Sunday, July 29, 2012

(7) "Jual Beli" Ibadah di Pasar Kaget

Di bagian dalam perkampungan Matraman ada pemukiman penduduk yang lumayan berhimpit-himpit. Disitu, ada sebuah pasar yang seingat saya namanya "Pasar Kaget". Selama setahun ini saya membeli bahan-bahan masak, jika sedang mood kepingin masak sendiri. Biasanya itu terjadi jika saya sedang bosan dengan nasi padang atau nasi tegal ala Ibukota. Disebut "pasar kaget" karena sebenarnya itu bukan pasar yang "resmi" didirikan negara. Itu hanya kumpulan beberapa pedagang, tak lebih dari seratus orang yang menyediakan beragam kebutuhan. Tentu saja itu jenis dari pasar tradisional, karena satu nilai sosial masih sangat terjaga, yaitu "tawar menawar". Di hari-hari biasa, pasar kaget ini buka setiap pagi, dari jam 6 sampai jam 12 an. Namun di bulan Ramadhan seperti ini, Pasar Kaget Matraman itu kadang-kadang buka dua shift; pagi dan sore hari

Saya membicarakan pasar, karena semalam saya juga samar-samar mendengar ceramah Ramadhan dari corong Masjid Jami, yang juga tak jauh dari lokasi pasar itu berada. Menariknya, apa yang disampaikan pedagang di pasar pagi tadi mirip dengan apa yang disampaikan sang penceramah, baik nada maupun intonasinya. Yang membedakan hanyalah "dagangan" dan "harga" nya. si Pedagang tadi menjual barang-barang pecah belah seharga 10.000 dapat tiga, sedang si ustadz semalam menawarkan "rahmat Ramadhan" seharga taraweh (plus witir) sejumlah 23 putaran.  
 
Dari semua yang terdengar, saya berkesimpulan bahwa kita memang mahluk Tuhan yang sangat perhitungan. Bahkan Tuhan sendiri harus membahasakan hubungan penghambaan ini dengan istilah "jual beli" (QS.al-Taubah:111) seakan Tuhan harus menawarkan harga yang begitu tinggi untuk persembahan ibadah kita, barulah kemudian kita bilang "deal!". Sebentar saya diam, kemudian saya benar-benar menyadari bahwa kebanyakan dari amal ibadah kita di bulan ini sebenarnya tak lebih dari 'itung-itungan pahala', 'kontrak-kontrak bisnis' dan lobi 'kepentingan' dengan-Nya.      

Sama sekali tidak ada yang salah dengan itu. Toh, hakikat dari 'keikhlasan' atau 'ketulusan' itu terlalu tinggi untuk kita gapai. Namun, sadar atau tidak, sebagian besar dari kita memang masih butuh motivasi-motivasi sedemikian rupa untuk menyembah Tuhannya, berbuat baik dan peduli terhadap sesama. Setiap Ramadhan datang, 'Marketing tools' yang di gerai sangat dahsyat, khutbah dan kultum para ustadz tentang keutamaan bulan ini mungkin mengalahkan promosi musim diskon di pasar dan mall-mall. Saat ini memang sedang digelar gebyar ganjaran dan obral pahala. Tak berkutik, kita hanya bilang "Subhanallah, Alhamdulillah... Tuhan sungguh maha pemurah"

Sahabat, berbisnis dengan Tuhan itu memang asyik. Tidak ada resiko rugi, terkadang bahkan cukup bermodal 'dengkul' (jawa: lutut). Ya, benar-benar 'dengkul' yang cukup di tekuk-tekuk ketika ruku' dan sujud, kita sudah pasti dapat untung besar. Di bulan Ramadhan ini apalagi, untung kita bisa berlipat-lipat ganda.

Namun... entahlah, saya berjalan pulang dari pasar kaget tadi sambil merenungkan diri saya pada bulan Ramadhan ini. Tiba-tiba tersbesit di hati saya untuk menganggap bulan ini BUKAN sebagai agenda 'kontrak bisnis' dengan Allah. Mungkin lebih baik saya akan gunakan pertemuan Ramadhan ini untuk menawarkan 'kontrak persahabatan' saja dengan-Nya. Saya sedang berfikir tentang 'kontrak penghambaan, penghormatan dan rasa terimakasih yang sungguh-sungguh jujur keluar dari lubuk yang dalam'.

Teman, ini bukan karena 'lebay' atau sok 'kebanyakan pahala' atau tidak tergoda dengan bahasa-bahasa marketing Tuhan tentang 'bulan penuh berkah' ini. Namun, memang ada saat-saat tertentu dimana ketika merenungkan wujud-Nya, saya tidak ingin memiliki personifikasi tentang-Nya sebagai 'pembeli ibadah' atau 'penjual voucher-voucher pahala'. Saya ingin menyanjungnya sebagai sosok Tuhan yang sungguh sangat layak untuk saya sembah dan saya cintai dengan sepenuh jiwa...

No comments: