Tuesday, July 16, 2013

(7) Tak harus Tegas; Tak harus Jelas

Saya seperti kehilangan gairah sejak kemarin malam... mungkin ini adalah saat-saat genting; saat kemalasan dimanjakan hingga mungkin akan berbuntut panjang. Termasuk saat ini, di hari ke tujuh dari bulan suci ini, fikiran saya sedang kosong dan jiwa sedang terasa melayang-layang. Alih-alih menemukan gagasan menarik untuk direfleksikan, kondisi mental saya terasa sedang mengambang datar; tidak sedih, tidak riang, tidak bahagia tidak juga berduka... Saya pernah menulis tentang hidup seperti makanan suam-suam kuku; tidak panas tidak dingin. Menurut Khalayak, makanan seperti itu memang tidak mengundang selera...

Saya sendiri ragu, apakah saat menulis ini saya sedang bersyukur atau sedang mengeluh? Tak jelas, sebab dalam konstruksi pemikiran kita, termasuk dalam ajaran agama kita, gaya nalar yang kita miliki seakan telah dicetak sedemikian rupa untuk menjadi generasi modernis yang berotak positifistik; otak itu hanya memiliki kemampuan untuk melihat segala sesuatu dari dua kutub yang ekstrim; panas atau dingin; baik atau buruk, halal atau haram, dosa atau pahala, bahagia atau duka, dan seterusnya... Otak kita ini sudah sangat terlatih untuk melihat segala hal dengan cara itu, sehingga diakui atau tidak, dengan beragama kita mudah memiliki kepribadian yang cepat menghakimi karena pilihan nya sederhana; dua opsi dan sangat binair; A atau B?

Dalam kebiasaan keberagamaan misalnya, kita tidak pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan tentang sesuatu yang berwarna abu-abu atau bergradasi. Segalanya hanya memiliki dua warna tegas; hitam atau putih, halal atau haram, suka atau duka, sorga atau neraka, mukmin atau kafir, begitu saja.  Dalam hal akidah dan keimanan, orang-orang yang abu-abu sangat dikucilkan, mereka disebut munafiq karena tidak jelas...Seperti tiada ruang untuk keraguan, karena jika anda ragu, anda mungkin akan disebut beriman lemah atau liberal. Jadi, opsi anda hanya mau masuk golongan mukmin atau kafir?

Dalam sosiologi agama, kita juga hanya mengenali dua macam manusia; lelaki atau wanita. Nampaknya, agama hanya menyinggung sedikit saja sesuatu yang ditengarai sebagai yang syubhat (abu-abu; meragukan). Kalau kita mengaji hukum agama (fiqih) dari kitab kitab yang klasik, kita tidak akan menemukan penjelasan yang cukup adil dan memadai tentang orang orang yang memiliki kecenderungan gender selain pria atau wanita. Dalam buku-buku hukum memang ada bahasan tentang orang-orang yang disebut mukhonnats, tapi istilah ini dimengerti sebagai mereka yang berkelamin ganda (hemaprhodit). Setahu saya, tawaran hukum terbaik bagi orang-orang yang dikategorikan sebagai yang syubhat; mukhonnats itu ujung-ujungnya juga harus memilih, mau dianggap pria atau wanita?

Menarik, karena dalam al-Quran surat al-A'raf (46-48) pernah dibahas pertanyaan tentang suatu golongan yang oleh Tuhan di "gantung" statusnya, mereka tidak diangkat ke sorga, juga tidak dimasukkan neraka. Beberapa theolog dari aliran bernama Mu'tazilah memercayai bahwa orang-orang yang disebut Ashab al-A'raf ini berada dalam posisi liminal; al-Manzilah baynal Manzilatain (ruang tengah-tengah).

Ketika membaca ayat-ayat tentang golongan ini, saya membayangkan tentang orang-orang yang hanya duduk-duduk diruang tunggu dengan sangat membosankan, mungkin persis seperti kondisi saya saat menulis catatan renungan ini, sore tadi. Saat itu saya sedang mengantar ibu menyelesaikan beberapa urusannya dan harus terduduk di ruang tunggu untuk waktu hampir dua jam. Untung saya membawa alat tulis, sehingga saya masih bisa memanjakan jari-jari untuk bermain semaunya di layar tulis. Saya jadi membayangkan orang-orang yang nanti "digantung" di ruang tunggu akhirat, mereka bisa mengisi waktu dengan aktifitas apa ya?

Hingga taraf tertentu, situasi yang abu-abu dan suam-suam kuku mengingatkan pada "nikmatnya" kesedihan. Seperti orang orang yang berada pada kondisi tak jelas di akhirat itu, mereka sebenarnya tersiksa. Digambarkan, jika mereka melihat orang-orang yang diadzab di Neraka, mereka menjadi sangat takut dan berdoa agar tak dimasukkan ke dalam golongan penghuni neraka. namun jika mereka melihat penduduk sorga, mereka hanya bisa "ngiler" dan bermohon agar Tuhan segera ambil sikap dan memasukkan mereka ke salah satu kamar-kamar sorga... mungkin, rasanya seperti cewek yang mendapatkan "cinta gantung", takut jika pada akhirnya cowok yang mereka minati ternyata hanya pahlawan PHP (Pemberi Harapan Palsu) ^_^

Ya..., tapi begitulah, seperti kehidupan yang terasa abu-abu, tak jelas dan tak menentu, saya pun bingung jika harus mengidentifikasi ini sebagai nikmat atau siksa. Biasanya hal yang syubhat (tak jelas) dalam agama segera di kategorikan sebagai hal-hal yang lebih baik di tinggalkan, karena sudah sangat mepet dengan Haram...

Tapi saya terus merenungkan, bahwa betapa banyak hal-hal di dunia ini yang tak Tuhan halalkan juga tidak Ia haramkan... karena ketidak jelasan nya itulah para Ulama pakar hukum mengatakan bahwa al-ashlu fil umur al ibahah, "...bahwa yang mula-mula dalam segala hal adalah diperbolehkan..." dan karena boleh (mubah), maka hal-hal yang tak jelas itu menjadi nikmat....

Dalam level itu saya tiba-tiba teringat atas ketidakjelasan rasa yang saya alami. Benar bahwa otak dan nalar kita belum terbiasa untuk menikmati warna-warna yang tidak tegas; warna-warna yang memiliki spektrum dan bergradasi.. Saya sadari, bahwa mungkin kelemahan kita adalah bahwa kita telah lama menyukai gradasi warna sebagai obyek visual saja; kita pandai memilih kain atau lukisan yang memiliki corak dengan ribuan warna yang berkelindan dan berbaur satu sama lain, Tapi dalam pola fikir, kita masih sangat kaku... kita hanya menerima apa yang tegas, apa yang jelas....hitam atau putih?

Dalam perenungan ini mungkin saya harus lebih membuka hati dan mencoba menjadi lebih mengerti bahwa demikianlah kasih Tuhan dikirimkan apa adanya. Tak selalu ia harus dengan jelas-jelas mengirimkan bahagia atau kesedihan. Terkadang ia hanya kirimkan perasaan yang datar, tak menentu... saya harus mulai berani menerima fakta bahwa nyatanya tak semua makanan harus disajikan panas atau dingin. Sebagian makanan lebih enak disajikan pada saat tak panas dan tak dingin, suam-suam kuku.



No comments: