Wednesday, February 15, 2012

(15) Kehendak-Nya untuk Datang? atau Kita yang Mengundang?


Bebarapa malam ini saya menjadi Noctrunal, tak bisa terpejam di malam hari. perasaan selalu gelisah sampai waktu sahur tiba. Daripada waktu terbuang sia-sia, biasanya saya gunakan waktu untuk selsaikan beberapa pekerjaan; mengutak-atik lagi tugas-tugas saya yang entah akan selesai kapan? menulis-nulis lepas, atau merenungkan hidup sampai pukul tiga pagi, barulah kemudian saya mencari santap sahur. Beberapa hari lalu saya berjalan sendirian di jalanan besar Jakarta, sambil menunggu jika Tuhan ingin bicara dengan saya.

Ya benar, menanti Tuhan bicara...karena jika saya sedang sendiri, Tuhan biasanya datang tiba-tiba dengan memberikan getaran-getaran kerinduan...tiba-tiba hati tergugah, tiba-tiba diri menangis, tiba-tiba jiwa merasa hangat, tiba-tiba saya menjadi sangat bahagia. Tetapi pagi itu, Tuhan serasa enggan menyapa saya...kosong-kosong saja...pikiran saya justru kemana-mana. Saya, sama sekali tak bisa memegang kendali 'dzikir' saya...kata orang jawa, fikiran saya 'ngglambyar', entah terbang kemana-mana.  

Perasaan yang saya rasa mungkin seperti yang ada dalam cerita Nabi Muhammad kala beliau cemas menanti datangnya wahyu. Karena sudah terbiasa Tuhan datang, tiba-tiaba kunjungan-Nya berhenti. Beliau menjadi resah...berhari-hari, berminggu-minggu, bulan-bulan hingga hampir putus asa...Nabi pun bahkan mulai ragu, apakah benar yang beliau alami kemarin-kemarin adalah sebuah 'perjumpaan' dengan Tuhan...? Diceritakan, bahwa pada saat Nabi sudah lelah dan hampir sampai pada titik yang paling tepi dari jurang keputus asaan itu, tiba-tiba Tuhan datang lagi, seraya berfirman "Tuhan Mu tidak meninggalkan Mu' (Q.S:al-Dhuha) 

Itu cerita tentang pewahyuan Muhammad pada saat keterputusan wahyu (fatrah). Jelas, pagi itu saya tidak menanti datangnya 'wahyu', karena saya bukanlah seorang  Nabi. Tetapi saya saat itu memang sedang menanti momen-momen yang sebenarnya mirip; yaitu momen yang seharusnya tak bisa disangka-sangka itu, the Unexpected. Sayangnya, 'dzikir' saya waktu itu gagal, walau dengan segenap hati saya undang, nampaknya Tuhan tak datang dan hati saya tetap saja tak tenang....

Saya menjadi bertanya, seberapa akurat kebenaran bahwa "DZIKIR" itu menenangkan jiwa? sebuah janji Tuhan bahwa jika kita mengingat "nama'Nya, maka hati kita akan merasa tenang? akan tetapi, bagaimana kita akan tenang jika untuk berdzikir saja terkadang sulitnya bukan main? untuk menjaga nama-Nya dalam benak kita itu sebuah jerih payah, yang walau tak berkeringat, sebenarnya merupakan usaha yang luar biasa? Siapa sebenarnya yang mengendalikan otak kita ini...? apakah kita sendiri yang harus selalu menebar tali temali jala, sehingga "Tuhan" menjadi terperangkap dalam fikiran kita? ataukah sebenanarnya kita hanya dituntut untuk 'bersedia', menunggu hingga Tuhan sendiri yang akan datang "semau-mau" Dia...? Siapakah yang pegang kendali akan 'ingatan' yang kita sebut sebagai 'dzikir' itu?

KEHENDAK KITA YANG MENGUNDANG, ATAUKAH KEHENDAK-NYA UNTUK DATANG?

Suatu saat saya pernah membaca sebuah hadits Qudsy (Firman Tuhan tapi bukan al-Quran) bahwa Tuhan berada bersama orang-orang yang lapar, orang-orang yang haus, yang sakit dan yang membutuhkan. Bahwa Tuhan TIDAK berada 'diluar sana', namun Dia berada dalam alasan-alasan kemanusiaan. Hadits itu membuat saya merenung dan bertanya tentang seberapa luas makna 'dzikir' itu sebenarnya? karena saya juga menjadi ingat bahwa ketika beberapa kali saya 'peduli' terhadap orang-orang yang saya anggap 'membutuhkan' itu, hati saya kemudian menjadi tenang. 

Teman, Kita tak pernah bisa mengira-ngira kapan Tuhan akan berbisik, yang bisa kita perbuat hanyalah berharap dan mengusahakan sebuah 'perjumpaan' itu melalui persiapan-persiapan. Kita bersiap-siap dengan berbagai cara; mengaji, mendengar ceramah, sholat, duduk bersila, meditasi dan lain-lain...tak selalunya Tuhan datang. akan tetapi jarang yang terfikir bahwa sebenarnya 'Dzikir' sebagai sebuah persiapan perjumpaan dengan-Nya bisa ditempuh dengan kepedulian kepada orang-orang yang membutuhkan.

Di lintasan pagi itu, gerah malam berubah dingin merayapi jasad dan saya berfikir bahwa sebenarnya 'Dzikir kepada Allah itu tak selamanya eksklusif sebagai bentuk pengingatan akan nama-nya". Makna Dzikir kepada Allah seharusnya menjadi luas dengan kita 'berdzikir atas mahluk-mahluk-Nya yang membutuhkan. Terkadang kita gagal menemukan ketenangan hanya dengan mengingat-ingat 'nama'Nya, karena memang Ia tak hanya NAMA...bagaimpanapun, ketenangan itu seringkali datang saat kita menjumpai-Nya dengan cara menjumpai mahluk-mahluk Nya  

(Madyan: Tafakkur Ramadhan)

No comments: