Sunday, July 22, 2012

Hari AIDS Sedunia: Agama Perlu Bicara Lebih Dari Sekedar Moral


AIDS, nampaknya memang bukan isu semua orang. Banyak yang mencibirnya sebagai isu marginal yang tidak begitu relevan, apalagi jika dikait-kaitkan dengan kajian agama. Namun, ibarat bara dalam sekam, bahaya AIDS ini ternyata tidak berada jauh diluar teritori agama. Justru, di tengah-tengah kita, pandemi ini menular tanpa kendali. Lagi-lagi, problem nya adalah karena kita tak begitu menggubris ancamannya. 


Dilaporkan, bahwa prevalensi (kerentanan) penularan akhir-akhir ini terjadi bukan saja ditengah populasi kunci (baca: PPS [perempuan pekerja seks], lelaki homoseksual, waria, pengguna narkotika suntik) namun angka penularan HIV di Indonesia meningkat di kalangan ibu-ibu rumah tangga hingga mencapai angka 40.000 di bulan November 2010 (Nafsiah Mboi, SekJen KPA Nasional: 2010). Tantangan kepada agama adalah bahwa ini bukan semata tentang respon kita terhadap sebuah gagasan ataupun wacana, ancaman AIDS adalah realita yang membutuhkan respon praxis dari agama. 


Peran agama dipertanyakan, karena Indonesia adalah negara berbasis agama dengan kultur masyarakatnya yang agamis. Bahwa jika kita menilik Islam, salah satu fatwa MUI bagi orang-orang yang hidup dengan HIV&AIDS (ODHA) adalah agar mereka segera bertaubat dari perbuatan dosa (Tadzkirah Bandung: 1995). Kumpulan khutbah Jum’at yang diterbitkan PP Muhammadiyah, yang berjudul Menghindari AIDS (2005) juga banyak menarasikan adzab Tuhan. Khutbah pertama misalnya, bercerita tentang kaum Sodom pada zaman nabi Luth AS. yang diazab Tuhan akibat perilaku seksual sejenis mereka. Narasi khutbah-khutbah tersebut seakan ingin menegaskan kembali bahwa AIDS adalah bentuk balasan Tuhan bagi pelanggar-pelanggar susila (Tabrani Syabirin: 2005). Respon NU tak jauh beda, kompilasi hasil muktamar nasional (MUNAS) dan Bahtsul Masa’il yang terus menerus dicetak ulang dan didistribusikan kepada masyarakat awam bahkan menganalogikan ODHA (orang hidup dengan AIDS) sama dengan orang yang berpenyakit lepra. Dalam kutipan sebuah hadis, NU menasehatkan agar kita menjauhi pengidap lepra sebagaimana kita harus menyelamatkan diri dari ancaman singa (MUNAS-NU, NTB: 1997).  


Agama? Seberapa luas ruang yang disediakan untuk mendiskusikan permasalahan AIDS sehingga bisa nampak lebih “berpihak” kepada nilai-nilai yang lebih ‘manusiawi’ khususnya bagi ODHA, lingkungan dan keluarganya? Sebuah ironi, karena banyak cerita bahwa para aktivis AIDS pun harus nelangsa ketika berhadapan dengan agamawan. Dalam ceritanya, Nurul Arifin, seorang artis yang juga aktivis AIDS pernah memberikan penyuluhan tentang penanggulangan HIV&AIDS dengan mempromosikan kondom di Jayapura, namun tiba-tiba seorang Pastor dengan sangat keras berteriak “stop bicara tentang kondom kecuali anda bisa menemukan kondom dalam Bible”. Di beberapa daerah, kalangan Muslim juga tak jemu-jemu berdemonstrasi, menentang kebijakan distribusi ATM-ATM kondom di tempat-tempat umum. Alasan mereka cukup jelas, bahwa distribusi kondom itu hanya akan memfasilitasi kenyamanan masyarakat untuk berzina. 


Pertanyaannya adalah, memang hanya demikian kah respon yang bisa diberikan agama? Benarkah bahwa hanya tanggapan-tanggapan moralis seperti di atas yang bisa ditawarkan agama ketika harus mendiskusikan AIDS? Jika benar adanya, sungguh tak mengherankan jika dalam sebuah seminar tentang agama dan AIDS, seorang narasumber sempat berceletuk bahwa “mungkin, tanggapan yang paling baik dan bijak dari agama adalah diam”. 


Sangat memprihatinkan, di Indonesia, total kasus kumulatif HIV positive yang terlaporkan hingga Maret 2011 telah mencapai 59.941 (http://www.depkes.go.id). Indonesia pun telah dilansir WHO sebagai negara dengan tingkat penyebaran HIV tercepat di dunia. Jika ancaman epidemi AIDS semakin mencemaskan di negeri ini, apakah bijak kiranya jika meminta agama untuk diam? Kiranya, diam bukanlah tawaran yang pantas dipilih. Lalu, jika agama harus berperan, seperti apa peran yang diharapkan dari agama? 


Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) nasional telah berkali-kali menegaskan pentingnya pelibatan agama. Karena itulah mereka berinisiasi mengajak para agamawan dan rohaniawan untuk berkhotbah tentang tema-tema AIDS. Namun, hampir bisa dipastikan bahwa pembicaraan agama tentang AIDS hanya terbatas pada AIDS sebagai isu moral. Pertanyaannya terulang kembali, hanya sampai disitukah memang peran agama?  


Harus diakui, bahwa hingga saat ini agama dengan pendekatan moralnya telah turut berperan dalam menghambat penyebaran HIV. Namun, tanpa kita sadari juga, bahwa dakwah-dakwah moral kaitannya dengan AIDS seringkali malah mengajari masyarakat untuk memiliki penghakiman-penghakiman tertentu terhadap ODHA. Tidak bisa dihindari, bahwa larangan agamawan untuk tidak berzina dalam konteks penanggulangan HIV&AIDS secara tidak langsung menegaskan bahwa seakan-akan orang yang terinfeksi HIV&AIDS adalah pezina, manusia tak bermoral yang harus dijauhi. 


Pertanyaan-pertanyaan teologis yang harus dijawab pada saat agama hanya mengkaitakan AIDS dengan isu-isu moralitas adalah; bagaimanakah dengan orang-orang bermoral dan tak berdosa yang terinfeksi HIV? apakah relevansi mereka dengan penyakit ini? Jika AIDS adalah bentuk dari hukuman Tuhan bagi pezina, mengapa masih banyak pezina-pezina di luar sana yang tidak dihukum AIDS? Jika Tuhan maha adil, mengapa Ia hanya menghukum sebagian orang saja sedang yang lain Ia biarkan sehat berbahagia dalam gelimang nista? Bagaimanakah agama harus menjelaskan secara moral, bahwa 90% wanita yang terinfeksi HIV adalah wanita “baik-baik” yang tidak pernah berzina, bahkan tidak berhubungan sex kecuali dengan suami-suami mereka yang sah? (Mary Huang Soo Lee: 2003) Bagaimana juga agama harus menjelaskan AIDS sebagai hukuman Tuhan atas 199 kasus bayi Indonesia yang terlahir dalam keadaan positiv HIV? (DepKes RI: 2006). Apakah urusan-urusan teologis seperti ini menjadi beres, ketika agama hanya menjawab permasalahan wanita dan bayi-bayi ini dengan dakwah anti zina, anti maksiat atau bahkan dengan menyerukan taubat sekalipun? 


Agama dan AIDS: Menimbah sebuah Teologi yang Lebih Berwawasan
Benar adanya, bahwa disamping isu medis, HIV&AIDS juga merupakan isu ekonomi, sosial, budaya dan moral dalam satu waktu. Kemiskinan, ketimpangan relasi gender, pendidikan, kesejahteraan masyarakat serta banyak faktor lainnya telah menjadi kompleksitas yang sepatutnya dipertimbangkan juga oleh agama ketika menyoal AIDS. 


Data terbaru WHO bahwa 95 persen penderita AIDS berasal dari dunia ketiga, bisa dijadikan dasar nalar bahwa HIV&AIDS bukanlah urusan moral belaka. Kenyataan, bahwa Afrika memiliki tingkat prevalensi HIV lebih tinggi dibanding Amerika atau negara-negara Eropa pastinya juga menjelaskan sesuatu, bahwa angka AIDS di Afrika yang tinggi tidak serta merta mengindikasikan bahwa orang-orang Afrika lebih tidak bermoral di bandingkan orang-orang Eropa. Bukan? 
Bagi agamawan, logika-logika seperti ini kiranya penting untuk dijadikan landasan berpikir untuk merumuskan kembali teologi (pemahaman keagamaan) yang lebih adil dan lebih berfihak kepada ODHA. Dengan begitu, agama bisa mengembangkan pola khutbah dan dakwahnya lebih dari sekedar kritik-kritik moral. 


Bagaimanapun, potensi dan peran agama secara lebih luas tidak selayaknya dikebiri atau dibatasi hanya sebagai pengawas moral semata. 
Merumuskan kembali pemahaman agama tentang HIV&AIDS adalah pekerjaan agamawan yang harus difikirkan secara serius. Tanpa melakukan review terhadap pemahaman-pemahaman teologis ini, agamawan tidak akan mampu membantu dalam mereduksi stigma negatif terhadap ODHA, yang juga memiliki hak penghargaan yang utuh sebagai manusia. Sebab, normativitas agama seringkali mengajak pada bentuk-bentuk penghakiman yang menyudutkan ODHA.  
Peran agama untuk menghilangkan stigma negatif terhadap ODHA sangat dibutuhkan, sebab pengalaman telah menunjukkan bahwa karena diskriminasi dan penghakiman-penghakiman terhadap ODHA, tingkat penyebaran HIV semakin tidak terkendali. Orang yang sudah terinfeksi menjadi malu untuk melakukan test darah, sehingga statusnya dirahasiakan, padahal aktivitas sexualnya masih terus berjalan, HIV kemudian menular ke mana-mana.  


Dalam pembicaraan AIDS dan agama, pesan-pesan moral memang akan tetap menjadi prioritas dan keniscayaan, namun agamawan perlu menyadari dan mulai memikirkan bahwa dakwah moralis saja tidak akan mampu menjawab tantangan AIDS dengan segala isu kemanusiaannya. Agama akan terkesan lebih bijak jika disamping dakwah moral, juga mendakwahkan misi-misi kemanusiaan, kritik sosial dan pandangan-pandangan tentang keadilan, serta keberpihakan yang penuh empati terhadap orang-orang yang termarginalkan, termasuk ODHA. Jika agama mampu melebarkan pola dakwahnya hingga taraf ini, slogan-slogan agama sebagai pembawa rahmat dan keteduhan bagi semesta akan benar-benar bisa dirasakan. 



No comments: