Friday, July 12, 2013

(4) Kelahiran yang ke seribu


Semalam, sebelum tidur, istri saya tiba-tiba bertanya; "Dalam agama lain ada doktrin reinkarnasi, Andai doktrin itu benar, mas mau terlahir lagi sebagai apa?" Saya tidak lantas menjawab, hanya menyungging senyum. "kepingin apa yang berubah?" lanjutnya... saya pun masih melanjutkan diam.. Istri saya pun terus menggoda "pasti nya ingin istrinya ya.. yang berubah?"...sambil ia ngakak sendiri....

Untuk pertanyaannya semalam saya diam, karena sebenarnya saya memang sedang tidak konsen. Beberapa pertanyaan nya juga terabaikan beberapa kali, karena sekali lagi, saya sedang berada pada level yang lain dari diri saya... sebenarnya saya sedang "tidak hadir". Tapi bagaimanapun, khusus pertanyaan terakhir itu telinga saya sempat merekam dengan baik kemudian membungkusnya ke alam bawah sadar.

Di sepertiga malam tadi, saya terbangun dengan perasaan syukur karena merasa seperti "terlahir kembali".   karena hal itu pula saya buru-buru bercermin, walau sadar bahwa tentu tidak akan ada perubahan yang berarti pada keseluruhan jasad dan jiwa saya. Ternyata benar, saya masih sama, lahir batin saya juga belum beranjak dari prosesi duka; penguburan hasrat; pembunuhan massive untuk segala bentuk kemarahan dan kekecewaan pada keadaan yang saya alami beberapa hari terakhir.

Ya, hari-hari awal Ramadhan tahun ini serasa dibumbui keprihatinan; kesedihan atas kuasa-kuasa para gajah yang bertengkar culas menghentak-hentak tanah, memanjakan sengkuni sambil menari-nari dalam iringan gending murka dan amarah. Tidak untuk diceritakan detilnya dalam catatan ini, namun sebagaimana kita semua insafi, bahwa memang, ada hari-hari dimana kesedihan menggelayut gelap seperti mendung yang pekat.

Entah kapan badai akan benar-benar berlalu, namun saya yakin bahwa setiap hari adalah ujian atas cinta kasih; bahwa setiap cinta dan benci selalu membawa serta benih-benih pendewasaan. Sebagian dari kita membuangnya sia-sia dengan melepas kemarahan dan membiarkannya terbuang, lalu mati di tanah gersang; sebagian lagi memungut setiap bijinya dengan hati-hati; menanam dan bersabar kemudian menunggunya tumbuh....

Alhamdulillah bahwa hingga saat ini, dengan sekuat hati, saya masih memilih untuk menjadi bagian dari golongan kedua, yang menghargai tunas-tunas, walau ia masih sebentuk harap. Khususnya di bulan suci ini, kemarahan yang meletup tentu tak akan sebanding dengan fadhilah (nilai) dari kesadaran untuk mengkondisikan raga dan nyawa agar terus menggenggam kesabaran. Bukankah jika dituruti, dahaga nafsu tak akan tertebus oleh sebanyak apapun air di lautan?(Q.s 3: 133-134)

Bersabar dan terus mengekang nafsu, walau selalu sulit menyembunyikan rasa; apalagi jika jagat seakan-akan sedang bersekutu untuk memicu ego sebagai "saya". Saya hanya meredam semua itu dengan pertanyaan;  apakah yang disebut "saya" itu ada? ataukah sebenarnya semua eksistensi ini hanya muslihat yang bersifat fatamorgana... bahwa semua ini pada hakikatnya adalah bagian-bagian kecil dari proses alam. Semua kebaikan dan keburukan hanya menjalankan misinya sebagai energi yang sementara; berputar pada poros yang disebut "kehidupan" yang sudah di pastikan akan penuh kesulitan bagai kabut yang kelam (Qs.90:4)?

Lalu untuk apa kita membela makna-makna atas apa yang kita banggakan sebagai "saya", atau "kamu", "dia" atau "mereka"? Jika pada hakikatnya, semua yang tersebut itu hanyalah leburan dari butiran-butiran debu yang berterbangan saja? Saudara sepupu saya pernah bilang "sabarlah, karena semua yang terjadi hanya akan menjadi angin lalu" Saya ingat betul nasehatnya itu dan ingin membawanya serta sebagai salah satu premis untuk menepis pertanyaan istri saya semalam; "mau terlahir lagi sebagai apa?"

Jujur, karena serasa saya benar-benar tak mampu dan tak ingin menjawab pertanyaan terlihat "konyol" seperti itu...walau sebenarnya itu adalah pertanyaan eksistensial paling briliant. Bagi saya, menjadi apapun atau siapapun kita, tiadalah banyak berubah. Karena akan tetap saja bahwa setiap yang "ada" pasti harus melewati episode-episode suka dan duka, silih berganti, begitu saja...bahwa memang hanya ada satu ungkapan yang relatif jitu untuk digunakan sebagai penghibur sekaligus pengingat diri.  Ungkapan itu berbunyi  "Tiada badai yang tak berlalu dan tiada pesta yang tak usai..."

Jadi, sambil menelan santap sahur pagi tadi, saya mencoba menelan "yang manis" dan "yang pahit" silih berganti... Dalam kesadaran penuh saya merasa tak ingin menjadi apa-apa atau siapa-siapa...saya tak begitu menggubris jika harus terlahir seratus atau seribu kali lagi, karena sama saja...kesempurnaan bukan milik satu persatu kita. Karena hanya Yang manunggal yang berhak atas apa yang kita sebut "kestabilan" dan tetap saja  Wa lam Yakun lahu kufuwan Ahad (Dia; tiada yang bisa menyamai-Nya)            




       

   

No comments: