Wednesday, July 17, 2013

(8) Tadarrus dan politik Angka

Malam ini saya hendak melanjutkan Tadarrus al-Quran yang saya lakukan duet bersama istri, tapi entah mungkin karena kesibukan pagi dan siang, jadi saya belum sempat duduk di depan layar tulis hingga sat ini. Saya merasa berhutang karena belum sempat menyelesaikan komitmen pribadi untuk mengabadikan hari ini dengan memotretnya melalui beberapa kalimat. Dan untuk penyelesaian hutang itu saya merasa bahwa lebih baik menulis dulu sebaris dua baris sebelum melanjutkan bacaan Tadarrus al-Quran saya juz 13 dan 15.

"Tadarrus" itu istilah religi untuk aktifitas pembacaan kitab suci. Secara sempit istilah itu diambil dari derivasi kata paling dasar "Da-Ra-Sa" yang berarti belajar, walaupun pada prakteknya, "Tadarrus" lebih sering diterapkan sebagai praktek pembacaan teks kitab suci tanpa penghayatan atau pembelajaran. "Tadarrus" hanya mewakili bentuk ritus peribadatan semata, karena ada istilah-istilah tekhnis lain seperti "Tadabbur" yang bisa dimaknai sebagai "penghayatan kitab suci" atau juga "Tafakkur"yang memiliki denotasi lebih luas dan bebas, sebagai segala bentuk proses perenungan dan refleksi-refleksi keagamaan.

Khusus di bulan suci Ramadhan seperti ini, istilah "Tadarrus" lebih ramai digunakan karena keutamaan pahala yang diimani begitu besar... karena itulah, di beberapa tempat, di malam hari hingga bahkan pukul dua belas, biasanya corong-corong masjid masih mendengungkan ayat-ayat Allah melalui microphone, layaknya nyanyian dari koloni-koloni lebah...

Saya, untuk apa ber-tadarrus? Ini pertanyaan paling congkak dan kurang ajar untuk diri saya sendiri. Karena membaca ayat-ayat tanpa perenungan, hanya untuk "khataman" dari sampul depan ke sampul belakang seperti ini sudah  saya jalani sejak kecil; semacam tradisi yang masih terjaga. Tapi ya hanya begitu, membaca teks maju mundur begitu saja, berulang-ulang, berkali-kali. Saya tidak hendak mengkritik apapun hanya pertanyaan saya, adakah relevansi dari Tadarrus al-Quran selain untuk makna-makna yang sangat transenden, seperti pencarian pahala dari setiap huruf itu? Bahwa ada sebuah Hadits (ucapan Nabi) yang sangat populer di kalangan umat Islam yang menerangkan bahwa jika dibaca, satu huruf saja dari al-Quran akan bernilai pahala sepuluh kebaikan; Tahukah Anda bahwa konon, huruf-huruf dalam al-Quran itu menurut versi penghitungan paling pelit berjumlah 323.015 (Tiga ratus dua puluh tiga ribu lima belas).

Jadi, jika Anda umat Islam dan hendak berbisnis dengan Tuhan, kalikan saja angka itu dengan sepuluh kebaikan. Dengan menghkhatamkan bacaan al-Quran, estimasi keuntungan Anda, di luar bacaan yang mungkin Anda ulang-ulang, adalah sekitar "tiga juta dua ratus liga puluh ribu". Nominal laba itu apa bisa Anda cairkan di dunia ini atau di Akhirat nanti? Jawabannya jelas, bisa disini dan juga disana. Tapi, saya harus meminta maaf dan permakluman Anda, karena tak seorangpun mengerti dan bisa memberikan jawaban memuaskan jika Anda lanjut bertanya;  "Kebaikan" atau "pahala" itu jika dicairkan akan berujud apa?" Walaupun demikian, Saya masih ingin meneruskan tulisan ini dengan mempertanyakan kegelisahan yang mirip namun pada level yang lain; bisakah "pembacaan teks agama" ala Tadarrus seperti itu menjadi memiliki nilai yang lebih membumi, lebih tersentuh dan profane?

Ini seperti kasus Ibu saya, yang suatu hari memarahi saya karena terburu-buru sholat dan meninggalkan nya sholat sendiri (tidak berjamaah). Beliau berkata "Kok umi ditinggal? kan sayang sekali... pahala nya dua puluh tujuh?"... Waktu itu, saya tak menjawab apa-apa sebab memang saya tidak mampu berfikir mau dijawab bagimana, karena bahkan waktu itu saya sholat tanpa menyadari bahwa ada rentang perbandingan yang signifikan antara angka "satu" dan "dua puluh tujuh". Duh, tiba-tiba saya harus mengiyakan dan berkata dalam hati "sayang juga ya, dua puluh enam di buang sia-sia..." :)

Itu kejadian beberapa bulan lalu yang tiba-tiba saya ingat. Sekarang, di bulan suci ini, pertanyaan yang mungkin lebih relevan misalnya, bagaimana dengan "Lailatul Qadar"? Malam Seribu Bulan; satu malam yang nilai kebaikannya seperti kebaikan seribu bulan? Kebaikan yang edan karena sangat royal dan obral; bayangkan delapan puluh tiga tahun lebih kita akan dianggap hanya melakukan kebaikan, saja!. Itu pun tanpa dijabarkan lebih lanjut tentang pahala kebaikan apa yang dilakukan dalam hari-harinya? Intinya, gambaran tentang pahala jika kita mendapati Lailatul Qadar harus membuat kite bilang "WOW"

Tapi entah, diluar kalkulasi angka-angka itu, saya bertanya-tanya tentang politik angka dalam agama. Bahwa mengapa dalam agama ini nilai kebaikan atau pahala itu harus digambarkan dengan perolehan poin seperti itu? Terang-terangan saya sebut ini "politik", karena memang hanya politik yang dizinkan "curang" untuk selalu menang bukan? Perhatikan, bahwa seperti angka-angka itu bahkan tak begitu akurat. Sebab selalunya, setelah angka-angka kecil diberitakan, para pengkhotbah selalu bilang bahwa Allah akan melipatgandakan pahala kebaikan dari angka sepuluh menjadi seratus, kemudian tujuh ratus, seribu, sepuluh ribu hingga angka yang tak terhingga.... Jadi, benar-benar tidak ada ruang sama sekali bagi Anda atau saya untuk menilai bahwa pahala kebaikan dari satu ritual tertentu itu kecil, karena Tuhan, dengan kuasa dan kesombongan-Nya, seperti bertitah "Aku bisa menambah pahala kebaikan itu hingga angka-angka yang tak terhingga"...

Lalu, jika Ibadah-ibadah kita ini seperti jual beli (Q.s al-Taubah:111), Apakah Tuhan memang serius hendak bertransaksi dengan kita? Atau, harga-harga ini sebenarnya hanya bual-bualan semata, karena yang sejatinya terjadi, ini bukan jual beli...ini adalah pemberian cuma-cuma? Jika ada di sebuah toko tertulis diskon 100%, kira-kira Anda akan menyebutnya apa? Obralan atau Gratisan?

Kadang-kadang sebagai hamba, kita mungkin boleh tersinggung, karena untuk mengerti kebesaran dan kemurahan Allah saja kita harus dibujuk-bujuk dengan gaya penjualan berdiskon 100%. Tak bisakah kita mengerti bahwa intinya "pahala kebaikan itu banyak sekali?" Dalam hal kebaikan, apakah kita memang perlu membawa kalkulator?

Sedikit unik, karena manusia hebat sekelas Ibnu Arabi pun harus serius mengutip Imam Syafi'i dalam menghitung huruf dalam al-Quran, yang menurutnya berjumlah 1.027.000 (satu juta dua puluh tujuh ribu) Angka ini lalu dihitung kembali dalam kitab imam al-Showi dan menjadi 1.025.000 (satu juta dua puluh lima ribu), berkurang dua ribu...! Kemudian, akhir-akhir muncul kutipan Bapak Quraisy Shihab yang saya bilang "paling pelit" karena menghitung huruf al-Quran hanya berjumlah tiga ratusan ribu saja... Jadi, terserah Anda saja, sambil ber-Tadarrus, mungkin Anda tidak perlu percaya dengan hitung-hitungan para Ulama ini, mungkin Anda ingin mencoba menghitung sendiri? Silahkan.....
     

        

No comments: