Wednesday, July 10, 2013

(2) Kepatuhan yang Labil


Sudah beberapa Ramadhan saya jalani. sembari bersyukur atas pemberhentian kali ini, saya juga bersyukur bahwa saya masih memiliki keinginan untuk menulis beberapa baris selepas shalat malam bersama istri...Ini hanya tradisi lima hingga lima belas menit; menulis apa saja yang terlintas. Modalnya hanya kejujuran atas apa yang benar-benar saya alami dan saya rasakan.

Entah, jika bisa dianggap sebagai bentuk evaluasi pribadi, namun sekujur jiwa saya merasakan ekstase yang sangat intim dengan diri saya yang lain; satu lapis eksistensi yang tak mampu saya dustakan; sesuatu yang rentan dan rapuh di dalam sana; sesuatu yang tak henti-hentinya bertanya...

Sederhana, pertanyaan saya kali ini berupa otokritik; bahwa apakah dengan menuliskan catatan-catatan sperti ini, saya akan terbantu meraih sejengkal saja peningkatan? satu saja anak tangga kebaikan hingga saya bisa merasa lebih damai; lebih bahagia?

Mungkin ada pertanyaan yang lebih mendasar dari itu "Perlukah ada gairah untuk menjadi manusia yang terus meningkat lebih baik dan lebih baik lagi"? Dalam hidup, perlukah ada keinginan untuk memiliki tingkat spiritualitas yang merangkak sempurna; mendekati kesucian para malaikat"? satu kondisi mental yang stabil, yang baik, terus demikian, bahkan abadi?  atau sebenarnya kita tak perlu idealis seperti itu, justru fluktuasi dan naik turun ketaatan kita itu lah inti nya...

Bahwa mungkin sebenarnya Tuhan inginkan kita agar tetap labil, karena jika kondisi baik-buruk kita stabil, maka  tak akan ada lagi dinamika kebaikan dan kejahatan; pahala dan dosa; kesalahan dan pengampunan..saat kebaikan menjadi pasti dan abadi, maka kosmologi penciptaan ini menjadi rusak; skenario dari drama kehidupan ini tak lagi menarik....Duh, saya jadi kalut... karena tiba-tiba saya teringat cerita tentang Adam, manusia pertama yang gara-gara ingin stabil; menjadi seperti malaikat ia justru dihukum dengan dicampakkan ke alam tanah...

Jadi, hasrat untuk selalu menjadi baik dan lebih baik ini hasrat saya ataukah hasrat setan yang terlihat baik karena dibalut tipuan?  Apakah ini sebenarnya bentuk lain dari forbidden fruit (buah larangan) yang pernah dimuslihatkan para dedengkot Iblis kepada moyang kita itu?

Terkadang, saya harus jengkel dengan lapis eksistensi dalam diri saya  yang paling cerewet itu; gemar bertanya dan menginterupsi semua hal; namun tanpa pertanyaan-pertanyaan itu, apalagi yang bisa dibanggakan dari nafas kehidupan ini? Dalam beragama, ada beberapa hal yang kita jalankan tanpa banyak tanya. Ada dogma-dogma yang begitu saja kita terima dan kita jalankan tanpa kita harus mengusik nalar. tapi lagi-lagi, saya harus menjustifikasi keabsahan dari hak kita untuk selalu bertanya...

Dulu sewaktu dipesantren diceritakan bahwa para Malaikat itu adalah mahluk yang paling dekat dengan Tuhan. Mereka adalah rumpun ciptaan yang di design hanya untuk taat tanpa sanggahan.  namun akhir-akhir
ini saya temukan; bahwa malaikat pun juga sebenarnya tak sedungu itu... Benar bahwa mereka adalah mahluk paling patuh; namun mereka juga bertanya tentang kepatuhan mereka... Saat Tuhan memerintahkan ketundukan kepada Adam, mereka juga cakap dan nakal berinterupsi (Qs. al-Baqarah: 30)...

Jadi, manakah yang lebih baik; asal patuh begitu saja, ataukah sebenarnya kita perlu memiliki ketundukan dan kepatuhan yang proporsional; ketaatan yang kita jalankan setelah kita memiliki pengertian yang memadai? Tak ingin menjadi konservatif atau liberal; tapi sepertinya, saya enggan menerima doktrin kalangan Sufi yang mengatakan bahwa keimanan orang-orang yang bodoh (Imanul-Jahil) itu adalah derajat keimanan paling tinggi... bahkan seperti malaikat-malaikat itu, saya lebih memilih untuk menjadi hamba yang tunduk dan bertanya.....

No comments: