Friday, July 27, 2012

Shopping Lebaran: Antara Egoisme dan Altruisme


Ada euforia yang dirasa hampir semua umat Islam di Indonesia pada ujung-ujung bulan Ramadhan seperti ini... sebuah tradisi untuk merayakan kemenangan dengan berfoya-foya dalam segala bentuknya. SHOPPING, mulai dari baju hingga makanan. Gila-gilaan bersedekah dengan membagi-bagi tunjangan. Sebagian besar dari kita, termasuk saya juga sangat terlibat aktif mengerahkan seluruh nafsu, yang konon tidak ikut dibelenggu itu, dalam hiruk pikuk pasar. Kita pilih-pilih semua barang yang menurut nafsu kita bagus, menarik, murah dan lain sebagaianya. Berbagai alasan kita buat untuk menjustifikasi sebuah gelora tak terbendung bernama 'SHOPPING', belanja... Ya, ego kita sangat bergembira saat kita memanjakannya sedemikian rupa.

Namun teman, Tafakkur ini bukan tentang penghakiman baik buruk atas sindrom gila itu. Tulisan ini ingin mengatakan bahwa ternyata shopping yang kita lakukan itu bukan semata pemuasan akan nafsu pribadi, karena barang-barang yang kita belanjakan itu ternyata tidak semua untuk kita...barang-barang yang saya beli adalah 90% untuk orang lain...untuk ibu saya, bapak saya, adik-adik saya dan orang-orang yang saya sayangi. Saya memang tidak ingin memberi label "orang-orang yang membutuhkan" pada siapapun. Karena bagi saya, ini adalah momen perayaan. setiap sedekah yang kita berikan kepada 'yang membutuhkan' itu menurut saya sebaiknya dibahasakan sebagai 'pemberian-pemberian kepada orang-orang yang kita sayangi'. Toh, orang-orang yang kita sebut 'membutuhkan' itu ternyata ada difikiran kita dan mereka kita sayangi, terbukti kita memiliki hasrat untuk memberi mereka sesuatu. 

Ternyata ada simpul yang sangat menarik, bahwa ujung Ramadhan telah menyatukan antara EGOISME dan ALTRUISME dalam satu waktu. EGOISME adalah pemenangan atas nafsu pribadi, sedang ALTRUISME adalah pemenangan atas kepentingan orang lain. Sebuah perjumpaan yang sangat menarik ketika kita berbelanja barang-barang yang sesuai dengan hasrat dan egoisme kita di satu sisi, namun disisi lain, itu adalah bentuk altruisme yang berwujud pengorbanan, pengabdian, bhakti, kasih sayang serta pemenuhan atas kepentingan-kepentingan orang diluar diri kita sendiri.

Jujur, saya tak kuasa jika harus mudik tanpa oleh-oleh... hati saya tak mampu menanggung sebuah spekulasi tentang kekecewaaan orang-orang yang saya sayangi jika menjumpai saya tak berbekal hadiah sama sekali. Jarang  sekali saya berjumpa dengan keluarga dan orang-orang yang selalu mendoakan saya itu, maka alangkah berat hati ini membayangkan sebuah gelagat yang tak akan pernah terucap bernama 'kekecewaaan'. Di musim belanja ini, Altruisme saya berkelindan dengan Egoisme, dalam perjumpaan yang sangat romantis...karena saya merasa bahwa barang-barang yang saya belikan untuk mereka itu adalah juga barang-barang terbaik yang saya pilihkan...barang-barang dimana nafsu saya juga lepas dengan segala buncahannya

Memang ada pemaknaan yang harus kita buat teman. Ini bukan semata sebagai 'excuse' atau pembenaran atas tindak tanduk kita...namun karena kita memang selama ini hidup dengan pemaknaan-pemaknaan. Kita tak bisa menghindari hasrat untuk memberikan justifikasi-justifikasi atas segala perbuatan kita sendiri. Apa yang disebut Nabi sebagai 'NIAT' dimana seluruh amal perbuatan mengakar padanya itu, tak lain adalah sebentuk pemaknaan-pemaknaan yang saya maksud.

SHOPPING bisa semata menjadi gejala pemuasan nafsu yang tak terkendali...namun jika diniatkan dengan nilai-nilai pengorbanan, pengabdian, kedermawanan, ketulusan dan hasrat-hasrat untuk menyenangkan orang lain, maka SHOPPING itu tak bersisi negatif. Ibu-Ibu yang terlihat boros sekali membelanjakan harta suaminya itu ternyata mereka membelanjakannya untuk kepentingan keluarga, anak-anak dan termasuk suaminya sendiri. Ibu-ibu itu tidak berbelanja untuk diri dan egonya sendiri

Beberapa hari lalu kita diingatkan Bapak Quraish Shihab dalam kultum Ramadhannya, bahwa ada sebuah hadits Nabi yang mengatakan 'Tiada kebaikan sama sekali dalam pemborosan, dan tiada juga pemborosan dalam kebaikan'. Maka sewajarnya, secukupnya, dan sesuai kadarnya saja. Betul...kata-kata ini sangat relatif...secukupnya menurut siapa? sekadarnya menurut siapa? Saya hanya akan mengatakan bahwa NURANI kita masing-masing lah yang bertugas mengukur dan mengkadarkannya. 

Berbijaklah dalam segala hal, Niatkanlah yang bagus-bagus untuk segala hal...berikan justifikasi dan pembenaran-pembenaran yang juga bagus atas setiap perilaku, kemudian yakini saja bahwa TUHAN maha pemurah...TUHAN tersenyum manakala kita juga bisa membuat orang lain tersenyum. TUHAN berterimakasih pada saat kita berbagi dan memberi

Temanku, Selamat berbelanja.... :)

(Madyan: Tafakkur Ramadhan hari 26)

No comments: