Thursday, July 11, 2013

(3) Melampaui Diri

Dalam menghadapi masalah, pernahkah anda merasa habis; karena saking ruwet nya sebuah persoalan, anda merasa tak memiliki lagi bahan untuk difikir? Anda, sudah menyerah; kondisi anda seperti ikan yang dikeluarkan dari air, menggelepar. Dalam kemabukan itu, Anda berada pada situasi liminal; antara hidup dan mati, antara ada dan tiada?

Suatu hari, Ayah saya pernah berkata "selama engkau masih berfikir untuk mereka-reka penyelesaian, maka Tuhan akan biarkan dirimu berupaya, Ia akan tersenyum saja sambil melihatmu berbuat ini dan itu. Namun saat dirimu telah benar-benar berserah; melepaskan otak dan nalar mu, kemudian menyerahkan segala yang rumit kepada-Nya; Ia tak akan segan turun tangan". Sedikit normative ungkapan ini, dan menurut saya ini adalah tantangan gila untuk dicoba. Saya bilang normative, karena yang seperti ini mungkin mudah diteorikan. Tapi untuk dijalankan, oh sungguh sulitnya alangkah.

Namun, mungkin saja ujar-ujaran ayah saya itu akan berguna saat nafas kita benar-benar sesak dan merasa bahwa tiada hal yang bisa menghibur selain berserah. Ya, ada momen-momen semacam itu dalam kehidupan. Ada saat anda atau saya dihadapkan pada situasi seperti ikan yang sekarat; yang tanpa segaja terpental dari jalur kehidupan yang wajar, hingga tak tau lagi bagaimana untuk pulang. Pada saat yang sangat kritis dan genting itu, saat kita bahkan tak tahu apakah kita akan selamat; tiba-tiba ada semacam mukjizat yang memungut atau bahkan menghempas ikan tadi, lalu memasukkannya kembali ke dalam genangan air kolam... secara tiba-tiba; segalanya menjadi normal kembali...ingsang ikan pun kembali bekerja seperti sedia kala.

Tuhan, apakah benar demikian cara-Nya bekerja? Apakah yang kita sebut mukjizat itu bisa diterka atau diduga? Atau, penyelamatan-penyelamatan seperti itu hanyalah semacam random events (hal-hal yang tak bisa diduga; bahkan tak bisa diharap)? Saat yang kita sebut "mukjizat" telah hampir bisa kita rumuskan; lalu apa lagi yang tersisa? Saat kita berserah kita berharap bahwa penyerahan diri kita akan berbuntut pada "nalar" yang hampir memastikan kehadiran-Nya, apakah kita bisa disebut telah benar-benar pasrah?

Bagaimana jika ikan yang menggelepar termegap-megap tadi benar-benar tak bisa kembali ke kolam air; ia hanya menghabiskan nafas yang tersisa sambil menanti kematian ditepi tumbukan bumbu dan minyak panas penggorengan? Teman, harus kita akui bahwa dunia ini tak selalu tentang drama "sengsara membawa nikmat"; bahwa tak selamanya kita bisa berakit-rakit ke hulu lalu berenang ke tepian.... karena bisa jadi, memang tak ada waktu untuk menepi. Hidup kadangkala juga tentang bersakit-sakit tanpa harus berakhir dengan kesenangan; hidup juga tentang susah payah yang berujung kematian.

Menakutkan, karena yang saya bicarakan ini menepis apa yang kerap kita sebut sebagai pengharapan; optimisme. Namun, saya memang sedang membincang satu bentuk kepasrahan yang benar-benar bulat. kepasrahan yang bahkan rela jika harus berujung sedih dan bukan kebahagiaan. Apakah mungkin? Apa yang kita ceritakan tentang "Tawakkal" atau kepasrahan adalah selalu tentang "ending" yang bahagia... pertanyaan saya; bukankah kebesaran-Nya tak menjadi berkurang jika Ia memang tak memberikan ijabah atau jawaban atas doa-doa? Tuhan tak mengingkari janji, demikian firman-Nya berbicara (Q.s 40:60/3:9). Tapi jika Ia ingkar, apakah Ia lantas tak menjadi Tuhan lagi? bukankah tetap saja kita menyebut-Nya TUHAN; baik saat Ia menceburkan kita kembali ke dalam kolam kehidupan; atau menghempaskan kita ke dalam didihan minyak penggorengan?

Memang saya hanya membicarakan yang duniawi, karena tentu saja di akhirat akan ada pemenuhan atas setiap janji dengan seadil-adilnya (Q.s 3:185), namun Subhanallah, ternyata selama ini ada kekerdilan jiwa untuk mengakui kemutlakan kuasa-Nya.....karena bahkan dalam munajat-munajat malam saya di bulan suci ini saya baru sampai pada taraf penyerahan diri yang mensyaratkan keberpihakan-Nya....      
    

No comments: