincangkan "pertumbuhan", ada masa-masa di mana kita harus diam dan membiarkan benih-benih yang kita tanam tumbuh dengan sendirinya

Saat di taman tadi pagi, saya menyentuh beberapa helai daun yang tak pernah saya sadari kapan mereka tumbuh dan menjadi ada. Namun pertumbuhan tunas-tunas daun itu mengajarkan bahwa mereka tak membutuhkan perhatian kita yang berlebih. Karena ternyata, untuk bisa dinikmati hasil pertumbuhannya, daun-daun itu juga perlu dibiarkan begitu saja...Untuk bertumbuh, jiwa tak selalu butuh perhatian, Ia juga perlu untuk sejenak diabaikan...




Saturday, July 20, 2013

(11) Iseng-iseng Beriman (?)


Di Subuh ke Sebelas pagi tadi saya menyimak uraian Professor Quraish Shihab, salah satu tokoh Muslim di Indonesia yang saya kagumi, dan acara nya hampir selalu menjadi pilihan saya ketika menyalakan televisi di saat-saat sahur.

Pagi tadi, beliau menjelaskan ayat-ayat al-Quran yang berkisah tentang iman kepada hari akhir. Salah satu pertanyaan dari pendengar beliau kira-kira berbunyi begini; "...Bapak, bagaimana agar kita bisa benar-benar mengimani kebenaran hari kiamat?" Jawaban pak Quraish sangat lugas dan jelas. Setelah menjabarkan beberapa point, kemudian beliau menutup jawabannya dengan retorika kalimat yang kurang lebih begini;

"...Katakanlah Anda beriman kepada hari akhir, lalu ternyata nanti hari kiamat itu tidak ada, maka Anda tidak akan rugi apa-apa, karena hidup Anda telah menjadi baik. Sebaliknya, jika Anda tidak meyakini adanya Kiamat, lalu nanti ternyata hari kiamat itu ada, saya kira kalian akan rugi..."

Serentak saya saksikan orang-orang yang hadir dalam majlis beliau mengangguk-anggukan kepala, sambil membenarkan pernyataan beliau..." Saya, sambil mengakhiri santap sahur tadi pagi juga seperti terbius mengiyakan.

Tiada yang salah dari kalimat-kalimat itu... Hanya saja, seharian ini ada yang terasa janggal dibalik retorika jenius pak Quraish yang sempat menyihir bawah sadar saya, sebelum saya harus tersadar untuk mempertanyakan keimanan saya sendiri; Apakah iman saya ini seperti sesuatu yang saya putuskan karena "iseng-iseng berhadiah"? Apakah sebenarnya memang demikian argumen keimanan yang saya miliki?; bahwa tentang hal-hal yang diberitakan agama, kita imani saja, toh tiada ruginya; Jika ajaran-ajaran itu hanya opium kepalsuan, kita pun sudah diuntungkan, karena dengan tuntunan itu hidup kita menjadi baik. Namun jika ternyata ajaran-ajaran itu benar  adanya, maka berarti kesyukuran kita akan berlebih, karena itu artinya kita tidak sedang tersesat atau salah jalan.

Iman, sebenarnya argumen apa yang kita miliki? Kita beriman dan memeluk Islam karena ikut-ikutan orang tua?; karena tradisi dan lingkungan? karena pengaruh ilmu-ilmu yang diajarkan? karena ajaran nya masuk akal? karena kesadaran dan pilihan? karena pencarian?

Hanya masing-masing kita yang mengetahui jawabannya secara pasti. Namun saya harus jujur merasa prihatin, jika benar bahwa keimanan yang saya punyai ini ternyata hanya didasari oleh sebatas pilihan yang sangat pragmatis; olahan dari ego untuk selalu mencari yang paling aman dan tidak beresiko...

Sahabat, apa yang anda akan katakan pada seseorang yang berkata "saya ingin berbisnis tanpa modal, tanpa kerja keras, dan tanpa resiko sama sekali, tapi saya mau keuntungan yang besar, yang pasti, dan yang berlipat-lipat"? Orang itu naif? ataukah cerdas? Orang itu realistis? ataukah pemimpi yang enggan bangun?

Kemarin siang, sewaktu sholat jumat, saya sempat mencatat baik-baik sebuah hadits riwayat al-Bazzar yang disampaikan oleh sang pengkhotbah. Hadits itu bercerita tentang teka-teki filosofis yang pernah ditanyakan Nabi Muhammad saw kepada para sahabatnya.. Beliau bertanya " Iman siapakah yang menurut kalian paling menakjubkan? Sahabat-sahabat beliau  menjawab; Malaikat!. Lalu Nabi mengatakan, bagaimana mungkin Malaikat tidak beriman...Iman para malaikat adalah keimanan yang sangat wajar dan sudah sepantasnya.  Para sahabat pun menebak lagi "..kalau begitu, keimanan paling menakjubkan adalah yang dipunyai oleh para Nabi" Rasulullah Muhammad saw pun menjawab "Para Nabi itu menerima wahyu dari Tuhan, pastilah mereka beriman. Keimanan para Nabi itu wajar dan sudah semestinya" Sejenak para sahabat itu diam lalu seseorang berkata "Kalau begitu yang menakjubkan adalah keimanan para sahabat dekatmu" Nabi pun berkata "Sahabat-sahabat ku itu melihat aku, mendengar aku dan memang berjumpa dan hidup dengan ku, wajar juga jika mereka beriman... Bukan, bukan keimanan mereka yang paling menakjubkan, tapi yang menakjubkan adalah keimanan orang-orang yang lahir jauh setelah masa kalian; mereka hanya mendapati sebuah kitab yang pernah diwahyukan, lalu mereka dengan mudahnya memercayai. Iman merekalah iman yang paling menakjubkan" (al-Hadits)

Teringat hadits itu, saya merasakan haru karena ternyata iman generasi kita telah dianggap Nabi sebagai keimanan yang paling istimewa dan menakjubkan, Namun di waktu yang sama saya juga menjadi kalut, jika sebenarnya keimanan yang kita peluk ini sebenarnya hanya iseng-iseng semata; keimanan pragmatis yang tak benar-benar memiliki akar. Saya mungkin salah menangkap apa yang saya dengar dari  penjelasan Bapak Quraish Shihab, tapi bagi saya, tidaklah penting mendapatkan klarifikasi apa-apa tentang itu.

Saya hanya bersyukur, bahwa apa yang beliau sampaikan telah menjadikan saya berfikir panjang tentang keimanan saya sendiri. bahwa pada level terendah dan paling nadir dari keimanan ini, saya merasa bahwa sudah saat nya kita berkaca untuk melihat kembali pondasi dari bangunan yang seakan-akan telah berdiri ini, namun sebenarnya ia sangat rapuh dan reyot.

Penting untuk saya pribadi meninjau kembali pondasi keimanan yang saya punyai. Saya khawatir jika sebenarnya bukan batu solid yang saya punyai, namun tumpukan kayu yang tak menyatu satu dengan yang lainnya. Saya khawatir jika terpaan angin saja sudah cukup untuk meluruhkan segalanya.


Friday, July 19, 2013

(10) Jentayu Mengejar Waktu


Bersyukur, hingga pagi ini masih bernafas dalam puasa. Ini sudah hari ke sebelas, namun catatan ini adalah tulisan tafakkur saya yang kesepuluh. Satu hari saya lewatkan, dan tiba-tiba pedal ini terasa sangat berat, apalagi setelah menyadari, saya telah tertinggal. Seharusnya, hari ini bacaan Tadarus saya dan istri sudah sampai di juz 22, namun kami bahkan belum menyelesaikan bacaan juz 19 dan 20... Sambil menulis ini, saya  juga sambil meratapi lepasnya sang-Jentayu...

Ya, saya bisa bilang waktu itu tak sopan, karena tak pernah sungkan melintas begitu saja. Membuat jengkel, karena tanpa salah ia terus saja melaju dengan kecepatan yang konstan. Namun, saya insafi bahwa memang waktu tak menyalahi etika apa-apa, ia tak berjalan melampaui batas kecepatan, hanya saja jenteranya berjalan terus dalam ritme yang tetap dan persistent. Itu yang membuat kita selalu kalah...

Persistensi perjalanan waktu ini memberi pelajaran berharga tentang penjagaan atas komitmen. Bahwa perjalanan waktu ini telah memberikan justifikasi kebenaran atas nasehat para bijak yang mengatakan bahwa persistensi, konsistensi atau keistiqomahan itu mampu mengungguli kehebatan seribu keramat"... Sebab memang benar, sebuah gerak yang terus menerus dilakukan walau sedikit,  pasti mampu mengalahkan segala yang melejit namun sesekali...Seperti tahun-tahun sebelumnya, saya telah berniat menulis satu catatan Ramadhan setiap hari, minimal hingga hari ke lima belas...    

Malam kemarin saya memang kehabisan daya untuk menulis, karena seharian sibuk mengantar istri berobat kemudian mengunjungi sanak famili hingga larut malam. Di kota ini, udara  malam sangat lembab dan basah. Suhu dinginnya mencapai 19 derajat. Saya, semalaman berperang melawan alergi.  Senjata saya hanya perisai yang sangat lembut dan tebal; Selimut. Saya pernah berkelakar mengomentari status seorang teman yang mungkin mengesankan bahwa "berselimut" itu sangat paradox dengan kata "berkarya". Saya bilang waktu itu "..Bahkan tidur berselimut itu sebenarnya adalah amal kebaikan, karena pada saat kita menggunakannya, kita juga sedang menghargai karya orang lain; karya pembuat selimut; pembuat bantal dan kasur" ^_^... Sialnya, dia menganugerahi saya panggilan "ustadz" hanya gara-gara nasehat saya yang dinilainya sangat menguntungkan itu...    

Ya seperti di masa-masa puasa ini, tidur pun akan dinilai sebagai ibadah, jika sekiranya bangun justru akan terjadi banyak kemungkaran yang akan dilakukan. Tidur juga tentu beribadah, jika pelaksanaannya adalah usaha untuk mengembalikan kebugaran dan memulihkan kesehatan.

Tulisan kali ini sangatlah ringan, seringan lembaran-lembaran tisu yang saya gunakan menyumbat hidung saya yang sedang meler, seringan waktu yang tak pernah mengggubris sambil melambaikan tangan nya, seringan hawa dingin yang menyusup lewat celah-celah kecil di kamar saya, lalu menerbangkan sayup-sayup suara istri saya dari kamar sebelah..."Mas,...gak tidur saja kah?"....        

Thursday, July 18, 2013

(9) "Yang Akan Tertinggal" dan "Yang Akan Menguap"

Seharian kemarin mendadak menjadi tukang kayu. Saya, bersama kakak sepupu serius membuat sebuah bilik untuk ditempati adik didik pertama saya. Ia akan mulai tinggal untuk beberapa waktu di rumah saya sehabis lebaran, Insya Allah. Ia akan menjadi seperti santri yang pertama yang akan bergabung dan menemani saya belajar tentang agama dan kehidupan. Semoga, setiap niat dan tindakan akan membawa berkah.

Saya harus ucapkan terimakasih kepada kakak sepupu saya itu, yang telah rela menemani saya berpeluh; menggergaji beberapa balok kayu dan mendirikan bilik layak huni, untuk sekedar dijadikan tempat peristirahatan dan pertapaan. Dalam pengerjaan bilik itu, saya sengaja tidak memanggil tukang, karena saya pribadi memang ingin merasakan "gairah" dan peluhnya. Sesekali kami berkelakar... "Waduh puasa-puasa kok malah mendadak menjadi tukang...". Rasa-rasanya, bekal sahur yang kami santap tadi pagi sudah luruh sebelum waktunya dan kami berdua saling menatap sambil nyengir...

Lelah, tapi saya telah bahagia hari tadi. Bilik itu telah delapan puluh persen selesai rapi.. saya hanya tinggal memasang pintu dan membiarkan saja mentah begitu. Finishing dan furnishing biar penghuninya sendiri nanti yang akan menyelesaikan...

Semalam, saya sangat pulas beristirahat setelah kemudian saya dibangunkan untuk melanjutkan segala yang masih tertangguhkan. Sahabat, menit-menit serasa panjang jika melihat apa yang sudah dilakukan. Namun, detik-detik juga terasa sangat singkat jika melihat tugas-tugas yang terlihat masih bergelantungan...sekali lagi saya harus tertegun akan pemaknaan demi pemaknaan. Dengan insaf pula saya masih memeluk keraguan; apakah semua aliran-aliran yang saya ciptakan ini akan bermuara ke lautan?

Membincang aliran, saya jadi teringat bacaan al-Quran dari juz 13 beberapa waktu silam; bahwa biarkan saja semua mengalir, karena bahkan yang dilakukan Tuhan pun juga mencampur yang baik dan yang buruk, mengaliri lembah-lembah dengan segala yang bermanfaat dan yang tidak...Ia kemudian berfirman bahwa pada ujung-ujungnya, yang buruk akan menguap menjadi buih dan yang baik akan tertinggal dibumi, sehingga ia bisa dimanfaatkan (Qs. 13: 17)

Saya jadi tercengang, karena tiba-tiba ingatan atas ayat itu terhubung langsung dengan keraguan saya atas segala  tindakan dan aliran-aliran kecil beragam nama yang sudah dan sedang saya rintis ini. Bahwa seakan-akan Tuhan dengan bijaknya telah memberi contoh tentang bagaimana kita seharusnya berbuat hal-hal yang baik, tanpa kemudian merisaukan hasilnya. Bahkan terkadang, pada taraf tertentu, kita tak perlu menghawatirkan apakah suatu tindakan itu akan berdampak baik atau buruk; hasilnya akan positif atau negatif ; perbuatan itu telah dilakukan dengan ikhlas atau tidak, dan seterusnya. Maaf, karena temuan pemikiran kali ini mungkin bersebrangan dengan nalar umum yang hanya menasehatkan kebaikan dan penimbangan-penimbangan yang positif semata...

Karena berkali-kali saya membaca ayat ini, dan baru kemarin Tuhan memperkenalkan diri sebagai Yang baik dan Yang Buruk. Selama ini saya mungkin salah memahami-Nya, sebagai Dia yang melulu tentang kebaikan. Ternyata tidak, Dia juga berbangga sebagai pemilik kebaikan dan keburukan dalam satu waktu; yang Haq dan yang Bathil. Wa yadhribullohu al-Haqqa wa al-Bathil... Dan dengan Sunnah (hukum alam) buatan-Nya  pula, Ia kemudian menciptakan sistem bagaimana kebaikan dan keburukan itu akan berpilah dan memecah dengan sendirinya; yang baik akan berguna dan yang yang buruk akan sirna dan sia-sia... Kali ini, pada relung kalbu saya, Tuhan terasa lebih besar dari kebesaran yang menyelimuti saya, sebelumnya.

Perjumpaan saya dengan Tuhan kali ini menasehatkan, bahwa sebenarnya saya tak perlu mengkhawatirkan; apakah perbuatan dan aliran-aliran kecil yang saya buat itu, semuanya akan bermuara ke samudra; karena saya telah dijumpakan dengan satu rumusan alam, yang akan mengantarkan apa yang baik pada tujuannya dan menguapkan apa yang buruk di jalanan... Saya, bahkan mungkin tak perlu khawatir lagi jika ternyata dalam amal kebaikan saya itu telah bercampur antara niat baik dan ketidakikhlasan, karena saya tahu betul bahwa tugas saya hanya berbuat dan mengerjakan saja, selebihnya adalah tugas alam untuk menguapkan segala pamrih dan kesombongan... Saya kira, siapapun butuh kepakaran yang ditempa waktu untuk mampu memurnikan emas, dan tentu di atas langit masih ada langit, di atas tingkat ketulusan seseorang masih ada keikhlasan yang mengungguli, dan selalu saja di atas kebaikan masih ada yang lebih baik lagi dan lagi.
     

   

Wednesday, July 17, 2013

(8) Tadarrus dan politik Angka

Malam ini saya hendak melanjutkan Tadarrus al-Quran yang saya lakukan duet bersama istri, tapi entah mungkin karena kesibukan pagi dan siang, jadi saya belum sempat duduk di depan layar tulis hingga sat ini. Saya merasa berhutang karena belum sempat menyelesaikan komitmen pribadi untuk mengabadikan hari ini dengan memotretnya melalui beberapa kalimat. Dan untuk penyelesaian hutang itu saya merasa bahwa lebih baik menulis dulu sebaris dua baris sebelum melanjutkan bacaan Tadarrus al-Quran saya juz 13 dan 15.

"Tadarrus" itu istilah religi untuk aktifitas pembacaan kitab suci. Secara sempit istilah itu diambil dari derivasi kata paling dasar "Da-Ra-Sa" yang berarti belajar, walaupun pada prakteknya, "Tadarrus" lebih sering diterapkan sebagai praktek pembacaan teks kitab suci tanpa penghayatan atau pembelajaran. "Tadarrus" hanya mewakili bentuk ritus peribadatan semata, karena ada istilah-istilah tekhnis lain seperti "Tadabbur" yang bisa dimaknai sebagai "penghayatan kitab suci" atau juga "Tafakkur"yang memiliki denotasi lebih luas dan bebas, sebagai segala bentuk proses perenungan dan refleksi-refleksi keagamaan.

Khusus di bulan suci Ramadhan seperti ini, istilah "Tadarrus" lebih ramai digunakan karena keutamaan pahala yang diimani begitu besar... karena itulah, di beberapa tempat, di malam hari hingga bahkan pukul dua belas, biasanya corong-corong masjid masih mendengungkan ayat-ayat Allah melalui microphone, layaknya nyanyian dari koloni-koloni lebah...

Saya, untuk apa ber-tadarrus? Ini pertanyaan paling congkak dan kurang ajar untuk diri saya sendiri. Karena membaca ayat-ayat tanpa perenungan, hanya untuk "khataman" dari sampul depan ke sampul belakang seperti ini sudah  saya jalani sejak kecil; semacam tradisi yang masih terjaga. Tapi ya hanya begitu, membaca teks maju mundur begitu saja, berulang-ulang, berkali-kali. Saya tidak hendak mengkritik apapun hanya pertanyaan saya, adakah relevansi dari Tadarrus al-Quran selain untuk makna-makna yang sangat transenden, seperti pencarian pahala dari setiap huruf itu? Bahwa ada sebuah Hadits (ucapan Nabi) yang sangat populer di kalangan umat Islam yang menerangkan bahwa jika dibaca, satu huruf saja dari al-Quran akan bernilai pahala sepuluh kebaikan; Tahukah Anda bahwa konon, huruf-huruf dalam al-Quran itu menurut versi penghitungan paling pelit berjumlah 323.015 (Tiga ratus dua puluh tiga ribu lima belas).

Jadi, jika Anda umat Islam dan hendak berbisnis dengan Tuhan, kalikan saja angka itu dengan sepuluh kebaikan. Dengan menghkhatamkan bacaan al-Quran, estimasi keuntungan Anda, di luar bacaan yang mungkin Anda ulang-ulang, adalah sekitar "tiga juta dua ratus liga puluh ribu". Nominal laba itu apa bisa Anda cairkan di dunia ini atau di Akhirat nanti? Jawabannya jelas, bisa disini dan juga disana. Tapi, saya harus meminta maaf dan permakluman Anda, karena tak seorangpun mengerti dan bisa memberikan jawaban memuaskan jika Anda lanjut bertanya;  "Kebaikan" atau "pahala" itu jika dicairkan akan berujud apa?" Walaupun demikian, Saya masih ingin meneruskan tulisan ini dengan mempertanyakan kegelisahan yang mirip namun pada level yang lain; bisakah "pembacaan teks agama" ala Tadarrus seperti itu menjadi memiliki nilai yang lebih membumi, lebih tersentuh dan profane?

Ini seperti kasus Ibu saya, yang suatu hari memarahi saya karena terburu-buru sholat dan meninggalkan nya sholat sendiri (tidak berjamaah). Beliau berkata "Kok umi ditinggal? kan sayang sekali... pahala nya dua puluh tujuh?"... Waktu itu, saya tak menjawab apa-apa sebab memang saya tidak mampu berfikir mau dijawab bagimana, karena bahkan waktu itu saya sholat tanpa menyadari bahwa ada rentang perbandingan yang signifikan antara angka "satu" dan "dua puluh tujuh". Duh, tiba-tiba saya harus mengiyakan dan berkata dalam hati "sayang juga ya, dua puluh enam di buang sia-sia..." :)

Itu kejadian beberapa bulan lalu yang tiba-tiba saya ingat. Sekarang, di bulan suci ini, pertanyaan yang mungkin lebih relevan misalnya, bagaimana dengan "Lailatul Qadar"? Malam Seribu Bulan; satu malam yang nilai kebaikannya seperti kebaikan seribu bulan? Kebaikan yang edan karena sangat royal dan obral; bayangkan delapan puluh tiga tahun lebih kita akan dianggap hanya melakukan kebaikan, saja!. Itu pun tanpa dijabarkan lebih lanjut tentang pahala kebaikan apa yang dilakukan dalam hari-harinya? Intinya, gambaran tentang pahala jika kita mendapati Lailatul Qadar harus membuat kite bilang "WOW"

Tapi entah, diluar kalkulasi angka-angka itu, saya bertanya-tanya tentang politik angka dalam agama. Bahwa mengapa dalam agama ini nilai kebaikan atau pahala itu harus digambarkan dengan perolehan poin seperti itu? Terang-terangan saya sebut ini "politik", karena memang hanya politik yang dizinkan "curang" untuk selalu menang bukan? Perhatikan, bahwa seperti angka-angka itu bahkan tak begitu akurat. Sebab selalunya, setelah angka-angka kecil diberitakan, para pengkhotbah selalu bilang bahwa Allah akan melipatgandakan pahala kebaikan dari angka sepuluh menjadi seratus, kemudian tujuh ratus, seribu, sepuluh ribu hingga angka yang tak terhingga.... Jadi, benar-benar tidak ada ruang sama sekali bagi Anda atau saya untuk menilai bahwa pahala kebaikan dari satu ritual tertentu itu kecil, karena Tuhan, dengan kuasa dan kesombongan-Nya, seperti bertitah "Aku bisa menambah pahala kebaikan itu hingga angka-angka yang tak terhingga"...

Lalu, jika Ibadah-ibadah kita ini seperti jual beli (Q.s al-Taubah:111), Apakah Tuhan memang serius hendak bertransaksi dengan kita? Atau, harga-harga ini sebenarnya hanya bual-bualan semata, karena yang sejatinya terjadi, ini bukan jual beli...ini adalah pemberian cuma-cuma? Jika ada di sebuah toko tertulis diskon 100%, kira-kira Anda akan menyebutnya apa? Obralan atau Gratisan?

Kadang-kadang sebagai hamba, kita mungkin boleh tersinggung, karena untuk mengerti kebesaran dan kemurahan Allah saja kita harus dibujuk-bujuk dengan gaya penjualan berdiskon 100%. Tak bisakah kita mengerti bahwa intinya "pahala kebaikan itu banyak sekali?" Dalam hal kebaikan, apakah kita memang perlu membawa kalkulator?

Sedikit unik, karena manusia hebat sekelas Ibnu Arabi pun harus serius mengutip Imam Syafi'i dalam menghitung huruf dalam al-Quran, yang menurutnya berjumlah 1.027.000 (satu juta dua puluh tujuh ribu) Angka ini lalu dihitung kembali dalam kitab imam al-Showi dan menjadi 1.025.000 (satu juta dua puluh lima ribu), berkurang dua ribu...! Kemudian, akhir-akhir muncul kutipan Bapak Quraisy Shihab yang saya bilang "paling pelit" karena menghitung huruf al-Quran hanya berjumlah tiga ratusan ribu saja... Jadi, terserah Anda saja, sambil ber-Tadarrus, mungkin Anda tidak perlu percaya dengan hitung-hitungan para Ulama ini, mungkin Anda ingin mencoba menghitung sendiri? Silahkan.....
     

        

Tuesday, July 16, 2013

(7) Tak harus Tegas; Tak harus Jelas

Saya seperti kehilangan gairah sejak kemarin malam... mungkin ini adalah saat-saat genting; saat kemalasan dimanjakan hingga mungkin akan berbuntut panjang. Termasuk saat ini, di hari ke tujuh dari bulan suci ini, fikiran saya sedang kosong dan jiwa sedang terasa melayang-layang. Alih-alih menemukan gagasan menarik untuk direfleksikan, kondisi mental saya terasa sedang mengambang datar; tidak sedih, tidak riang, tidak bahagia tidak juga berduka... Saya pernah menulis tentang hidup seperti makanan suam-suam kuku; tidak panas tidak dingin. Menurut Khalayak, makanan seperti itu memang tidak mengundang selera...

Saya sendiri ragu, apakah saat menulis ini saya sedang bersyukur atau sedang mengeluh? Tak jelas, sebab dalam konstruksi pemikiran kita, termasuk dalam ajaran agama kita, gaya nalar yang kita miliki seakan telah dicetak sedemikian rupa untuk menjadi generasi modernis yang berotak positifistik; otak itu hanya memiliki kemampuan untuk melihat segala sesuatu dari dua kutub yang ekstrim; panas atau dingin; baik atau buruk, halal atau haram, dosa atau pahala, bahagia atau duka, dan seterusnya... Otak kita ini sudah sangat terlatih untuk melihat segala hal dengan cara itu, sehingga diakui atau tidak, dengan beragama kita mudah memiliki kepribadian yang cepat menghakimi karena pilihan nya sederhana; dua opsi dan sangat binair; A atau B?

Dalam kebiasaan keberagamaan misalnya, kita tidak pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan tentang sesuatu yang berwarna abu-abu atau bergradasi. Segalanya hanya memiliki dua warna tegas; hitam atau putih, halal atau haram, suka atau duka, sorga atau neraka, mukmin atau kafir, begitu saja.  Dalam hal akidah dan keimanan, orang-orang yang abu-abu sangat dikucilkan, mereka disebut munafiq karena tidak jelas...Seperti tiada ruang untuk keraguan, karena jika anda ragu, anda mungkin akan disebut beriman lemah atau liberal. Jadi, opsi anda hanya mau masuk golongan mukmin atau kafir?

Dalam sosiologi agama, kita juga hanya mengenali dua macam manusia; lelaki atau wanita. Nampaknya, agama hanya menyinggung sedikit saja sesuatu yang ditengarai sebagai yang syubhat (abu-abu; meragukan). Kalau kita mengaji hukum agama (fiqih) dari kitab kitab yang klasik, kita tidak akan menemukan penjelasan yang cukup adil dan memadai tentang orang orang yang memiliki kecenderungan gender selain pria atau wanita. Dalam buku-buku hukum memang ada bahasan tentang orang-orang yang disebut mukhonnats, tapi istilah ini dimengerti sebagai mereka yang berkelamin ganda (hemaprhodit). Setahu saya, tawaran hukum terbaik bagi orang-orang yang dikategorikan sebagai yang syubhat; mukhonnats itu ujung-ujungnya juga harus memilih, mau dianggap pria atau wanita?

Menarik, karena dalam al-Quran surat al-A'raf (46-48) pernah dibahas pertanyaan tentang suatu golongan yang oleh Tuhan di "gantung" statusnya, mereka tidak diangkat ke sorga, juga tidak dimasukkan neraka. Beberapa theolog dari aliran bernama Mu'tazilah memercayai bahwa orang-orang yang disebut Ashab al-A'raf ini berada dalam posisi liminal; al-Manzilah baynal Manzilatain (ruang tengah-tengah).

Ketika membaca ayat-ayat tentang golongan ini, saya membayangkan tentang orang-orang yang hanya duduk-duduk diruang tunggu dengan sangat membosankan, mungkin persis seperti kondisi saya saat menulis catatan renungan ini, sore tadi. Saat itu saya sedang mengantar ibu menyelesaikan beberapa urusannya dan harus terduduk di ruang tunggu untuk waktu hampir dua jam. Untung saya membawa alat tulis, sehingga saya masih bisa memanjakan jari-jari untuk bermain semaunya di layar tulis. Saya jadi membayangkan orang-orang yang nanti "digantung" di ruang tunggu akhirat, mereka bisa mengisi waktu dengan aktifitas apa ya?

Hingga taraf tertentu, situasi yang abu-abu dan suam-suam kuku mengingatkan pada "nikmatnya" kesedihan. Seperti orang orang yang berada pada kondisi tak jelas di akhirat itu, mereka sebenarnya tersiksa. Digambarkan, jika mereka melihat orang-orang yang diadzab di Neraka, mereka menjadi sangat takut dan berdoa agar tak dimasukkan ke dalam golongan penghuni neraka. namun jika mereka melihat penduduk sorga, mereka hanya bisa "ngiler" dan bermohon agar Tuhan segera ambil sikap dan memasukkan mereka ke salah satu kamar-kamar sorga... mungkin, rasanya seperti cewek yang mendapatkan "cinta gantung", takut jika pada akhirnya cowok yang mereka minati ternyata hanya pahlawan PHP (Pemberi Harapan Palsu) ^_^

Ya..., tapi begitulah, seperti kehidupan yang terasa abu-abu, tak jelas dan tak menentu, saya pun bingung jika harus mengidentifikasi ini sebagai nikmat atau siksa. Biasanya hal yang syubhat (tak jelas) dalam agama segera di kategorikan sebagai hal-hal yang lebih baik di tinggalkan, karena sudah sangat mepet dengan Haram...

Tapi saya terus merenungkan, bahwa betapa banyak hal-hal di dunia ini yang tak Tuhan halalkan juga tidak Ia haramkan... karena ketidak jelasan nya itulah para Ulama pakar hukum mengatakan bahwa al-ashlu fil umur al ibahah, "...bahwa yang mula-mula dalam segala hal adalah diperbolehkan..." dan karena boleh (mubah), maka hal-hal yang tak jelas itu menjadi nikmat....

Dalam level itu saya tiba-tiba teringat atas ketidakjelasan rasa yang saya alami. Benar bahwa otak dan nalar kita belum terbiasa untuk menikmati warna-warna yang tidak tegas; warna-warna yang memiliki spektrum dan bergradasi.. Saya sadari, bahwa mungkin kelemahan kita adalah bahwa kita telah lama menyukai gradasi warna sebagai obyek visual saja; kita pandai memilih kain atau lukisan yang memiliki corak dengan ribuan warna yang berkelindan dan berbaur satu sama lain, Tapi dalam pola fikir, kita masih sangat kaku... kita hanya menerima apa yang tegas, apa yang jelas....hitam atau putih?

Dalam perenungan ini mungkin saya harus lebih membuka hati dan mencoba menjadi lebih mengerti bahwa demikianlah kasih Tuhan dikirimkan apa adanya. Tak selalu ia harus dengan jelas-jelas mengirimkan bahagia atau kesedihan. Terkadang ia hanya kirimkan perasaan yang datar, tak menentu... saya harus mulai berani menerima fakta bahwa nyatanya tak semua makanan harus disajikan panas atau dingin. Sebagian makanan lebih enak disajikan pada saat tak panas dan tak dingin, suam-suam kuku.



Sunday, July 14, 2013

(6) Benar-benar Prihatin


Sudah hari ke enam kita berpuasa. Tubuh ragawi kita sudah sedikit demi sedikit menyesuaikan pola kerjanya. Jika puasa ini hanya dilihat sebagai bentuk dari aktifitas fisik, maka sebenarnya situasi paling genting dan mengkhawatirkan itu mungkin hanya berada di hari-hari pertama ini saja, masa transisi; yaitu saat kita mengajak serta seluruh mahluk-mahluk kecil yang membentuk tubuh kita untuk bekerjasama; menyesuaikan diri dalam hal menata pola konsumsi. Setelah hari-hari pertama ini, segalanya akan normal-normal saja...

Fikiran saya tiba-tiba dangkal, melihat aktifitas puasa ini sebagai perpindahan jam makan, seiring dengan fakta bahwa yang saya jumpai dalam diri bukanlah sebentuk olah keprihatinan. Ada semacam ironi bahwa bukan nya bulan puasa ini mengerem perilaku konsumtif kita, tapi bulan ini seperti justru menaikkan index belanja kita. Bahkan jika saya amati dalam keluarga sendiri, puasa bukannya untuk makan  minum lebih seadanya, namun justru sehari-hari menu buka puasa dan sahur ini bagaikan pesta sebulan utuh.

Kemarin saya menghardik canda dengan istri saya yang saat berbuka belum usai ia sudah menanyakan "mas, kita mau sahur apa ya...?" Saya mengingatkannya dengan nada sedikit geram karena pertanyaan "mau sahur apa" itu sama sekali bukan karena kita tidak memiliki makanan untuk sahur, tapi ia bertanya begitu karena justru kami memiliki persediaan makanan sangat melimpah;  kami bebas mau masak makanan apa. Jika mau, kami bahkan bisa keluar rumah pukul  tiga pagi, seperti yang kami lakukan dua hari lalu, untuk berziarah ke warung ala timur tengah yang menyediakan menu serba lezat...Ya, kami memang harus banyak-banyak bersyukur dan berbagi. Namun disisi lain, kami harus gelisah, bahwa saya kira ada yang lebih bisa diperbaiki dari cara kami membelanjakan harta di bulan ini, sehingga bulan ini benar-benar mencerminkan kata "puasa", bukan sebaliknya; memanjakan nafsu yang rakus...

Setahu saya, telah jamak diwacanakan dalam ajaran agama-agama bahwa sebenarnya puasa sebagai bentuk mujahadah (laku tapa) itu seharusnya mampu menginspirasikan makna-makna keprihatinan. Mungkin hampir semua umat beragama mengerti bahwa puasa itu sangat erat kaitannya dengan tujuan-tujuan yang sakral seperti upaya pertobatan, pendekatan yang ilahi dan seterusnya. Misal, orang-orang Yahudi yang juga berpuasa pada hari Senin dan kamis; mereka berpuasa di hari penebusan dosa "Yom Kippur" (yang mungkin dalam bahasa Arab sepadan dengan istilah "Yaum kafarat"). Saya pernah duduk satu taxi dengan salah satu teman dari agama Katolik, lalu ia menjelaskan panjang lebar tentang puasa Kristiani selama empat puluh hari sebagai bentuk keprihatinan menjelang Paskah. Dalam Islam pun sebenarnya gagasan nya mirip-mirip saja; untuk pertaubatan, perbanyakan ibadah; pendekatan diri kepada yang Ilahi, pembersihan diri dari nafsu-nafsu yang duniawi, termasuk keserakahan yang tak pernah dibelenggu. Tapi itu semua adalah teori. Prakteknya, masing-masing kita yang tahu, bukan?        

Saya pernah bertanya; mengapa puasa yang diimani sebagai pilar agama ini wajib dilakukan selama tiga puluh hari penuh? (Qs.2:183). Menurut Anda puasa tiga puluh hari penuh itu lama atau sebentar? Relatif! Saya memiliki dua orang paman dari Ibu, salah satunya sudah wafat  (Rabbuna yarham). Setahu saya, mereka berdua menjalankan puasa sehari-hari walau bukan di bulan Ramadhan. Sudah bertahun-tahun ini, jika kami bepergian bersama misalnya, apalagi jika suasana hari sedang terik, kami biasanya membujuk paman yang satu ini untuk membatalkan puasanya. Semuanya melihatnya dengan rasa iba dan kasihan, namun selalu saja paman saya ini menolak membatalkan puasanya, karena menurutnya jika ia makan di siang hari justru badannya jadi terasa sakit dan tidak nyaman.

Nah, lagi-lagi karena teringat alasan paman itu pula, saya jadi meragukan puasa saya sendiri; jika prakteknya hanya tentang tidak makan dan minum hingga azan maghrib, maka jangan-jangan yang saya lakukan ini hanya semacam penerapan pola diet saja. Mungkin setelah lima hingga sepuluh hari pertama ini, segalanya sudah menjadi normal teradaptasi; saya bahkan kini tak pernah merasakan lagi haus dan lapar saat puasa.    

Ah, semoga renungan ini tak sekedar bual-bualan, karena hampir semalaman saya tak bisa tidur dan saya harus minum obat anti alergi karena tubuh saya sedang rentan dengan hawa dingin. Istri saya pun jadi ikutan terjaga karena melihat mata saya mulai memerah dan bersin-bersin...Sialnya, obat peredam alergi saya sungguh membuat lelap, sampai-sampai hampir saja kami berdua kehabisan waktu untuk makan sahur pagi tadi.

Ini sedikit konyol, karena mungkin saya termakan oleh celotehan saya sendiri, akhirnya saya dan istri pun harus makan sahur seadanya. Padahal rencananya, kami akan bangun bersama untuk menutup witir, kemudian beradu masak dengan jurus dan resep kuliner masing-masing... Pagi tadi, istri saya tak henti-hentinya tertawa setelah kami selesai melahap makanan yang seadanya, dan saya pun tersadar bahwa saya lah yang ingin puasa sambil benar-benar prihatin... Mungkin Tuhan tak suka jika saya hanya membual, sehingga ia menjadikan puasa saya hari ini sebagai jawaban-Nya....^_^


 

(5) Sejenak Menjadi Asing

Salah satu teman memberi komentar tulisan-tulisan saya dalam "Tafakkur Ramadhan" melalui kotak surat (inbox) di akun Facebook. Ia menanyakan dengan serius mengapa tulisan-tulisan saya kali ini selalu muram dan 'galau'? Karena kebaikan hatinya pula, ia tak inginkan jawaban; ia hanya ingin mengungkapkan doanya semoga Allah menerangi jalan saya dan berkenan mengurai benang-benang permasalahan yang terpintal acak oleh ketidakpastian zaman. 

Melalui tulisan saya kali ini, saya ingin berterimakasih kepadanya sebagai ungkapan "amin" atas doa-doa baik dan perhatiannya. Saya juga ingin menyatakan permintaan maaf atas ketidaksengajaan saya menyeret orang lain ke dalam kegalauan-kegalauan pribadi di ruang saya yang sedang gelap dan pengap. 

Tentu ini bukan ungkapan apologetik belaka, karena bagaimana pun, yang saya lakukan adalah menuliskan satu rasa dalam satu hari. Padahal kita semua tahu betapa banyak sebenarnya yang kita rasakan sejak matahari terbit hingga terbit lagi...? Dalam sehari, sebenarnya manusia tidak pernah hanya diberikan pengalaman sedih saja atau senang saja. Dalam keseharian, tentu dua hal itu datang menyapa berganti-ganti, hanya saja apa yang dominan kemudian menjadi kuburan atas rasa yang lain, itu saja penyebabnya. 

Bukankah ini seperti penulisan sejarah, kita hanya cenderung mencatat apa yang ingin kita abadikan saja; kita sering tak menyadari bahwa disana selalu ada opsi tentang apa yang ingin kita ingat dan apa yang ingin kita lupakan. Sejatinya, sejarah adalah proses mengingat dan melupakan dalam satu waktu, dan dalam proses itu selalu ada pemilihan yang subyektif tentang apa yang kita sebut dengan istilah "memori". Ketidaksadaran atas keterlibatan diri atau subyek inilah yang biasanya disebut dengan alienasi (keterasingan). 

Saat melakukan refleksi atau tafaakur, sebenarnya kita memang sedang mengasing sebentar. Sejenak kita keluar dari diri kita sendiri, agar diri kita menjadi lebih nampak dan lebih terkenali. Ada ungkapan bijak mengatakan "tiada nabi yang mudah diterima di negerinya sendiri" karena memang biasanya manusia lebih menghargai sesuatu yang baru; sesuatu yang asing. Saat nabi-nabi itu menjadi orang asing, terbukti mereka lebih mudah diterima dan dipercaya...

Teman, hampir-hampir semua ibadah kita adalah bentuk-bentuk pengasingan... sholat adalah saat kita sejenak mengasingkan diri dari kebisingan dunia. Zakat sebagai pengasingan diri dari jiwa yang biasanya tak peduli sesama; pengasingan dari nafsu yang wajar jika tak berbagi. Haji juga demikian halnya, saat di Makkah kita melakukan ritual-ritual "asing" di tempat asing...  Jika kita resapi satu esensi lain dari bulan suci Ramadhan ini, kita juga dapati bulan ini sebagai wujud dari prosesi pengasingan; kita menjadi "asing"  karena tiba-tiba harus mengubah pola makan dan minum yang sudah biasa... menjadi asing dengan "mendadak sholeh"... menjadi asing dengan kebiasaan-kebiasaan baru yang tidak lumrah dilakukan di sepanjang tahun... 

Jadi, kembali pada kesan tentang tulisan-tulisan saya pada Refleksi Ramadhan kali ini, sebenarnya yang muncul hanyalah wujud dari percikan pengasingan demi pengasingan. Ia tidak pernah mampu menjadi gambaran yang mewakili atau bahkan utuh tentang apa yang sebenarnya saya alami. Jika seseorang bercerita tentang kegembiraan, tentu ia punya sisi-sisi kelam kesedihan yang tidak ia ceritakan, demikian pula sebaliknya, orang yang bercerita tentang sedih, tak semua sisi kehidupannya persis seperti kegelapan yang anda bayangkan. Selalu ada kompleksitas yang tak bisa tertangkap utuh oleh jala kata-kata, sebab yang bisa menangkapnya hanya pengertian dan kebijaksanaan.....        

Friday, July 12, 2013

(4) Kelahiran yang ke seribu


Semalam, sebelum tidur, istri saya tiba-tiba bertanya; "Dalam agama lain ada doktrin reinkarnasi, Andai doktrin itu benar, mas mau terlahir lagi sebagai apa?" Saya tidak lantas menjawab, hanya menyungging senyum. "kepingin apa yang berubah?" lanjutnya... saya pun masih melanjutkan diam.. Istri saya pun terus menggoda "pasti nya ingin istrinya ya.. yang berubah?"...sambil ia ngakak sendiri....

Untuk pertanyaannya semalam saya diam, karena sebenarnya saya memang sedang tidak konsen. Beberapa pertanyaan nya juga terabaikan beberapa kali, karena sekali lagi, saya sedang berada pada level yang lain dari diri saya... sebenarnya saya sedang "tidak hadir". Tapi bagaimanapun, khusus pertanyaan terakhir itu telinga saya sempat merekam dengan baik kemudian membungkusnya ke alam bawah sadar.

Di sepertiga malam tadi, saya terbangun dengan perasaan syukur karena merasa seperti "terlahir kembali".   karena hal itu pula saya buru-buru bercermin, walau sadar bahwa tentu tidak akan ada perubahan yang berarti pada keseluruhan jasad dan jiwa saya. Ternyata benar, saya masih sama, lahir batin saya juga belum beranjak dari prosesi duka; penguburan hasrat; pembunuhan massive untuk segala bentuk kemarahan dan kekecewaan pada keadaan yang saya alami beberapa hari terakhir.

Ya, hari-hari awal Ramadhan tahun ini serasa dibumbui keprihatinan; kesedihan atas kuasa-kuasa para gajah yang bertengkar culas menghentak-hentak tanah, memanjakan sengkuni sambil menari-nari dalam iringan gending murka dan amarah. Tidak untuk diceritakan detilnya dalam catatan ini, namun sebagaimana kita semua insafi, bahwa memang, ada hari-hari dimana kesedihan menggelayut gelap seperti mendung yang pekat.

Entah kapan badai akan benar-benar berlalu, namun saya yakin bahwa setiap hari adalah ujian atas cinta kasih; bahwa setiap cinta dan benci selalu membawa serta benih-benih pendewasaan. Sebagian dari kita membuangnya sia-sia dengan melepas kemarahan dan membiarkannya terbuang, lalu mati di tanah gersang; sebagian lagi memungut setiap bijinya dengan hati-hati; menanam dan bersabar kemudian menunggunya tumbuh....

Alhamdulillah bahwa hingga saat ini, dengan sekuat hati, saya masih memilih untuk menjadi bagian dari golongan kedua, yang menghargai tunas-tunas, walau ia masih sebentuk harap. Khususnya di bulan suci ini, kemarahan yang meletup tentu tak akan sebanding dengan fadhilah (nilai) dari kesadaran untuk mengkondisikan raga dan nyawa agar terus menggenggam kesabaran. Bukankah jika dituruti, dahaga nafsu tak akan tertebus oleh sebanyak apapun air di lautan?(Q.s 3: 133-134)

Bersabar dan terus mengekang nafsu, walau selalu sulit menyembunyikan rasa; apalagi jika jagat seakan-akan sedang bersekutu untuk memicu ego sebagai "saya". Saya hanya meredam semua itu dengan pertanyaan;  apakah yang disebut "saya" itu ada? ataukah sebenarnya semua eksistensi ini hanya muslihat yang bersifat fatamorgana... bahwa semua ini pada hakikatnya adalah bagian-bagian kecil dari proses alam. Semua kebaikan dan keburukan hanya menjalankan misinya sebagai energi yang sementara; berputar pada poros yang disebut "kehidupan" yang sudah di pastikan akan penuh kesulitan bagai kabut yang kelam (Qs.90:4)?

Lalu untuk apa kita membela makna-makna atas apa yang kita banggakan sebagai "saya", atau "kamu", "dia" atau "mereka"? Jika pada hakikatnya, semua yang tersebut itu hanyalah leburan dari butiran-butiran debu yang berterbangan saja? Saudara sepupu saya pernah bilang "sabarlah, karena semua yang terjadi hanya akan menjadi angin lalu" Saya ingat betul nasehatnya itu dan ingin membawanya serta sebagai salah satu premis untuk menepis pertanyaan istri saya semalam; "mau terlahir lagi sebagai apa?"

Jujur, karena serasa saya benar-benar tak mampu dan tak ingin menjawab pertanyaan terlihat "konyol" seperti itu...walau sebenarnya itu adalah pertanyaan eksistensial paling briliant. Bagi saya, menjadi apapun atau siapapun kita, tiadalah banyak berubah. Karena akan tetap saja bahwa setiap yang "ada" pasti harus melewati episode-episode suka dan duka, silih berganti, begitu saja...bahwa memang hanya ada satu ungkapan yang relatif jitu untuk digunakan sebagai penghibur sekaligus pengingat diri.  Ungkapan itu berbunyi  "Tiada badai yang tak berlalu dan tiada pesta yang tak usai..."

Jadi, sambil menelan santap sahur pagi tadi, saya mencoba menelan "yang manis" dan "yang pahit" silih berganti... Dalam kesadaran penuh saya merasa tak ingin menjadi apa-apa atau siapa-siapa...saya tak begitu menggubris jika harus terlahir seratus atau seribu kali lagi, karena sama saja...kesempurnaan bukan milik satu persatu kita. Karena hanya Yang manunggal yang berhak atas apa yang kita sebut "kestabilan" dan tetap saja  Wa lam Yakun lahu kufuwan Ahad (Dia; tiada yang bisa menyamai-Nya)            




       

   

Thursday, July 11, 2013

(3) Melampaui Diri

Dalam menghadapi masalah, pernahkah anda merasa habis; karena saking ruwet nya sebuah persoalan, anda merasa tak memiliki lagi bahan untuk difikir? Anda, sudah menyerah; kondisi anda seperti ikan yang dikeluarkan dari air, menggelepar. Dalam kemabukan itu, Anda berada pada situasi liminal; antara hidup dan mati, antara ada dan tiada?

Suatu hari, Ayah saya pernah berkata "selama engkau masih berfikir untuk mereka-reka penyelesaian, maka Tuhan akan biarkan dirimu berupaya, Ia akan tersenyum saja sambil melihatmu berbuat ini dan itu. Namun saat dirimu telah benar-benar berserah; melepaskan otak dan nalar mu, kemudian menyerahkan segala yang rumit kepada-Nya; Ia tak akan segan turun tangan". Sedikit normative ungkapan ini, dan menurut saya ini adalah tantangan gila untuk dicoba. Saya bilang normative, karena yang seperti ini mungkin mudah diteorikan. Tapi untuk dijalankan, oh sungguh sulitnya alangkah.

Namun, mungkin saja ujar-ujaran ayah saya itu akan berguna saat nafas kita benar-benar sesak dan merasa bahwa tiada hal yang bisa menghibur selain berserah. Ya, ada momen-momen semacam itu dalam kehidupan. Ada saat anda atau saya dihadapkan pada situasi seperti ikan yang sekarat; yang tanpa segaja terpental dari jalur kehidupan yang wajar, hingga tak tau lagi bagaimana untuk pulang. Pada saat yang sangat kritis dan genting itu, saat kita bahkan tak tahu apakah kita akan selamat; tiba-tiba ada semacam mukjizat yang memungut atau bahkan menghempas ikan tadi, lalu memasukkannya kembali ke dalam genangan air kolam... secara tiba-tiba; segalanya menjadi normal kembali...ingsang ikan pun kembali bekerja seperti sedia kala.

Tuhan, apakah benar demikian cara-Nya bekerja? Apakah yang kita sebut mukjizat itu bisa diterka atau diduga? Atau, penyelamatan-penyelamatan seperti itu hanyalah semacam random events (hal-hal yang tak bisa diduga; bahkan tak bisa diharap)? Saat yang kita sebut "mukjizat" telah hampir bisa kita rumuskan; lalu apa lagi yang tersisa? Saat kita berserah kita berharap bahwa penyerahan diri kita akan berbuntut pada "nalar" yang hampir memastikan kehadiran-Nya, apakah kita bisa disebut telah benar-benar pasrah?

Bagaimana jika ikan yang menggelepar termegap-megap tadi benar-benar tak bisa kembali ke kolam air; ia hanya menghabiskan nafas yang tersisa sambil menanti kematian ditepi tumbukan bumbu dan minyak panas penggorengan? Teman, harus kita akui bahwa dunia ini tak selalu tentang drama "sengsara membawa nikmat"; bahwa tak selamanya kita bisa berakit-rakit ke hulu lalu berenang ke tepian.... karena bisa jadi, memang tak ada waktu untuk menepi. Hidup kadangkala juga tentang bersakit-sakit tanpa harus berakhir dengan kesenangan; hidup juga tentang susah payah yang berujung kematian.

Menakutkan, karena yang saya bicarakan ini menepis apa yang kerap kita sebut sebagai pengharapan; optimisme. Namun, saya memang sedang membincang satu bentuk kepasrahan yang benar-benar bulat. kepasrahan yang bahkan rela jika harus berujung sedih dan bukan kebahagiaan. Apakah mungkin? Apa yang kita ceritakan tentang "Tawakkal" atau kepasrahan adalah selalu tentang "ending" yang bahagia... pertanyaan saya; bukankah kebesaran-Nya tak menjadi berkurang jika Ia memang tak memberikan ijabah atau jawaban atas doa-doa? Tuhan tak mengingkari janji, demikian firman-Nya berbicara (Q.s 40:60/3:9). Tapi jika Ia ingkar, apakah Ia lantas tak menjadi Tuhan lagi? bukankah tetap saja kita menyebut-Nya TUHAN; baik saat Ia menceburkan kita kembali ke dalam kolam kehidupan; atau menghempaskan kita ke dalam didihan minyak penggorengan?

Memang saya hanya membicarakan yang duniawi, karena tentu saja di akhirat akan ada pemenuhan atas setiap janji dengan seadil-adilnya (Q.s 3:185), namun Subhanallah, ternyata selama ini ada kekerdilan jiwa untuk mengakui kemutlakan kuasa-Nya.....karena bahkan dalam munajat-munajat malam saya di bulan suci ini saya baru sampai pada taraf penyerahan diri yang mensyaratkan keberpihakan-Nya....      
    

Wednesday, July 10, 2013

(2) Kepatuhan yang Labil


Sudah beberapa Ramadhan saya jalani. sembari bersyukur atas pemberhentian kali ini, saya juga bersyukur bahwa saya masih memiliki keinginan untuk menulis beberapa baris selepas shalat malam bersama istri...Ini hanya tradisi lima hingga lima belas menit; menulis apa saja yang terlintas. Modalnya hanya kejujuran atas apa yang benar-benar saya alami dan saya rasakan.

Entah, jika bisa dianggap sebagai bentuk evaluasi pribadi, namun sekujur jiwa saya merasakan ekstase yang sangat intim dengan diri saya yang lain; satu lapis eksistensi yang tak mampu saya dustakan; sesuatu yang rentan dan rapuh di dalam sana; sesuatu yang tak henti-hentinya bertanya...

Sederhana, pertanyaan saya kali ini berupa otokritik; bahwa apakah dengan menuliskan catatan-catatan sperti ini, saya akan terbantu meraih sejengkal saja peningkatan? satu saja anak tangga kebaikan hingga saya bisa merasa lebih damai; lebih bahagia?

Mungkin ada pertanyaan yang lebih mendasar dari itu "Perlukah ada gairah untuk menjadi manusia yang terus meningkat lebih baik dan lebih baik lagi"? Dalam hidup, perlukah ada keinginan untuk memiliki tingkat spiritualitas yang merangkak sempurna; mendekati kesucian para malaikat"? satu kondisi mental yang stabil, yang baik, terus demikian, bahkan abadi?  atau sebenarnya kita tak perlu idealis seperti itu, justru fluktuasi dan naik turun ketaatan kita itu lah inti nya...

Bahwa mungkin sebenarnya Tuhan inginkan kita agar tetap labil, karena jika kondisi baik-buruk kita stabil, maka  tak akan ada lagi dinamika kebaikan dan kejahatan; pahala dan dosa; kesalahan dan pengampunan..saat kebaikan menjadi pasti dan abadi, maka kosmologi penciptaan ini menjadi rusak; skenario dari drama kehidupan ini tak lagi menarik....Duh, saya jadi kalut... karena tiba-tiba saya teringat cerita tentang Adam, manusia pertama yang gara-gara ingin stabil; menjadi seperti malaikat ia justru dihukum dengan dicampakkan ke alam tanah...

Jadi, hasrat untuk selalu menjadi baik dan lebih baik ini hasrat saya ataukah hasrat setan yang terlihat baik karena dibalut tipuan?  Apakah ini sebenarnya bentuk lain dari forbidden fruit (buah larangan) yang pernah dimuslihatkan para dedengkot Iblis kepada moyang kita itu?

Terkadang, saya harus jengkel dengan lapis eksistensi dalam diri saya  yang paling cerewet itu; gemar bertanya dan menginterupsi semua hal; namun tanpa pertanyaan-pertanyaan itu, apalagi yang bisa dibanggakan dari nafas kehidupan ini? Dalam beragama, ada beberapa hal yang kita jalankan tanpa banyak tanya. Ada dogma-dogma yang begitu saja kita terima dan kita jalankan tanpa kita harus mengusik nalar. tapi lagi-lagi, saya harus menjustifikasi keabsahan dari hak kita untuk selalu bertanya...

Dulu sewaktu dipesantren diceritakan bahwa para Malaikat itu adalah mahluk yang paling dekat dengan Tuhan. Mereka adalah rumpun ciptaan yang di design hanya untuk taat tanpa sanggahan.  namun akhir-akhir
ini saya temukan; bahwa malaikat pun juga sebenarnya tak sedungu itu... Benar bahwa mereka adalah mahluk paling patuh; namun mereka juga bertanya tentang kepatuhan mereka... Saat Tuhan memerintahkan ketundukan kepada Adam, mereka juga cakap dan nakal berinterupsi (Qs. al-Baqarah: 30)...

Jadi, manakah yang lebih baik; asal patuh begitu saja, ataukah sebenarnya kita perlu memiliki ketundukan dan kepatuhan yang proporsional; ketaatan yang kita jalankan setelah kita memiliki pengertian yang memadai? Tak ingin menjadi konservatif atau liberal; tapi sepertinya, saya enggan menerima doktrin kalangan Sufi yang mengatakan bahwa keimanan orang-orang yang bodoh (Imanul-Jahil) itu adalah derajat keimanan paling tinggi... bahkan seperti malaikat-malaikat itu, saya lebih memilih untuk menjadi hamba yang tunduk dan bertanya.....

Tuesday, July 9, 2013

(1) Ramadhan: Mencairkan yang beku


Banyak sekali perumpamaan yang bisa menjadi alasan penghormatan atas kedatangan bulan suci ini; Jika tahun lalu saya memaknai Ramadhan sebagai dermaga pemberhentian, kali ini saya ingin melihatnya sebagai kesempatan untuk mencairkan kembali spiritualitas yang beku.

Menurut saya, spiritualitas memang tak pernah mati. Selama kita masih hidup dan bernyawa, potensi spiritualitas kita akan selalu ada dan tersedia. Saat hidup kita terasa kering dan hampa, sebenarnya yang terjadi adalah bahwa ada kemungkinan spiritualitas kita sedang membatu atau telah membeku, sebab kita terlalu lama mengabaikannya.

Dari bahasanya, SPIRIT berarti Ruh atau Jiwa. Bahwa memang ada bagian-bagian dalam diri ini yang sifatnya sangat absurd. Dia berada diluar rasio dan emosi, namun bisa memengaruhi keduanya. Dialah bagian-bagian tak terjabarkan yang saya kenali sebagai "yang spiritual". Tuhan menegaskan absurditas jiwa dalam kitab suci dengan memblokir akses pengetahuan kita tentang nya; kita hanya boleh tahu sedikit saja tentangnya (al-Isra'; 85). Menarik, karena spiritualitas dalam bahasa kita disebut sebagai yang Rohani. Rohani dari kata Roh/ Ruuh yang merupakan derivasi (turunan) dari kata Riih yang berarti angin; Ia ada dan bisa dirasa, walaupun tak kasat mata.

Spiritual atau 'yang spirit' sebenarnya juga bisa difahami sebagai energi; sesuatu yang memberi daya dan menghidupi. Bisa dibayangkan betapa kering kehidupan ini tanpa energi; betapa sia-sia alat-alat elektronik itu tanpa aliran listrik.

Puasa sebagai defrostasi (pencairan)  spiritual, berarti melampaui gairah penyambutan untuk sekedar perayaan atas momen-momen yang material. SPIRITUAL berarti bersifat kejiwaan, bukan kebendaan. Ini tentu saja telah jamak diaminkan khalayak, bahwa Ramadhan itu lebih dari sekedar pengendalian diri atas hal-hal yang material seperti makan, minum dan sex, namun penyambutan Ramadhan adalah gairah untuk kembali mencairkan kembali kebekuan jiwa dengan memurnikan tubuh dari sekedar hasrat untuk memenuhi syahwat terhadap yang materi. Penyambutan Ramadhan adalah gairah untuk mendapatkan kembali energi kehidupan, agar hari-hari menjadi kembali seimbang dan lebih segar...  





Monday, May 13, 2013

berbahagia agar bahagia (?)



Ada seorang teman yang mengeluhkan kegagalan hidup. Kulihat umurnya masih tiga puluhan sekian… sambil kudengarkan ia bercerita, aku tangkap kelebat matanya yang pancarkan gemuruh penyesalan. Aku mencoba tenang untuk mengerti rasanya, sebelum aku mulai bernostalsia tentang masa-masa yang pernah kita habiskan bersama. Kuingatkan dirinya tentang “dirinya” yang dulu, lalu segera kutarik ingatannya pada fakta tentang dirinya yang sekarang….

Kami berdua sempat terdiam untuk sesaat, sebelum aku tiba-tiba tercengang melihat senyumnya yang terkembang. Tanpa kata-kata… kami berdua saling menatap, sambil mengucap Alhamdulillah, kami rasakan damai....

Teman, aku bilang, jangan bandingkan dirimu dengan orang lain; pencapaian mu dengan pencapaian orang lain; harta mu dengan harta orang lain. Bandingkanlah dirimu yang sekarang dengan diri mu yang dulu. Terkadang, karena kita terus melangkah, kita tak pernah menyadari betapa jauh rentang jarak yang yang sudah kita tempuh.… Tetaplah bahagia saat bernafas. Karena, kebahagiaan itu bukan tujuan, kebahagiaan adalah jalan untuk mencapai tujuan...     

Madyan: #a tribute to a friendship