Wednesday, February 15, 2012

(12) Bosan Beribadah, Karena Memang Berat (?)


Apa yang kita lakukan jika mulai bosan beribadah? Ya, merasa lelah dengan esensi dari tujuan keterciptaan kita sendiri? dalam sebuah hadits, "Tuhan tidak akan bosan, sampai kita sendiri yang bosan"...  
Hmm Jujur, hari ini saya merasa lelah dengan ritme puasa yang baru berjalan 12 hari ini. Kata siapa puasa itu produktif? Kok saya tidak merasa demikian? Tidur saya jadi lebih banyak, namun kacau; tak nyenyak, bangun dengan badan pegal-pegal serta terpaksa. Saya kurang suka makan di pagi buta, tapi saya harus santap sahur itu agar kinerja saya disiang hari tetap jalan... beberapa kali saya menjadi mual gara-gara perilaku yang menurut saya tidak sehat itu, makan kenyang dan tidur setelah subuh. beragam diet dicoba, mulai nasi, roti, outmeal dan berganti buah. Tapi, tidur setelah subuh dengan perut yang dipaksa kenyang itu, apa sih enaknya? 

Pernah beberapa kali saya tidak tidur pagi, namun saat siang hari, kehausan itu terasa mencekik-cekik. Subhanallah...mau tidak mau, tidur pagi itu benar-benar harus saya maknai sebagai 'penghematan energi" atau 'penghematan air dalam tubuh saya". apakah itu ibadah? pragmatis mungkin iya, tapi ya terserahlah 'itung-itungannya' gimana?.

konon, Perang Badar di zaman Rasul itu terjadi di bulan Ramadhan. Saya tiba-tiba ingat perbukitan di Mekah yang saya kunjungi pada tahun 2001 dan 2003 dulu... Saya membayangkan suhu panasnya hingga bebatuan terjal yang sebegitu rupa, kemudian membayangkan para Sahabat nabi berpuasa dalam konteks itu. Alih-alih membayangkan mereka tiduran menghemat air atau energi, seperti saya. Mereka itu beradu fisik dalam perang! Aduh, saya tiba-tiba bertanya dalam hati 'beneran gak sih mereka bisa kuat berperang sambil puasa di gurun dengan matahari seterik itu...!? Hmm biar saya simpan pertanyaan saya ini dalam hati, walaupun jelas riwayat-riwayat itu bercerita tentang ketabahan mereka saat berperang sambil berpuasa. 

Tapi teman, benar...saya sendiri merasa harus jujur bahwa ibadah puasa ini berat. sholat lima kali itu juga berat...haji berhimpit-himpit itu berat...mengeluarkan zakat itu hati kita juga berat. Saya tak perlu berpura-pura sok kuat dan sok enjoy dengan ritus-ritus ini, karena dalam al-Quran, Tuhan memang bilang bahwa Sholat itu beban berat (Wa innaha lakabiroh). disebutkan dalam lanjutan ayat itu "terkecuali bagi orang-orang yang khusu'"

Nah, Khushu', ya kwalitas hati itu yang perlu kita gapai agar ibadah sholat menjadi ringan..., tanpa khusu' itu, (maaf) saya bisa pastikan dusta jika orang mengaku-ngaku bahwa ibadah shalat itu ringan. demikian pula saya fikir Puasa, Zakat dan Haji...ternyata ada esensi yang harus kita raih agar membantu kita meringankan beban-beban ini. Saya benar-benar tak ingin Ibadah saya 'hanya' setingkat dengan penyiksaan diri, sehingga ujung-ujungnya Ramadhan tidak memberikan kesan apa-apa selain lapar dan dahaga, seperti yang disabdakan nabi SAW. Namun untuk menggapai itu saya merasa bahwa saya harus tahu apa yang sebenarnya saya cari dari ibadah ini? saya ingin melakukannya dengan khusu' yang sejatinya berarti "penyegajaan untuk bertunduk" dan "sadar akan penghambaan".

(Madyan: Tafakkur Ramadhan)

(9) Korelasi Puasa dan Taqwa


Subuh tadi saya membaca ulang ayat-ayat alQuran secara random (acak) dan tiba-tiba saya ingin membaca ayat tentang korelasi Ramadhan dan ketaqwaan QS 2:183. Ayat itu masyhur dibaca dimana-mana: "wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atasmu berpuasa sebagaimana puasa itu telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa". Tepat disitu ayat berhenti dengan sebuah penanda. Namun yang menarik, sebagian pakartilawah meletakkan tanda berhenti (waqaf) yang tidak begitu 'tegas', sehingga ayat itu bisa langsung diteruskan dengan ayat selanjutnya. "pada beberapa hari yang terhitung.." (2:184)  

Dua kali ayat itu saya baca dengan dua pemberhentian yang berbeda. konsekwensinya, muncul dua makna:
1. Tuhan memerintahkan puasa pada bulan ramadhan, agar kita menjadi orang-orang yang bertaqwa.
2. Tuhan memerintahkan puasa pada bulan ramadhan, agar pada hari-hari yang terhitung ini kita menjadi bertaqwa...

Makna yang kedua ini sedikit menggelitik. Seakan-akan ketaqwaan itu secara lebih khusus diharapkan meningkat pada hari-hari yang terhitung ini saja (baca: tiga puluh hari)...lho apa di hari-hari lain kita tak perlu peningkatan taqwa? Bukan begitu, tapi lihatlah fokus pemberhentian ini, maknanya  menjadi lebih 'manusiawi' dan lebih mudah tercerna. Iman itu memang pasang surut; ketaqwaan itu datang dan pergi. Namun ayat dengan 'cara pemberhentian' ini seakan ingin berbicara kepada kita bahwa pada bulan ini khususnya, ketaqwaan seharusnya DATANG dan MENINGGI. Tak boleh surut atau menipis. Jujur tiba-tiba saya menyukai cara baca saya yang kedua itu. 

Ada orang-orang yang sangat skeptis dan sinis tentang Ramadhan. Sambil berkelakar mereka bilang "mumpung Ramadhan, ibadahnya dibanyakin"..."paling-paling sepuluh hari pertama saja masjid nya penuh, nanti sepuluh hari kedua, pusat keramaian sudah berpindah ke pasar dan  mall-mall", " oh orang itu rajin sedekah di bulan ramadhan aja"...dan seterusnya...Saya ingin katakan, TIDAK APA-APA, memang demikianlah yang dimaksudkan. Kita tidak mengandaikan bahwa gara-gara SATU bulan puasa, kemudian iman dan taqwa menjadi meningkat secara stabil satu tahun penuh, ibadah dan ketaatan meningkat terus tanpa kendala...impossible!. Saya tahu diri, bahwa ada kalanya dalam satu tahun itu iman kita teruji sana sini. Bagai lautan, badainya tak mampu diprediksi. Nyatanya, Tuhan memang gemar membalik-balik hati 'Muqallibal Quluub". Sabda Nabi, "keimanan dalam hati itu fitnah yang sangat misterius, seperti malam yang gulita, di pagi hari beriman, disore harinya kufur....di sore hari kufur, pagi nya beriman lagi..."    

Ya, memang begitulah saya fikir tentang bulan ini, sangat spesial. Saya sangat menyukai permisalan Ramadhan sebagai dermaga, seperti yang pernah saya tulis dalam 'tafakkur ramadhan' hari pertama dulu; bahwa pada bulan ini memang seharusnya amal ibadah dan kesalehan menjadi 'mendadak dangdut". Tiba-tiba kesalehan dan gelora ibadah menjadi menyala-nyala. Kalaupun nanti di luar Ramadhan ibadah dan ketaatan menyusut lagi, itu tak masalah, ketika iman menjadi surut lagi, tak apa-apa...itu wajar. memang demikian adanya pasang surut keimanan. kita ini berhenti sejenak di pelabuhan, sedang memperbaiki kapal...adapun dalam pelayaran selanjutnya kapal kita dihantam badai lagi dan menjadi rusak lagi, itu tak masalah!

Pikir saya, jika dengan pengkondisian Ramadhan saja, iman dan taqwa kita tidak pasang...maka sepertinya sungguh jauh mengharap bulan-bulan yang lain akan menjadi pecutan bagi peningkatan amal. Jika Tuhan telah hidangkan segala jamuan dan Ia telah menyebar undangan sebegitu memikat pada bulan ini, namun kita tak datang.. maka bukankah akan tipis harapan kita jika di bulan-bulan lain kita bisa 'peduli' akan panggilannya?

Rasulullah saw. pernah berharap agar seluruh tahun dijadikan Ramadhan'. tapi itu hanya harapan dan andai-andai saja...Jamuan Tuhan yang sebegini mewah tak sepanjang tahun ada. Satu bulan saja dan Ia jadikan itu sungguh istimewa. Manfaatkan waktu di pelabuhan ini untuk berbenah...kita tak akan tahu apa yang akan terjadi di lautan lepas nanti.

(Madyan: Tafakkur Ramadhan)

(15) Kehendak-Nya untuk Datang? atau Kita yang Mengundang?


Bebarapa malam ini saya menjadi Noctrunal, tak bisa terpejam di malam hari. perasaan selalu gelisah sampai waktu sahur tiba. Daripada waktu terbuang sia-sia, biasanya saya gunakan waktu untuk selsaikan beberapa pekerjaan; mengutak-atik lagi tugas-tugas saya yang entah akan selesai kapan? menulis-nulis lepas, atau merenungkan hidup sampai pukul tiga pagi, barulah kemudian saya mencari santap sahur. Beberapa hari lalu saya berjalan sendirian di jalanan besar Jakarta, sambil menunggu jika Tuhan ingin bicara dengan saya.

Ya benar, menanti Tuhan bicara...karena jika saya sedang sendiri, Tuhan biasanya datang tiba-tiba dengan memberikan getaran-getaran kerinduan...tiba-tiba hati tergugah, tiba-tiba diri menangis, tiba-tiba jiwa merasa hangat, tiba-tiba saya menjadi sangat bahagia. Tetapi pagi itu, Tuhan serasa enggan menyapa saya...kosong-kosong saja...pikiran saya justru kemana-mana. Saya, sama sekali tak bisa memegang kendali 'dzikir' saya...kata orang jawa, fikiran saya 'ngglambyar', entah terbang kemana-mana.  

Perasaan yang saya rasa mungkin seperti yang ada dalam cerita Nabi Muhammad kala beliau cemas menanti datangnya wahyu. Karena sudah terbiasa Tuhan datang, tiba-tiaba kunjungan-Nya berhenti. Beliau menjadi resah...berhari-hari, berminggu-minggu, bulan-bulan hingga hampir putus asa...Nabi pun bahkan mulai ragu, apakah benar yang beliau alami kemarin-kemarin adalah sebuah 'perjumpaan' dengan Tuhan...? Diceritakan, bahwa pada saat Nabi sudah lelah dan hampir sampai pada titik yang paling tepi dari jurang keputus asaan itu, tiba-tiba Tuhan datang lagi, seraya berfirman "Tuhan Mu tidak meninggalkan Mu' (Q.S:al-Dhuha) 

Itu cerita tentang pewahyuan Muhammad pada saat keterputusan wahyu (fatrah). Jelas, pagi itu saya tidak menanti datangnya 'wahyu', karena saya bukanlah seorang  Nabi. Tetapi saya saat itu memang sedang menanti momen-momen yang sebenarnya mirip; yaitu momen yang seharusnya tak bisa disangka-sangka itu, the Unexpected. Sayangnya, 'dzikir' saya waktu itu gagal, walau dengan segenap hati saya undang, nampaknya Tuhan tak datang dan hati saya tetap saja tak tenang....

Saya menjadi bertanya, seberapa akurat kebenaran bahwa "DZIKIR" itu menenangkan jiwa? sebuah janji Tuhan bahwa jika kita mengingat "nama'Nya, maka hati kita akan merasa tenang? akan tetapi, bagaimana kita akan tenang jika untuk berdzikir saja terkadang sulitnya bukan main? untuk menjaga nama-Nya dalam benak kita itu sebuah jerih payah, yang walau tak berkeringat, sebenarnya merupakan usaha yang luar biasa? Siapa sebenarnya yang mengendalikan otak kita ini...? apakah kita sendiri yang harus selalu menebar tali temali jala, sehingga "Tuhan" menjadi terperangkap dalam fikiran kita? ataukah sebenanarnya kita hanya dituntut untuk 'bersedia', menunggu hingga Tuhan sendiri yang akan datang "semau-mau" Dia...? Siapakah yang pegang kendali akan 'ingatan' yang kita sebut sebagai 'dzikir' itu?

KEHENDAK KITA YANG MENGUNDANG, ATAUKAH KEHENDAK-NYA UNTUK DATANG?

Suatu saat saya pernah membaca sebuah hadits Qudsy (Firman Tuhan tapi bukan al-Quran) bahwa Tuhan berada bersama orang-orang yang lapar, orang-orang yang haus, yang sakit dan yang membutuhkan. Bahwa Tuhan TIDAK berada 'diluar sana', namun Dia berada dalam alasan-alasan kemanusiaan. Hadits itu membuat saya merenung dan bertanya tentang seberapa luas makna 'dzikir' itu sebenarnya? karena saya juga menjadi ingat bahwa ketika beberapa kali saya 'peduli' terhadap orang-orang yang saya anggap 'membutuhkan' itu, hati saya kemudian menjadi tenang. 

Teman, Kita tak pernah bisa mengira-ngira kapan Tuhan akan berbisik, yang bisa kita perbuat hanyalah berharap dan mengusahakan sebuah 'perjumpaan' itu melalui persiapan-persiapan. Kita bersiap-siap dengan berbagai cara; mengaji, mendengar ceramah, sholat, duduk bersila, meditasi dan lain-lain...tak selalunya Tuhan datang. akan tetapi jarang yang terfikir bahwa sebenarnya 'Dzikir' sebagai sebuah persiapan perjumpaan dengan-Nya bisa ditempuh dengan kepedulian kepada orang-orang yang membutuhkan.

Di lintasan pagi itu, gerah malam berubah dingin merayapi jasad dan saya berfikir bahwa sebenarnya 'Dzikir kepada Allah itu tak selamanya eksklusif sebagai bentuk pengingatan akan nama-nya". Makna Dzikir kepada Allah seharusnya menjadi luas dengan kita 'berdzikir atas mahluk-mahluk-Nya yang membutuhkan. Terkadang kita gagal menemukan ketenangan hanya dengan mengingat-ingat 'nama'Nya, karena memang Ia tak hanya NAMA...bagaimpanapun, ketenangan itu seringkali datang saat kita menjumpai-Nya dengan cara menjumpai mahluk-mahluk Nya  

(Madyan: Tafakkur Ramadhan)

(14) Panen Ramadhan: Ustadz atau Selebritis?


Tadi sore saya mengisi sebuah acara, semacam ceramah sebelum berbuka. Biasanya, jadwal-jadwal begitu saya anggap sebagai temu akrab saja dengan teman, sahabat dan kenalan-kenalan baru, karena saya lebih suka 'ngobrol' dibanding menceramahi orang lain. Faktanya, saya memang bukan 'da'i', bukan juga 'penceramah'. Beberapa orang memang biasa memanggil saya Ustadz. Namun, kuping saya sedikit geli akhir-akhir ini setiap kali saya dipanggil ustadz. Karena saya tidak mempunyai YEL-YEL khusus seperti kebanyakan para ustadz di TV itu...hehehe

Ya, maaf... sebutan 'ustadz' bagi saya menjadi sedikit mengganggu, karena saya menjadi kwalahan dengan ekspektasi atau harapan-harapan masyarakat, bahwa seorang 'ustadz' tak lagi boleh 'boring' (membosankan). Mulai dari penampilan hingga isi bicaranya harus asyik! layaknya selebriti, para ustadz berganti-ganti baju koko, sekalian jadi model para perancang busana; sekalian menjadi bintang iklan beberapa produk; sekalian jadi pelawak; sekalian jadi pemain latar sinetron; sekalian menyanyi; berbagi-bagi hadiah dengan kuis-kuis dan seterusnya. Tak begitu penting isinya, toh setiap tahun yang dibicarakan ya begitu-begitu saja, ayatnya juga itu-itu juga. Yang penting, si ustadz enak dipandang, atau si ustadz pandai melucu. Adalah nilai plus jika suaranya pun merdu. lebih plus plus lagi jika sang ustadz pintar sembuhkan orang-orang sakit. duh duh duh....semua keahlian dan kelebihan itu saya tak punya. Makanya, ini bukan tulisan untuk mengkritik mereka...karena kalau saya mengkritik...saya khawatir ada yang bilang 'sirik tanda tak mampu' hehehe

Kemarin malam, sebuah stasiun TV menggelar konser musik plus 'pengajian'. Menariknya, si ustadz dikontrak untuk memberikan 'sentuhan agama' atas setiap lagu yang dinyanyikan para penyanyi yang tampil. Setiap kali penyanyi selesai dengan satu judul, ustadz nya maju memberikan ceramah dengan dalil-dalil Quran Hadis. Topik ceramahnya, disesuaikan dengan judul lagu...heheheh. 'Ajib' kata saya, karena seakan agama menjadi 'tafsir' atas muatan-muatan makna dalam lirik-lirik lagu para penyanyi. Tak semuanya lagu religi lho, tapi ditangannya, lagu 'cinta-cinta' an pun menjadi menjadi ada ayatnya! Hebat! 

Oke, anda boleh komen macam-macam. boleh suka, boleh juga tidak. Namun ada gelisah juga yang harus kita urus tentang 'RAMADHAN' ini? Sebuah konsep bulan suci yang kemudian kita komodifikasi sedemikian rupa; kita komersilkan sedemikian rupa. Entah kita berperan sebagai penjual atau pembelinya. Anugerah Tuhan memang maha luas tentang bulan ini, bukan hanya pahala yang sifatnya abstrak dan transcendent (gaib), di negara-negara berpenduduk Muslim, pundi-pundi keuntungan materi pun juga dibentang-Nya dengan luas. Nampaknya, sebagian besar dari kita juga menikmati keuntungan yang instan itu ya? Saya dapat 'tunjangan hari raya', misalnya!, atau tetangga-tetangga saya yang mengais peruntungan dengan menggelar 'bazar kaget' setiap menjelang senja; berdagang kolak dan aneka kue pembuka puasa...  Ya, bertingkat-tingkat, namun seorang ustadz kenamaan di negeri ini setiap bulan Ramadhan bisa 'panen' besar, honornya bisa dibelikan mobil mewah atau membeli rumah...itu honor pokoknya, belum bonus-bonus dari wardrobe, promosi busana-busana hingga iklan-iklan kecil itu....asoy betul! toh itu halal-halal aja...

Namun kegelisahan yang saya maksud adalah tentang nilai yang sedikit lebih dalam dibanding gebyar-gebyar materi itu. Bahwa mudah sekali media menciptakan sosok 'USTADZ' atau 'USTADZAH' di negeri ini, seperti saat media ciptakan seorang BINTANG! Ujung-ujungnya masyarakat seakan 'dipaksa' mengkonsumsi produk nya... Sebuah pertanyaan kecil, KITA KEBAGIAN APA? Setiap waktu Sahur kita hanya dilenakan dengan lawakan-lawakan dan kuis-kuis itu, kita kemudian menjadi malas berdiri untuk tunaikan tiga rakaat sholat, atau sekedar duduk berdzikir walau dengan terkantuk-kantuk?... Sahabat, hampir setiap hari saya menyesali kesia-siaan, bahwa saya TIDAK BIJAK memilih tontonan-tontonan itu, sehingga kesakralan Ramadhan serasa kering. 

Agak heran, karena justru lembaga-lembaga keagamaan seperti MUI misalnya, lebih tergoda untuk turut campur dalam penghalal-haraman BBM bersubsidi, dibanding memberikan komentar yang lebih mendidik, terkait bagimana media tak seharusnya mengeksploitasi habis-habisan bulan ini dengan tontonan-tontonan yang rubbish (sampah)... Maaf, jika kata 'sampah' itu buruk...karena sebenarnya kuis-kuis dan lawakan yang membagi-bagi uang jutaan rupiah itu memang buruk ditayangkan pada saat-saat sahur; waktu paling sakral pada bulan ini yang seharusnya lebih kita isi dengan hal-hal yang berguna.    

Saya tidak ingin mengatakan bahwa semua tontonan yang ada di TV saat Ramadhan itu 'sampah'... Kita sebenarnya bisa memilih para ustadz yang benar-benar memberikan kita ilmu dan wawasan yang lebih., yang bisa kita rasakan manfaatnya. Ada beberapa! Benar bahwa ada saatnya kita perlu menikmati lawakan, ada pula saat kita memerlukan siraman-siraman rohani yang benar-benar mengena. Kita perlu memilih lawakan yang benar-benar membikin kita terpingkal-pingkal...sebagaimana kita juga perlu memilih para da'i dan orang-orang alim yang benar-benar mampu menyentuh jiwa kita. Kita PERLU menempatkan segala hal pada tempatnya.

(Madyan: Tafakkur Ramadhan)

(13) Puasa, Radikalisme dan Warung Nasi


Ketika mengisi acara kemarin, saya ditanya tentang bagaimana respons saya terhadap kelompok Islam yang melakukansweeping atas rumah makan-rumah makan yang buka di siang bolong? Dalam hati, jelas saya sangat anti terhadap tindakan-tindakan seperti itu, namun saya harus menjawab pertanyaan itu secara verbal, yang berarti saya harus berangkat dan berakhir dengan minimal satu perspektif atau cara pandang.

Sahabat saya Yuli, seorang Buddhist beberapa hari lalu pernah berkomentar "kalau semua tempat maksiat ditutup, rumah makan dibredel, semua godaan-godaan puasa itu ditiadakan, lalu kalian puasa untuk apa?...kalian akan mengendalikan diri dari apa? Saya mengangguk dalam hati, bahwa sebenarnya disitulah pesan puasa itu terletak; untuk tergoda, untuk merasa lapar, untuk merasa haus, lelah, berat dan seterusnya....

Tapi, sebenarnya bukan karena tergoda makanan atau tergoda dengan tempat maksiat, FPI itu bertindak brutal menyegel tempat-tempat itu, namun karena mereka 'tersinggung', merasa bahwa ibadah mereka tidak 'dihormati'; 'bulan yang mereka agungkan, tidak diagungkan; hari-hari yang mereka sucikan, tidak dihargai. Ya, ada nafsu dan egoisme keberagamaan yang tidak selesai.Lalu apa bedanya membredel warung makan yang buka di siang hari itu, dengan memaksa orang lain melakukan sholat? Sama-sama memaksa sebuah ketundukan yang dimata Allah itu tidak bernilai apa-apa. Jika kita hendak berpuasa, puasalah karena kita tunduk beribadah, bukan karena dipaksa orang lain..jika hendak sholat, sholatlah karena rasa syukur penghambaan, bukan karena paksaan pihak lain. jika ingin menutup warung makan di siang hari pada bulan Ramadhan, lakukan itu  sebagai ketulusan... 

Nampaknya, gagasan bahwa Indonesia ini harus menjadi 'negara Islam' memang masih berdenyut. Tidak cukup penghormatan atas Islam itu dilakukan atas dasar 'ketulusan'. Mereka ingin 'ketulusan itu dijadikan sebuah 'sistem', di formalkan sebagai aturan-aturan negara. di sinilah beda orang yang "legowo" bahwa ia hidup ditengah perbedaan, dengan orang yang "resah" dengan perbedaan itu. Ia ingin semuanya seragam. Kalaupun tidak seragam, ia ingin warna bajunya yang paling dominan. Diskusi tentang pemisahan 'ibadah' sebagai urusan yang 'private' dari yang 'publik' tak pernah mampu menyadarkan ego dan ambisi kuasa atas orang lain.     

Namun catatan ini bukan diskusi ilmiah tentang "negara dan Syariat Islam". ini hanya tafakkur Ramadhan. Refleksinya hanya tentang moral etis dari Ramadhan itu sendiri; bahwa ramadhan sebenarnya juga merupakan media pengendalian diri, dari ketergodaan untuk merasa harus dihormati oleh semua pihak; ketergodaan untuk marah, berbuat kasar dan merugikan pihak-pihak lain. Apakah makna dari keberhasilan kita menahan lapar dan dahaga, jika kita tidak berhasil menjaga perasaan orang lain; kita membuatnya menangis, kita bahkan menyemai benih-benih dendam dan sakit hati?

Sahabat, Untuk apa kita puasa jika kita menyakiti, merusak dan membuat orang lain rugi?


(Madyan: Tafakkur Ramadhan)

(11) Puasa; Mensyukuri Sakit


Sore ini menulis tafakkur hanya untuk melupakan sakit...sejak kemarin badan terbaring lemas. Hari ini tak masuk kerja, absen yang entah sudah berapa kali dalam sebulan terakhir ini. Kenapa akhir-akhir ini aku menjadi sakit-sakitan? huh...aku lihat air putih oxigen di meja depanku sungguh sangat menggoda. sayangnya, Tenggorokan ini sudah terlanjur kukeringkan lebih dari separuh hari, aku tak mau merasa rugi jika akad ini ku batalkan gara-gara sebotol air seharga 6000 rupiah itu. Tuhan memang syariatkan puasa bukan untuk orang sakit.tapi entahlah, rahasia apa yang ingin disampaikan hatiku padaNya. kali ini hanya Dia yang tahu. aku sendiri bahkan tak bisa menangkap lirihnya... 

Ya "mengapa aku sakit?" itu pertanyaan semua orang bukan? tapi jarang yang bertanya "mengapa aku sehat?' seorang pengemis kecil yang buta membawa sebuah papan bertuliskan "beri aku makan, aku lapar" dan duduk seharian di jalanan pasar, namun sedikit sekali yang memberinya walau sekedar uang recehan, hingga seorang pemuda lewat didepannya, membaca kalimat itu, kemudian menghapus dan menggantinya dengan kalimat yang lain. Tiba-tiba para pengunjung pasar berduyun-duyun membantu pengemis kecil yang buta itu. Di rubah bagaimana kalimatnya? pemuda tadi menggantinya dengan kalimat "Indah sekali hari ini, sayang sekali aku tak bisa melihatnya"

Teman, syukur itu memang selalu harus diingatkan. Sejenak berdiam mensyukuri kesehatan terlihat sangat berharga ketika kita sakit. Benar, tidak perlu sakit parah, jika kepala kita pusing, badan menggigil atau hidung meler saja telah membuat kita benar-benar OFF; tak mampu berfikir, tak bisa berproduksi sama sekali. Saat ini saya ingin ingatkan sahabat-sahabat saya untuk berucap 'alhamdulillah' tulus dari dalam jiwa, jika mereka merasa sehat. Sekali-kali bertanyalah "mengapa aku sehat?" karena Sehat itu sejatinya adalah kenikmatan terbesar setelah iman.

alhamdulillah 

(8) Buka Puasa: Membuka Hati Buat Yang lain


Tafakkur hari ini saya tulis saat menjelang berbuka puasa. "Berbuka" bahasa arabnya Ifthar yang berarti (memecah, memulai, menciptakan,...). Istilah ini ingin mengatakan bahwa pada saat Ifthar berarti kita memecah kembali kondisi badan yang telah beberapa jam kita 'bekukan'; memulai kembali organ-organ pencernaan yang sekian lama kita istirahatkan; menciptakan kembali energi dan semangat jasad untuk kembali segar dan bergairah

Alangkah sempurna jika 'buka puasa' tidak hanya dinikmati sebagai pemuasan fisik yang tertahan; pelepasan dahaga dan rasa lapar. Namun 'berbuka puasa' juga dinikmati sebagai simbol atas pemuasan terhadap jiwa-jiwa yang selama ini kering; miskin cinta kasih dan kepedulian kepada sesama. The opening (berbuka) bukan hanya berarti 'membuka' mulut untuk makanan dan minuman. Namun 'berbuka' bisa bermakna luas, sebagai momen untuk 'membuka' hati dan 'membuka' fikiran.

Membuka hati untuk orang lain berarti menyediakan ruang untuk orang yang berbeda dengan kita; yang selalu kita anggap jahat, kotor, pesakitan, pendosa, beda agama, dan semua orang yang kita 'sekat' dan kita sebut sebagai 'mereka' yang bukan golongan kita. Sedangkan Membuka fikiran berarti menyiapkan fikiran agar memiliki toleransi dan keterbukaan terhadap apapun yang berbeda dan asing untuk nalar kita. Siap dengan ilmu baru, wawasan baru, penafsiran baru, dan perspektif-perspektif baru.

Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa bagi yang berpuasa ada dua waktu yang paling menggembirakan; pertama saat berbuka, yang kedua saat ia bertemu muka dengan sang pencipta. Saya merenung, bahwa ternyata 'berbuka' tak begitu menggembirakan jika saya sendirian...sensasi dari segala nikmat makanan dan minuman itu sirna jika saya menoleh ke kanan dan ke kiri tiada teman. Saat itu pula saya berfikir, bahwa sebenarnya, kegembiraan hati saat buka puasa itu bukan hanya tentang makanan dan minuman yang siap saya santap. Ternyata, kegembiraan itu juga tentang 'dengan siapa saya berbagi rasa?"

Disinilah saya ingin mengajak anda untuk membuka puasa anda, bukan hanya dengan makanan dan minuman anda. Namun juga untuk membuka hati buat yang lain. Saya mengandaikan, bahwa sebenarnya sorga itu tiada nikmatnya  jika kita 'sendirian' saja. Jika kita terlalu ekslusif, pelit dan lebih berambisi untuk meringkus nikmat Allah sendirian. Egoisme kita terkadang menjadikan kita lebih suka mengeluarkan orang lain dari teritori 'rahmat Tuhan', padahal rahmat-Nya maha luas, mencakup segala macam hamba yang tidak masuk dalam pikiran kita. Sahabat, memang benar bahwa untuk memiliki hati yang terbuka, kita harus memiliki pikiran yang terbuka....oleh karena itu saya ingin ucapkan, Selamat berbuka puasa...:)

(Madyan: Tafakkur Ramadhan)

(7) Bersuaralah yang Merdu, atau Diam


Natalia Laskowska, teman saya dari Polandia bertanya; "mengapa di Indonesia ini banyak sekali suara-suara yang tidak nyaman didengar keluar dari menara-menara masjid?" Dia bertanya apakah saya tidak terganggu...? Saya terdiam beberapa saat hingga harus jujur menjawab..."sebenarnya iya, tapi disamping akan menjadi sangat tabu bagi saya untuk mengatakan itu, apa yang kita sebut 'bising' itu kan sebenarnya hanya karena kita tidak biasa, jika sudah biasa mendengar 'gaduh' ya kita akan baik-baik saja". "Orang yang memang tinggalnya di dekat rel kereta api, di dekat kawasan bandara, atau rumahnya berada di tepian jalan raya, tidak akan mengeluhkan kebisingan suara-suara kendaraan itu. berbeda dengan orang-orang yang tinggal di pelosok hutan, kemudian tiba-tiba turun kota", timpal saya.

Natalia terdiam...Tapi saya sendiri? Sebenarnya masih termenung dan sangat tergoda untuk menguji kejujuran jawaban saya tadi. Toh, Natalia tidak mengeluhkan semua suara...Sebagian menurtnya sangat indah. Dia memuji suara seorang muadzin di Yogyakarta yang katanya sangat bagus dan khas... Natalia bukanlah seorang Muslimah, namun sukmanya selalu tergugah mendengar suara muadzin itu. Menurutnya, timbre dari muadzin favoritnya itu sangat lembut, apalagi jika beliau mengalunkan adzannya dengan khas nada-nada jawa; tidak sok berbau-bau timur tengah. Spirit dari suara muadzin itu mirip suara Enrico Caruso, seorang tenor yang pernah bernyanyi di tengah rimba Amazon, dalam film Fitzcarraldo, katanya.

Menurutnya, yang 'membuat resah' itu kan suara orang-orang yang 'berteriak-teriak' dengan pengeras Masjid; entah saat mereka mengumandangkan adzan, mengaji, berdoa atau berpuji-pujian. Ya, saat mereka hanya "berteriak", karena suara mereka sungguh keras dan memekakkan telinga. Entah mungkin maksudnya baik, menunjukkan syiar kebesaran Islam atau menghangatkan suasana Ramadhan yang penuh berkah. Tapi Natalia seakan mengejek saya "Mas, mungkin suara-suara seperti itu adalah bagian dari ujian kesabaran 'kita' di bulan puasa, ya.."...Saya pun tersenyum kecut.

Saya kemudian teringat riwayat sahabat Bilal bin Rabah yang dulu ditunjuk Rasulullah saw sebagai seorang Muadzzin. Bukan asal tunjuk lho, Bilal memang dipilih karena suaranya yang sungguh merdu. Alunan adzannya mampu mengundang rindu, hingga ketika Bilal bersuara, umat pun terpukau kemudian berduyun-duyun mendatangi jamuan di rumah Allah. Ingatlah, Nabi dulu pernah berfikir untuk menggunakan suara lonceng sebagai media untuk mengundang shalat, namun ide beliau itu dikritik habis oleh Umar.

Hmm, Ini mungkin hanya cerita tentang Natalia. Tapi jujur, karena pertanyaan teman saya itu juga, saya kemudian menjadi berfikir bahwa saat ini yang disebut "syi'ar" (pelambang kebesaran) Islam itu justru sering menjadi kontra produktif, bahkan menyedihkan. Banyak sekali suara adzan, lantunan al-Quran dan puji-pujian dari rumah-umah Allah itu yang tidak mengikuti irama apa-apa; hanya seperti berlomba saja; suara siapa yang paling keras terdengar selama bulan puasa. Jangan salah paham ya, ini bukan tentang adzan atau Qur'an nya...ini tentang bagaimana kita seharusnya berpikir peka terhadap orang lain...ini juga tentang bagaimana kita mewarisi sikap Rasulullah SAW ketika harus 'memilih' bagaimana 'undangan Tuhan' itu sebaiknya di design dan dikemas.  

Ya, memang tidak semua orang bisa menjadi Bilal bin Rabah, Rhoma Irama atau Enrico Caruso. namun alangkah baiknya jika orang-orang yang suaranya terlalu 'tidak enak' untuk diperdengarkan publik itu menyadari keterbatasannya. Pengurus-pengurus masjid sebaiknya lebih serius memilih orang-orang yang bagus suaranya. Jika tidak ada, suara-suara pujian atau lantunan al-Quran yang diunduh dari rekaman kaset atau CD mungkin akan jauh lebih mengundang gairah, dibanding membiarkan siapapun ber'teriak-teriak' semena-mena di menara-menara rumah Allah itu.


Thursday, February 9, 2012


PERSONAL INFORMATION & CURRICULUM VITAE

Newest Update 2012



Name
Syamsu Madyan
[alias: Ahmad Shams Madyan]
Place and Date of Birth       
Malang, November 14th, 1981
ID/ Passport /NPWP
3507221411810004 / V 848634 / 25.675.593.5-542.000
Sex/Marital status       
Male/Married
Height/Weight
165 cm/58 kg
Health            
Excellent
Physical handicaps    
None
Nationality
Indonesian
Hobbies and interests        
Traveling, Visiting Friends, Discussions, Teaching, Swimming
Language Skills
Active English, active Arabic, passive French, Native Indonesian
Countries Visited
Egypt (1999-2003), Saudi Arabia (2001; 2003), Thailand (2005), Malaysia (2005; 2010; 2011), Sri Lanka (2006) Singapore (2008; 2009; 2011), South Africa (2009), Tanzania-North Africa (2009), Uni Arab Emirates; UAE (2011). Uni Europe (Germany [2011], Czech Republic [2011]), Nairobi-Kenya- North Africa (2012)    
Hometown & Residence
Jl. Raya Ir. Mohammad Hatta no 21 Dadap Tulis Jun Rejo BATU Malang -Jawa Timur Indonesia 65234 (Phone: +62-341-531293)
Office, Postal address
1.      Academics:
Kantor ICRS-UGM Bld. Pascasarjana UGM 3th floor Jl. Teknika Utara Pogung Yogyakarta -Indonesia. (Phone/Fax: 62-274-544)  email: icrs@ugm.ac.id
2.      Activism:
Kantor INTERNA. Jl. Matraman Dalam 9.c Rt/Rw 8 Kelurahan Pegangsaan Menteng Jakarta Pusat www.interna.or.id

Mobile phone
+6287875941800 / +6285643281945
Emails
Social Media and Blog




Education and Affiliation
-     Affiliated Researcher at the University of Cape Town [UCT], Cape Town South Africa (2009-2010)
-     Asian Graduate Student Fellow at Asia Research Institute [ARI], National University of Singapore [NUS] (1st of May- 31st of July 2008)
-       International Ph.D Degree at the Indonesian Consortium for Religious Studies/ICRS (UGM-UIN-UKDW) Yogyakarta (2007-expected 2012/earlier 2013)
-   Master Degree (M.A) at Center for Religious and Cross-Cultural Studies/CRCS Gadjah Mada University with GPA: 3,8 (Cumlaude) Yogyakarta, Indonesia (2004-2006)
-          B.A (Lc.) in Islamic Theology Major, Qur’anic Studies Minor, at Al-Azhar University Cairo- Egypt: (1999-2003)
-          Qura’nic Studies Institute “Pesantren Ilmu al-Quran (PIQ)” (1993-1999)
-          Al-Maarif, Junior-Senior High –Singosari Malang (1993-1999)  

Teaching, Asst.Teaching and Facilitation
-          Teaching at the faculty of Islamic Studies, University of Islam Malang East Java (October 2012 up to now)  
-          Teaching Assistance for Professor Dr. Farid Esack “Religious Thought and Action – Liberation Theology, Disease & Power” (Graduate Program at CRCS-UGM, May-June 2006)
-          Teaching Assistance for Dr. Zainal Abidin Bagir “Religion, Science and Technology” (Graduate Program at CRCS -UGM, April – May 2010)
-          Teaching Assistance for two semesters on “The History of Religion in Indonesia” part I (pre-Independence) , and Part II (post 1945) conducted by both Professor Dr. Bernard Adeney Risakotta and Dr. Sri Margana, (Doctoral Program at the  Indonesian Consortium for Religious Studies, ICRS, 2010-2011)
-          Teaching English and Arabic SMP al-Maarif Rogonoto Mlangi Yogyakarta, 2007
-          Teaching Islam at SMP-SMA Budi Mulia Yogyakarta, 2009   
-          Teaching “Islam, Qur’anic Studies and Arabic” in Pesantren (Islamic Boarding School) for two years (1996-1999) at the Institute for Qur’anic studies (PIQ) Singosari-Malang, East Java Indonesia.
-          A Facilitator of 10 days training program supported by Fulbright Interfaith Community Action Project (ICAP) on “Youth, AIDS and Sexuality” (Yogyakarta; January 2010)
-          A Facilitator on HIV&AIDS training workshop for Muslim Leaders [Ulama] in Lombok-Mataram-NTB sponsored by Burnet Institute, Australia (December, 2008 and March, 2009) and in Jakarta with collaborative initiation of MPAB [Muslim Peduli AIDS Bekasi] (February, 2010)
-          A Facilitator on AIDS awareness program for clerics (Muslim and Christian leaders) organized by ‘Channels of Hope project’, World Vision/Wahana Visi, Indonesia and CABSA (Christian African Bureau-South Africa), held in different provinces and cities across Indonesia: Jakarta, Badung, Surabaya, Malang, Papua etc. since 2009 up to now 


Research on progress
-          A member of a research team on “Medical Charities in Asia and Middle East” supported by Hong Kong Institute for the period of three years (2010, 2011 & 2012)
-          A member of a research on “Public debate on Islam and condom for AIDS prevention program” supported by “INTERNA (Indonesian Interfaith Network on AIDS) Jakarta
-          Dissertation research project titled “When Belief Meets Medicine: Observing the (re)Construction of Self amongst Muslims Living with HIV & AIDS in Indonesia” (ICRS; progressing)

Publications
-          Kondom dan Pencegahan HIV&AIDS: Pandangan Agama-Agama, 175 pages. An editor, INTERNA Pustaka, Jakarta (2011)
-          AIDS Theology; a Contestation of Islamic Responses to the Crisis of AIDS in Indonesia 102 pages, Lambert Academic Publishing [LAP] Germany, 2010) 
-          AIDS Dalam Islam; Krisis Moral atau Krisis Kemanusiaan? (AIDS in Islam; Moral Crisis or Humanity Crisis?) 150 pages (Mizan Press-Jakarta, February 2009)
-          Peta Pembelajaran Al-Quran; Usaha Memahami Al-Quran Dari Dasar Pemikiran (Mapping Qur’anic Studies; Understanding Al-Quran From the Basic) 250 pages Pustaka Pelajar, Yogyakarta-2008
-          “Penelusuran Sejarah Al-Quran Versi Orientalis; Sebuah Abstraksi Metodologi”, co-authored with forum of Quranic Studies, FORDIAN (Forum Studi Al-Quran) Otentisitas Al-Quran; Review Sejarah dan Nalar Penafsiran (The authenticity of al-Qur’an; Historical Review and Interpretation) 288 pages (Fordian Press, Cairo, 2003)
-          “Doa Bersama Dalam Pluralitas Beragama”, co-authored with forum of Islamic and Cultural studies, KReSNA, Fenomena Islam Bangsa (the Phenomenon of Islam in Indonesia), 112 pages. (Putra Teladan Press, Malang, 2002)
-          An article, “AIDS und die Religion” in Sudostasien, published in Germany (2007)
-          An article, “Islamic Institution in Indonesia: Failure of Leadership in the Fight against AIDS” Nashir Bulletin published by AMAN (Asian Muslim Action Network) Bangkok-Thailand (2007)

Forthcoming publications (under review):

-          “The Dynamic of Islam in Indonesia and the Waves of Global Modernization” an anthology on History of religion in Indonesia (title under review) edited by Lawrence Yoder, will be published by University Press of Duta Wacana Christian University-Yogyakarta, (forthcoming)
-          “AIDS and Islam in Indonesia; a Scenario of Power and Resistance” an edited volume on Medical Charities in Asia and Middle East by Professor Raj Brown, will be published in UK (forthcoming)
-          “Condom Debate; Ethical dilemma of AIDS prevention amongst Muslim society”, supported by INTERNA (tentative-forthcoming)     
-           
-           

Award and Scholarship
-          Recipient of full scholarship for international Ph.D program at the Indonesian Consortium for Religious Studies ICRS -Yogyakarta Indonesia from IIEF-Ford Foundation (2007-2011)
-          Recipient of scholarship for Graduate Student Fellow at the National University of Singapore granted by Asian Research Institute ARI-NUS (May-July 2008)
-          Recipient of full scholarship for graduate program at Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) at Gadjah Mada University-Yogyakarta Indonesia (2004-2006)
-          Habibie Award from Mr.BJ.Habibie (Ex. President of Indonesia and the chairman of ICMI) for highly ranked students (Cairo: 2001)
-          Recipient of student award 2002 and 2003 (Penghargaan mahasiswa berprestasi) organized by The Union of Indonesian-Egyptian Students, PPMI (Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia), as-Syatibhi Center and GAMAJATIM (East Java Student Union), and the Indonesian Embassy of Cairo
-          Recipient of Scholarship from al-Azhar University CAIRO by selection of Indonesian Ministry of Religious Affairs (DEPAG: 1999-2003).
-          The best contestant of Arabic quiz program at provincial level celebrating ‘PEKAN ARABY ’96’ organized by the faculty of linguistic and art FPBS (Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni) IKIP Malang, 1996.
-          The third champion of bi-lingual quiz program (Arabic-English) and the third champion of Juvenile Academic Writing in Arabic language at provincial level organized by State Islamic University STAIN-Malang, 1998.
-           

Leadership, Working Experinces and Activities
-          Executive Director of INTERNA, Indonesian Interfaith Network on HIV&AIDS, Jakarta, (2011). Research Coordinator, Project planning and International Representative (2007-2010)
-          Project Officer at ISAI (Institut Studi Arus Informasi)- Indonesian Progressive Muslims Network: UKC Foundation, Jakarta (2011)
-          A coordinator of AGORA (Open Community for Social and Humanity Research, Yogyakarta 2010)
-          Consultant and Research division at LKI (Lembaga Kasih Indonesia), an NGO concerning youth, drug, narcotics and AIDS, Bekasi – West Java (2010)
-          A member of Young Indonesian Muslim Activists at ICIS (International Conference on Islamic Scholars)
-          A Member of LKK-NU (The Division of Prosperous Family of NU) on HIV and AIDS and Community Health Sub-Division (Yogyakarta, 2007-2008).
-          Coordinator of Research Department of Relief (Religious Issues Forum) at CRCS–UGM Yogyakarta (2005-2006).
-          A coordinator for Qur’anic Studies Forum, FORDIAN (Forum Studi al-Qur'an) Indonesian students of al-Azhar University Cairo 2002-2003.
-          Redactor of ISTIQOMAH bulletin (Indonesian Students Bulletin, Egypt 2001-2002.
-          Forum Coordinator of Islamic and Cultural studies, KReSNA (Kreasi Islam Nusantara) organized by Indonesian students in Cairo 2001-2002.

Academic participations, public dialogue, international seminars and involvements
-          A Participant of twodays workshop of Berlin Forum for Progressive Muslims under the theme “Islam and Politics” held by the Intercultural Dialogue - Frederich Ebert Stiftung: FES Berlin-Germany (20th- 22nd October 2011)
-          A speaker at “Belief in Dialogue; Religion and Science” held by the American University of Sharjah in collaboration with the British Council – Uni Arab Emirates (June 21st -23th  of June 2011)
-          A Speaker for Medical Charities in Asia and Middle East held by the Hong Kong Institute, University of Hong Kong, Penang Malaysia (November 29th- December 3rd 2010)
-          A Participant of ten days workshop and training on “Muslim-Christian Dialogue and Involvement on AIDS” held by CABSA [Christian African Bureau, South-Africa] & World Vision International, at Kilimanjaro-Tanzania, North Africa (June, 2009)    
-          A Speaker at the 3rd Singapore Graduate Forum on South-East Asia 2008, Singapore (July 2008)
-          A speaker for the 3rd International TIYL Conference on “Is Indonesian Islam Different? Islam in Indonesia in an international comparative perspective’ ” held by Leiden University Netherlands, in Bogor Indonesia (January, 2011)     
-          Participant of 5 Days International workshop on Asian Interfaith Network of AIDS [AINA] (Colombo-Sri Lanka 2-7 April 2006).
-          A Speaker in a talk show at Yogyakarta-Indonesian National Television (TVRI) and National Radio (RRI) on ‘HIV-AIDS and Religion’ (Yogyakarta, December 2006)
-          A Speaker at a Dialog Forum amongst Religious Leaders and AIDS activists held by PKBI (Pusat Keluarga Berencana Indonesia) and Interfaith Dialogue Institute (Institut Dian-Interfidei) by the topic ’Adolesecent and HIV-AIDS vulnerability; an Islamic Perspective’ (Yogyakarta, Oktober 2006)
-          Participant of 3 Days International workshop on “Religion and Globalization” held by Center for Religious and Cross-Cultural Studies (Yogyakarta, Indonesia 2006)
-          Participant of Ten Days Edu-Tourism and Research to Walailak University of South Thailand delegated by Gajah Mada University of Yogyakarta (Nakhon- Thailand, 16-25 September 2005)
-          Participant of Muslim Youth Scouting Program organized by HIF (Haramain Islamic Foundation) in Alexandria City (Cairo 1-14 July 2003)