Sunday, July 14, 2013

(5) Sejenak Menjadi Asing

Salah satu teman memberi komentar tulisan-tulisan saya dalam "Tafakkur Ramadhan" melalui kotak surat (inbox) di akun Facebook. Ia menanyakan dengan serius mengapa tulisan-tulisan saya kali ini selalu muram dan 'galau'? Karena kebaikan hatinya pula, ia tak inginkan jawaban; ia hanya ingin mengungkapkan doanya semoga Allah menerangi jalan saya dan berkenan mengurai benang-benang permasalahan yang terpintal acak oleh ketidakpastian zaman. 

Melalui tulisan saya kali ini, saya ingin berterimakasih kepadanya sebagai ungkapan "amin" atas doa-doa baik dan perhatiannya. Saya juga ingin menyatakan permintaan maaf atas ketidaksengajaan saya menyeret orang lain ke dalam kegalauan-kegalauan pribadi di ruang saya yang sedang gelap dan pengap. 

Tentu ini bukan ungkapan apologetik belaka, karena bagaimana pun, yang saya lakukan adalah menuliskan satu rasa dalam satu hari. Padahal kita semua tahu betapa banyak sebenarnya yang kita rasakan sejak matahari terbit hingga terbit lagi...? Dalam sehari, sebenarnya manusia tidak pernah hanya diberikan pengalaman sedih saja atau senang saja. Dalam keseharian, tentu dua hal itu datang menyapa berganti-ganti, hanya saja apa yang dominan kemudian menjadi kuburan atas rasa yang lain, itu saja penyebabnya. 

Bukankah ini seperti penulisan sejarah, kita hanya cenderung mencatat apa yang ingin kita abadikan saja; kita sering tak menyadari bahwa disana selalu ada opsi tentang apa yang ingin kita ingat dan apa yang ingin kita lupakan. Sejatinya, sejarah adalah proses mengingat dan melupakan dalam satu waktu, dan dalam proses itu selalu ada pemilihan yang subyektif tentang apa yang kita sebut dengan istilah "memori". Ketidaksadaran atas keterlibatan diri atau subyek inilah yang biasanya disebut dengan alienasi (keterasingan). 

Saat melakukan refleksi atau tafaakur, sebenarnya kita memang sedang mengasing sebentar. Sejenak kita keluar dari diri kita sendiri, agar diri kita menjadi lebih nampak dan lebih terkenali. Ada ungkapan bijak mengatakan "tiada nabi yang mudah diterima di negerinya sendiri" karena memang biasanya manusia lebih menghargai sesuatu yang baru; sesuatu yang asing. Saat nabi-nabi itu menjadi orang asing, terbukti mereka lebih mudah diterima dan dipercaya...

Teman, hampir-hampir semua ibadah kita adalah bentuk-bentuk pengasingan... sholat adalah saat kita sejenak mengasingkan diri dari kebisingan dunia. Zakat sebagai pengasingan diri dari jiwa yang biasanya tak peduli sesama; pengasingan dari nafsu yang wajar jika tak berbagi. Haji juga demikian halnya, saat di Makkah kita melakukan ritual-ritual "asing" di tempat asing...  Jika kita resapi satu esensi lain dari bulan suci Ramadhan ini, kita juga dapati bulan ini sebagai wujud dari prosesi pengasingan; kita menjadi "asing"  karena tiba-tiba harus mengubah pola makan dan minum yang sudah biasa... menjadi asing dengan "mendadak sholeh"... menjadi asing dengan kebiasaan-kebiasaan baru yang tidak lumrah dilakukan di sepanjang tahun... 

Jadi, kembali pada kesan tentang tulisan-tulisan saya pada Refleksi Ramadhan kali ini, sebenarnya yang muncul hanyalah wujud dari percikan pengasingan demi pengasingan. Ia tidak pernah mampu menjadi gambaran yang mewakili atau bahkan utuh tentang apa yang sebenarnya saya alami. Jika seseorang bercerita tentang kegembiraan, tentu ia punya sisi-sisi kelam kesedihan yang tidak ia ceritakan, demikian pula sebaliknya, orang yang bercerita tentang sedih, tak semua sisi kehidupannya persis seperti kegelapan yang anda bayangkan. Selalu ada kompleksitas yang tak bisa tertangkap utuh oleh jala kata-kata, sebab yang bisa menangkapnya hanya pengertian dan kebijaksanaan.....        

No comments: