Saturday, July 20, 2013

(11) Iseng-iseng Beriman (?)


Di Subuh ke Sebelas pagi tadi saya menyimak uraian Professor Quraish Shihab, salah satu tokoh Muslim di Indonesia yang saya kagumi, dan acara nya hampir selalu menjadi pilihan saya ketika menyalakan televisi di saat-saat sahur.

Pagi tadi, beliau menjelaskan ayat-ayat al-Quran yang berkisah tentang iman kepada hari akhir. Salah satu pertanyaan dari pendengar beliau kira-kira berbunyi begini; "...Bapak, bagaimana agar kita bisa benar-benar mengimani kebenaran hari kiamat?" Jawaban pak Quraish sangat lugas dan jelas. Setelah menjabarkan beberapa point, kemudian beliau menutup jawabannya dengan retorika kalimat yang kurang lebih begini;

"...Katakanlah Anda beriman kepada hari akhir, lalu ternyata nanti hari kiamat itu tidak ada, maka Anda tidak akan rugi apa-apa, karena hidup Anda telah menjadi baik. Sebaliknya, jika Anda tidak meyakini adanya Kiamat, lalu nanti ternyata hari kiamat itu ada, saya kira kalian akan rugi..."

Serentak saya saksikan orang-orang yang hadir dalam majlis beliau mengangguk-anggukan kepala, sambil membenarkan pernyataan beliau..." Saya, sambil mengakhiri santap sahur tadi pagi juga seperti terbius mengiyakan.

Tiada yang salah dari kalimat-kalimat itu... Hanya saja, seharian ini ada yang terasa janggal dibalik retorika jenius pak Quraish yang sempat menyihir bawah sadar saya, sebelum saya harus tersadar untuk mempertanyakan keimanan saya sendiri; Apakah iman saya ini seperti sesuatu yang saya putuskan karena "iseng-iseng berhadiah"? Apakah sebenarnya memang demikian argumen keimanan yang saya miliki?; bahwa tentang hal-hal yang diberitakan agama, kita imani saja, toh tiada ruginya; Jika ajaran-ajaran itu hanya opium kepalsuan, kita pun sudah diuntungkan, karena dengan tuntunan itu hidup kita menjadi baik. Namun jika ternyata ajaran-ajaran itu benar  adanya, maka berarti kesyukuran kita akan berlebih, karena itu artinya kita tidak sedang tersesat atau salah jalan.

Iman, sebenarnya argumen apa yang kita miliki? Kita beriman dan memeluk Islam karena ikut-ikutan orang tua?; karena tradisi dan lingkungan? karena pengaruh ilmu-ilmu yang diajarkan? karena ajaran nya masuk akal? karena kesadaran dan pilihan? karena pencarian?

Hanya masing-masing kita yang mengetahui jawabannya secara pasti. Namun saya harus jujur merasa prihatin, jika benar bahwa keimanan yang saya punyai ini ternyata hanya didasari oleh sebatas pilihan yang sangat pragmatis; olahan dari ego untuk selalu mencari yang paling aman dan tidak beresiko...

Sahabat, apa yang anda akan katakan pada seseorang yang berkata "saya ingin berbisnis tanpa modal, tanpa kerja keras, dan tanpa resiko sama sekali, tapi saya mau keuntungan yang besar, yang pasti, dan yang berlipat-lipat"? Orang itu naif? ataukah cerdas? Orang itu realistis? ataukah pemimpi yang enggan bangun?

Kemarin siang, sewaktu sholat jumat, saya sempat mencatat baik-baik sebuah hadits riwayat al-Bazzar yang disampaikan oleh sang pengkhotbah. Hadits itu bercerita tentang teka-teki filosofis yang pernah ditanyakan Nabi Muhammad saw kepada para sahabatnya.. Beliau bertanya " Iman siapakah yang menurut kalian paling menakjubkan? Sahabat-sahabat beliau  menjawab; Malaikat!. Lalu Nabi mengatakan, bagaimana mungkin Malaikat tidak beriman...Iman para malaikat adalah keimanan yang sangat wajar dan sudah sepantasnya.  Para sahabat pun menebak lagi "..kalau begitu, keimanan paling menakjubkan adalah yang dipunyai oleh para Nabi" Rasulullah Muhammad saw pun menjawab "Para Nabi itu menerima wahyu dari Tuhan, pastilah mereka beriman. Keimanan para Nabi itu wajar dan sudah semestinya" Sejenak para sahabat itu diam lalu seseorang berkata "Kalau begitu yang menakjubkan adalah keimanan para sahabat dekatmu" Nabi pun berkata "Sahabat-sahabat ku itu melihat aku, mendengar aku dan memang berjumpa dan hidup dengan ku, wajar juga jika mereka beriman... Bukan, bukan keimanan mereka yang paling menakjubkan, tapi yang menakjubkan adalah keimanan orang-orang yang lahir jauh setelah masa kalian; mereka hanya mendapati sebuah kitab yang pernah diwahyukan, lalu mereka dengan mudahnya memercayai. Iman merekalah iman yang paling menakjubkan" (al-Hadits)

Teringat hadits itu, saya merasakan haru karena ternyata iman generasi kita telah dianggap Nabi sebagai keimanan yang paling istimewa dan menakjubkan, Namun di waktu yang sama saya juga menjadi kalut, jika sebenarnya keimanan yang kita peluk ini sebenarnya hanya iseng-iseng semata; keimanan pragmatis yang tak benar-benar memiliki akar. Saya mungkin salah menangkap apa yang saya dengar dari  penjelasan Bapak Quraish Shihab, tapi bagi saya, tidaklah penting mendapatkan klarifikasi apa-apa tentang itu.

Saya hanya bersyukur, bahwa apa yang beliau sampaikan telah menjadikan saya berfikir panjang tentang keimanan saya sendiri. bahwa pada level terendah dan paling nadir dari keimanan ini, saya merasa bahwa sudah saat nya kita berkaca untuk melihat kembali pondasi dari bangunan yang seakan-akan telah berdiri ini, namun sebenarnya ia sangat rapuh dan reyot.

Penting untuk saya pribadi meninjau kembali pondasi keimanan yang saya punyai. Saya khawatir jika sebenarnya bukan batu solid yang saya punyai, namun tumpukan kayu yang tak menyatu satu dengan yang lainnya. Saya khawatir jika terpaan angin saja sudah cukup untuk meluruhkan segalanya.


No comments: