Wednesday, February 15, 2012

(7) Bersuaralah yang Merdu, atau Diam


Natalia Laskowska, teman saya dari Polandia bertanya; "mengapa di Indonesia ini banyak sekali suara-suara yang tidak nyaman didengar keluar dari menara-menara masjid?" Dia bertanya apakah saya tidak terganggu...? Saya terdiam beberapa saat hingga harus jujur menjawab..."sebenarnya iya, tapi disamping akan menjadi sangat tabu bagi saya untuk mengatakan itu, apa yang kita sebut 'bising' itu kan sebenarnya hanya karena kita tidak biasa, jika sudah biasa mendengar 'gaduh' ya kita akan baik-baik saja". "Orang yang memang tinggalnya di dekat rel kereta api, di dekat kawasan bandara, atau rumahnya berada di tepian jalan raya, tidak akan mengeluhkan kebisingan suara-suara kendaraan itu. berbeda dengan orang-orang yang tinggal di pelosok hutan, kemudian tiba-tiba turun kota", timpal saya.

Natalia terdiam...Tapi saya sendiri? Sebenarnya masih termenung dan sangat tergoda untuk menguji kejujuran jawaban saya tadi. Toh, Natalia tidak mengeluhkan semua suara...Sebagian menurtnya sangat indah. Dia memuji suara seorang muadzin di Yogyakarta yang katanya sangat bagus dan khas... Natalia bukanlah seorang Muslimah, namun sukmanya selalu tergugah mendengar suara muadzin itu. Menurutnya, timbre dari muadzin favoritnya itu sangat lembut, apalagi jika beliau mengalunkan adzannya dengan khas nada-nada jawa; tidak sok berbau-bau timur tengah. Spirit dari suara muadzin itu mirip suara Enrico Caruso, seorang tenor yang pernah bernyanyi di tengah rimba Amazon, dalam film Fitzcarraldo, katanya.

Menurutnya, yang 'membuat resah' itu kan suara orang-orang yang 'berteriak-teriak' dengan pengeras Masjid; entah saat mereka mengumandangkan adzan, mengaji, berdoa atau berpuji-pujian. Ya, saat mereka hanya "berteriak", karena suara mereka sungguh keras dan memekakkan telinga. Entah mungkin maksudnya baik, menunjukkan syiar kebesaran Islam atau menghangatkan suasana Ramadhan yang penuh berkah. Tapi Natalia seakan mengejek saya "Mas, mungkin suara-suara seperti itu adalah bagian dari ujian kesabaran 'kita' di bulan puasa, ya.."...Saya pun tersenyum kecut.

Saya kemudian teringat riwayat sahabat Bilal bin Rabah yang dulu ditunjuk Rasulullah saw sebagai seorang Muadzzin. Bukan asal tunjuk lho, Bilal memang dipilih karena suaranya yang sungguh merdu. Alunan adzannya mampu mengundang rindu, hingga ketika Bilal bersuara, umat pun terpukau kemudian berduyun-duyun mendatangi jamuan di rumah Allah. Ingatlah, Nabi dulu pernah berfikir untuk menggunakan suara lonceng sebagai media untuk mengundang shalat, namun ide beliau itu dikritik habis oleh Umar.

Hmm, Ini mungkin hanya cerita tentang Natalia. Tapi jujur, karena pertanyaan teman saya itu juga, saya kemudian menjadi berfikir bahwa saat ini yang disebut "syi'ar" (pelambang kebesaran) Islam itu justru sering menjadi kontra produktif, bahkan menyedihkan. Banyak sekali suara adzan, lantunan al-Quran dan puji-pujian dari rumah-umah Allah itu yang tidak mengikuti irama apa-apa; hanya seperti berlomba saja; suara siapa yang paling keras terdengar selama bulan puasa. Jangan salah paham ya, ini bukan tentang adzan atau Qur'an nya...ini tentang bagaimana kita seharusnya berpikir peka terhadap orang lain...ini juga tentang bagaimana kita mewarisi sikap Rasulullah SAW ketika harus 'memilih' bagaimana 'undangan Tuhan' itu sebaiknya di design dan dikemas.  

Ya, memang tidak semua orang bisa menjadi Bilal bin Rabah, Rhoma Irama atau Enrico Caruso. namun alangkah baiknya jika orang-orang yang suaranya terlalu 'tidak enak' untuk diperdengarkan publik itu menyadari keterbatasannya. Pengurus-pengurus masjid sebaiknya lebih serius memilih orang-orang yang bagus suaranya. Jika tidak ada, suara-suara pujian atau lantunan al-Quran yang diunduh dari rekaman kaset atau CD mungkin akan jauh lebih mengundang gairah, dibanding membiarkan siapapun ber'teriak-teriak' semena-mena di menara-menara rumah Allah itu.


No comments: