Sunday, July 14, 2013

(6) Benar-benar Prihatin


Sudah hari ke enam kita berpuasa. Tubuh ragawi kita sudah sedikit demi sedikit menyesuaikan pola kerjanya. Jika puasa ini hanya dilihat sebagai bentuk dari aktifitas fisik, maka sebenarnya situasi paling genting dan mengkhawatirkan itu mungkin hanya berada di hari-hari pertama ini saja, masa transisi; yaitu saat kita mengajak serta seluruh mahluk-mahluk kecil yang membentuk tubuh kita untuk bekerjasama; menyesuaikan diri dalam hal menata pola konsumsi. Setelah hari-hari pertama ini, segalanya akan normal-normal saja...

Fikiran saya tiba-tiba dangkal, melihat aktifitas puasa ini sebagai perpindahan jam makan, seiring dengan fakta bahwa yang saya jumpai dalam diri bukanlah sebentuk olah keprihatinan. Ada semacam ironi bahwa bukan nya bulan puasa ini mengerem perilaku konsumtif kita, tapi bulan ini seperti justru menaikkan index belanja kita. Bahkan jika saya amati dalam keluarga sendiri, puasa bukannya untuk makan  minum lebih seadanya, namun justru sehari-hari menu buka puasa dan sahur ini bagaikan pesta sebulan utuh.

Kemarin saya menghardik canda dengan istri saya yang saat berbuka belum usai ia sudah menanyakan "mas, kita mau sahur apa ya...?" Saya mengingatkannya dengan nada sedikit geram karena pertanyaan "mau sahur apa" itu sama sekali bukan karena kita tidak memiliki makanan untuk sahur, tapi ia bertanya begitu karena justru kami memiliki persediaan makanan sangat melimpah;  kami bebas mau masak makanan apa. Jika mau, kami bahkan bisa keluar rumah pukul  tiga pagi, seperti yang kami lakukan dua hari lalu, untuk berziarah ke warung ala timur tengah yang menyediakan menu serba lezat...Ya, kami memang harus banyak-banyak bersyukur dan berbagi. Namun disisi lain, kami harus gelisah, bahwa saya kira ada yang lebih bisa diperbaiki dari cara kami membelanjakan harta di bulan ini, sehingga bulan ini benar-benar mencerminkan kata "puasa", bukan sebaliknya; memanjakan nafsu yang rakus...

Setahu saya, telah jamak diwacanakan dalam ajaran agama-agama bahwa sebenarnya puasa sebagai bentuk mujahadah (laku tapa) itu seharusnya mampu menginspirasikan makna-makna keprihatinan. Mungkin hampir semua umat beragama mengerti bahwa puasa itu sangat erat kaitannya dengan tujuan-tujuan yang sakral seperti upaya pertobatan, pendekatan yang ilahi dan seterusnya. Misal, orang-orang Yahudi yang juga berpuasa pada hari Senin dan kamis; mereka berpuasa di hari penebusan dosa "Yom Kippur" (yang mungkin dalam bahasa Arab sepadan dengan istilah "Yaum kafarat"). Saya pernah duduk satu taxi dengan salah satu teman dari agama Katolik, lalu ia menjelaskan panjang lebar tentang puasa Kristiani selama empat puluh hari sebagai bentuk keprihatinan menjelang Paskah. Dalam Islam pun sebenarnya gagasan nya mirip-mirip saja; untuk pertaubatan, perbanyakan ibadah; pendekatan diri kepada yang Ilahi, pembersihan diri dari nafsu-nafsu yang duniawi, termasuk keserakahan yang tak pernah dibelenggu. Tapi itu semua adalah teori. Prakteknya, masing-masing kita yang tahu, bukan?        

Saya pernah bertanya; mengapa puasa yang diimani sebagai pilar agama ini wajib dilakukan selama tiga puluh hari penuh? (Qs.2:183). Menurut Anda puasa tiga puluh hari penuh itu lama atau sebentar? Relatif! Saya memiliki dua orang paman dari Ibu, salah satunya sudah wafat  (Rabbuna yarham). Setahu saya, mereka berdua menjalankan puasa sehari-hari walau bukan di bulan Ramadhan. Sudah bertahun-tahun ini, jika kami bepergian bersama misalnya, apalagi jika suasana hari sedang terik, kami biasanya membujuk paman yang satu ini untuk membatalkan puasanya. Semuanya melihatnya dengan rasa iba dan kasihan, namun selalu saja paman saya ini menolak membatalkan puasanya, karena menurutnya jika ia makan di siang hari justru badannya jadi terasa sakit dan tidak nyaman.

Nah, lagi-lagi karena teringat alasan paman itu pula, saya jadi meragukan puasa saya sendiri; jika prakteknya hanya tentang tidak makan dan minum hingga azan maghrib, maka jangan-jangan yang saya lakukan ini hanya semacam penerapan pola diet saja. Mungkin setelah lima hingga sepuluh hari pertama ini, segalanya sudah menjadi normal teradaptasi; saya bahkan kini tak pernah merasakan lagi haus dan lapar saat puasa.    

Ah, semoga renungan ini tak sekedar bual-bualan, karena hampir semalaman saya tak bisa tidur dan saya harus minum obat anti alergi karena tubuh saya sedang rentan dengan hawa dingin. Istri saya pun jadi ikutan terjaga karena melihat mata saya mulai memerah dan bersin-bersin...Sialnya, obat peredam alergi saya sungguh membuat lelap, sampai-sampai hampir saja kami berdua kehabisan waktu untuk makan sahur pagi tadi.

Ini sedikit konyol, karena mungkin saya termakan oleh celotehan saya sendiri, akhirnya saya dan istri pun harus makan sahur seadanya. Padahal rencananya, kami akan bangun bersama untuk menutup witir, kemudian beradu masak dengan jurus dan resep kuliner masing-masing... Pagi tadi, istri saya tak henti-hentinya tertawa setelah kami selesai melahap makanan yang seadanya, dan saya pun tersadar bahwa saya lah yang ingin puasa sambil benar-benar prihatin... Mungkin Tuhan tak suka jika saya hanya membual, sehingga ia menjadikan puasa saya hari ini sebagai jawaban-Nya....^_^


 

No comments: